Friday, March 24, 2006

MBAKYU

Entah apa yang ada dibenakku saat ini. Aku masih merangkai rangkai kejadian demi kejadian yang yang telah lalu menimpaku. Sekejab bayangan seseorang muncul dan digantikan dengan bayangan yang lainya.
Sesaat alur dan setting peristiwa hidupku seperti slide film yang terus berputar di mataku. Tak sempat aku berhenti untuk menelaahnya. Atau sekedar jeda untuk kemudian menghentikannya. Terus saja berkejaran dengan waktu yang memburuku. Selintas tapi jelas, bayangan lelaki yang selama ini kupanggil dengan kakang berpadu dengan sosok hijau menakutkan yang sering mendatangiku di malam hari.
Biasanya aku tak tahan sampai disini. Begitu menakutkan . Seperti monster bayangan kakang hendak menelanku hidup hidup. Mengejarku dari sudut ke sudut tanpa memberi celah untukku ,meloloskan diri. Ruangan terasa sangat kotak. Pengab berdebu. Dan aku kepayahan berlari . Kakang semakin senang dengan permainan ini. Mendapatkanku sambil tertawa cekakakan. Tak menghiraukan aku yang histeris berteriak teriak kesetanan. Takutku menjadi jadi. Kukerahkan segala kekuatanku melawan kakang yang terus dengan berahi menggulati tubuhku. Sekuat tenaga aku melawan arus lelaki . Hingga aku tak berdaya lagi. Lemas dengan tubuh terkulai. Dan kakang semakin beringas menikmati tubuhku yang ambruk dilantai. Nafasku sesak. Dadaku berdegub dengan keras. Peluhku bercucuran.
“ mbakyu, mbakyu….bangun mbakyu…ayo bangun…..” suster Asih menggoyang goyang tubuhku yang seperti kejang dengan mulut menceracau.
Aku tak merasa tidur padahal. Aku hanya separuh sadar. Menekuri peristiwa demi peristiwa yang beruntun menimpaku.
Baiklah, akan kuceritakan mengapa aku berada di Rumah Sakit Jiwa ini. Setelah kematian ibuku , aku menemukan kakang yang semula kukenal baik dan taat beribadah . Ternyata ia sejenis monster pemakan bangkai yang mengenyangkan diri dengan mayat siapa saja. Cuh ! Aku jijik mengingatnya sebenarnya. Bahkan menyebut namanya pun aku tak sudi. Seakan empeduku pecah dan menyebar disegala penjuru aliran darah.
Bahkan dagingku rasa tersayat sayat bila mengenang segala peristiwa itu. Mual dan perih lambungku. Gelap mataku dan berputar putar dunia ini. Aduh, maafkan aku. Aku tak bisa menceritakannya sekarang. Aku tak sanggup.
“ Suster…suster….dimana kau? “
“ Ya mbak …..saya disini….”
“ aku pusing lagi Sih….mau muntah”
“ sebentar saya ambilkan obatnya , Mbak”
“ cepatttttt sus…..aku pusing….kedinginan. Ohh…nafasku sesak sus. Panggilkan dokter. Cepaaaat. Aku butuh oksigen. Cepaaattt susss”
“ Iya Mbakyu….”
Dan hari hari terus berlalu dengan peristiwa yang hampir sama. Aku selalu butuh perawat. Butuh obat. Butuh suntikan.
Aku anti lelaki. Tak kuijinkan lelaki manapun mendekatiku. Akan kusir dengan ganasnya. Pernah pak Ali, tukang sapu rumah sakit kuserang dengan kursi dan apa saja, ketika ia masuk kamarku hendak menyapu. Aku begitu ketakutan dan menganggap semua lelaki adalah sejenis kakang.
Tak ada lelaki yang benar benar baik dimataku. Semua bajingan tengik yang tak lebih baik derajatnya daripada anjing kudisan yang selalu mengendus endus sampah dan tai.
Selalu ingin mencari dan mendapatkan kemudian membuangnya disembarang tempat saat puas. Yang menghisap madu sehabis habisnya lalu berlalu tanpa merasa bersalah. Seakan perempuan adalah konsumsi renyah yang jika habis gurihnya , boleh dilempar kemana saja. Tak mengertikah bahwa perempuan, sejelek apapun juga ingin merasa dihargai. Di eman. Bahkan kalau bisa dicintai.
Berbicara mengenai cinta, nafasku jadi sesak kembali. Adrenalinku terasa naik.
Cinta. Ya, cinta. Seperti kakang yang dulu selalu mengurungku di petak sempit dengan dalih cinta. Ia mencintaiku, katanya. Dengan segenap hatinya. Hahh!! Taik kucing!! Ia hanya butuh tubuhku sebenarnya. Apa arti cinta bagi dia? Hanya seonggok daging yang selalu mengeluarkan cairan kental berwarna putih . Lalu semuanya buyar. Ia kembali mengurungku selama berhari hari tanpa udara bebas. Ia menjadikanku ikan dalam akuriumnya. Dilarang keluar rumah, dilarang menerima tamu, dilarang berbicara dengan siapa saja,dilarang menulis, dilarang memasak, dilarang punya anak. Aku tak lebih dari kucing angora yang dikandang dalam jeruji besi. Ketika ia datang, entah dari mana, ia akan bercinta sepuas puasnya denganku. Berkali kali dalam satu malam hingga aku kelelahan. Hingga bertahun tahun ini terjadi.Dan ia mengatas namakan cinta? Huhhh!!
Herannya, kenapa dulu aku tak menolaknya. Mengapa diam saja ketika ia datang dan pergi sekehendak hati.
Rumah kontrakanku yang kecil dan sempit seolah telah cukup bagiku melindungiku dari hujan dan panas. Dan roti atau makanan instant yang selalu dia bawakan seakan mengenyangkanku. Tak ada perlawanan. Aku terbius oleh kata kata manisnya. Ia katakan akulah wanita tercantik di dunia. Akulah ratu yang dipungut dari tempat sampah, katanya. Dan seperti tersihir, aku tak marah ketika ia menyumpah nyumpahiku dengan kata kata kotor setelah aku berbuat satu kesalahan. Aku cukup tahu diri. Aku memang perempuan lemah tak berdaya. Sejak kematian ibuku, aku memang terdampar di Panti Asuhan. Aku tak punya saudara kandung dan tak pernah mengenal ayahku. Lima belas tahun , sejak usia delapan tahun aku berkutat di panti asuhan kampung pinggiran kotaku yang kecil.Jadi aku sudah terbiasa dengan penderitaan.Sudah resap dengan segala kesusahan.
Kukira datangnya kakang, akan membawa kebahagiaan dalam hidupku. Ternyata hanya sesaat. Waktu itu aku sangat menikmati hubungan kami. Tapi lama kelamaan aku jenuh dengan pola kurung mengurung itu. Aku ingin bebas. Merdeka dialam luar. Tapi kakang bertambah marah dan ganas menyiksaku. Setiap ia datang di malam hari, aku hanya melihatnya sebagai monster pemangsa kelamin yang menakutkan.Seperti bayangan besar yang mengganyang tubuhku dengan rakusnya lalu pergi setelah puas melihatku bersimbah air mata dan kepayahan meladeninya.
Ia tak pernah lagi bertanya tentang apa yang kuinginkan dan kupikirkan.
Tidak. Ia hanya datang untuk melihatku tersiksa. Dan tubuhnya yang kian tambun berlalu dengan derai tawa meninggalkanku di jeruju besi. Menguncinya dari luar dan datang lagi sewaktu waktu. Aku menganggap seekor kucing budukpun lebih beruntung dari nasibku. Karena ia masih bisa berjalan kesana kemari , mencari makanan dan teman.

Tapi pagi ini disaat hujan deras mengguyur kota, dari balik jeruji lainnya, yaitu RS Jiwa ini , aku melihatmu datang . Sudah tiga kali aku melihatmu menghampiriku. Menanyakan ini dan itu, atau sekedar bercanda denganku.
Aku suka gayamu tertawa sambil menyilangkan kakimu yang jenjang itu. Aku juga suka suaramu yang berat dan dalam, seperti juga tatapan matamu. Aku tahu bahwa kau adalah keluarga dari teman sekamarku, si Minah . Tapi sejak pertemuan kedua, ternyata kita sama sama menunjukkan ketertarikan. Benarkah itu?
Andaikan saja aku bisa berkata jujur , ada sesuatu yang ganjil dari tatap matamu setiap kali kau memandangku. Entah apa itu. Mungkin saja itu binar bintang atau pijar rembulan yang merasuk dalam kilat matamu.
Ku menikmati setiap kilatannya yang menyambar sedikit demi sedikit hatiku yang sedang membatu. Dan dari lubuk tersuci, kudengarkan ada yang meleleh dari gumpalan batu itu. Semoga saja benar bahwa kaupun sedang merasakan hal yang sama.
“ Mbakyu sudah makan?” begitu selalu kau membuka percakapan denganku
Tentu saja aku menggeleng, meski perutku sudah kenyang. Kau lalu mengajakku makan ke kantin rumah sakit ini. Atau jika kau sedang kebetulan membawakan makanan buat si Minah, kau akan membagi makanan itu denganku.
Aku suka tersipu sipu, pura pura malu. Sungguh ini mengasyikkan. Dibanding kakang, engkau memang beda. Sama sekali berbeda. Tapi aku suka. Sangat suka. Mungkin aku benar benar sudah gila.Tapi aku tak perduli lagi dengan status gila atau tidak. Toh aku sudah berada di RS Jiwa, tempat orang orang gila berkumpul, meski taraf kegilaan kami berbeda beda.
Diantara penghuni RS Jiwa ini, akulah yang paling cantik dan muda. Umurku saat ini 25 tahun. Kalau aku berdandan dan berpakaian baik, kata orang aku masih nampak seperti gadis berumur 17 tahun.
Tentu saja. Di tempat ini aku tak memikirkan apa apa. Tak perlu ketakutan seperti sebelum aku tinggal disini. Hanya kadang ada saat saat ingatanku tak bisa berkompromi dengan segala sesuatu. Tiba tiba saja aku seperti kesetanan atau kesurupan ketika bayangan kakang muncul mengejarku. Aku terkepung oleh ketakutan luar biasa . Menjeratku. Menghimpitku hingga nadiku serasa beku dan nafasku terengah engah tanpa sebab. Seperti berlari aku mencari perlindungan entah pada siapa. Teriakanku pilu, kata Asih, suster disini yang terakrab denganku. Melengking lengking . Meledakkan apa saja yang ada dalam otakku yang telah terkotorkan oleh kejadian kejadian masa lalu.
Biasanya sebilah jarum berisi cairan penenang yang bisa meredakan amukku. Itupun tidak dalam hitungan detik,melainkan hingga beberapa menit, barulah aku bisa diam dan tenang.
Keadaan ini akan bertambah parah jika kakang tiba tiba muncul atau menghubungiku lewat telpon. Setahuku ia sudah dilarang oleh dokter dan paramedis disini untuk menemuiku atau menghubungiku. Tapi dasar kakang!. Ia sangat suka melihatku tersiksa dan sakau karena dia. Aku tahu ia akan tertawa senang dalam hatinya yang busuk itu melihatku menggelinjang gelinjang dalam pelukan suster yang meredam amukku padanya.
Aneh. Baru disinilah aku berani melawan lelaki biadab itu. Berani menatap tajam pada matanya.Berani memakinya. Berani menendangnya. Berani meludahinya. Berani mencakarinya. Bahkan terakhir kali kunjungannya kesini, aku berniat membunuhnya. Secara spontan aku melemparnya dengan kursi kayu kearah kepalanya yang botak itu. Sayangnya ia bisa mengelak. Padahal aku sudah membayangkan betapa nikmatnya melihat ia sempoyongan berdarah darah atau ambruk tersungkur dan mati . Ketika aku membabi buta mengejarnya, dan beberapa perawat laki laki menahan laju emosiku , kulihat dia diam diam tersenyum puas. Ah, dasar lelaki tengik. Lelaki tak tahu adat !. Buaya darat !. Bangsat busuk!. Bajingan keparat! Kurang ajar sekali dia mempermainkan hidupku ini. Aduh , nafasku terasa sesak lagi. Kepalaku pusing berdenyut . Mataku berkunang kunang. Mual. Sangat mual. Tanganku mulai bergerak tak beraturan. Ingin meninju siapa saja yang didekatku. Tapi lemas. Ahhh badanku tiba tiba lemah tak berdaya. Nafasku seakan mau berhenti. Aku terkulai layu kini dipelukmu.
Ya, dipelukmu!
Entah bagaimana asalnya aku bisa berada dipelukanmu saat ini. Oh ya, aku ingat . Aku barusaja bercerita banyak tentang kakang kepadamu. Dan seperti biasa, aku lalu “ kambuh” saat ingatanku melambung lambung tentang dia.
Ajaib. Kali ini aku tak memerlukan zat penenang itu . Tak sempat suster menyuntikkan cairan penghanyut emosi itu seperti biasanya, aku sudah terkendali olehmu. Hanya kebetulan kau ada disisiku dan memelukku , mengelus kepalaku seperti ibu yang mengelus kepala anaknya. Lalu aku pasrah dan luluh , bagaikan tunduk pada nasehatmu yang menyuruhku bersabar dan bertawakal. Sama sekali aku tak memberontak dan mengamuk seperti biasa. Aneh. Sungguh ini tak biasanya. Kemajuan yang luar biasa,kata suster Asih.

“Sin, sejak saat itu. Aku merasa kau adalah bagian dari hidupku. Tak ada harapan yang melebihi untuk bisa hidup bersamamu. Tapi ini mustahil. Kau perempuan, sepertiku. Parahnya lagi, kau punya suami. Punya anak. Punya masa depan yang baik. Sedang aku, si ‘gila”yang menderita sepanjang hidup. Karena itu , untuk menghindari penderitaan yang lebih dalam lagi, aku memutuskan untuk mengakhiri penderitaan ini. Maafkanlah aku jika telah mengganggumu selama ini. Hingga kau menjadi ketakutan bertemu denganku. Tapi ketidak datanganmu selama sebulan ini sungguh menyiksaku. Aku rindu pelukanmu yang menentramkanku itu. Aku ingin kau peluk, seperti pertama kali kau memelukku.
Sin, selamat tinggal. Kau tetap abadi di hatiku, meski kau tak tahu apa yang telah berkecamuk di hatiku, mulai saat itu. Aku begitu malu mengakuinya.Karena aku sendiri masih terlalu asing dengan perasaan aneh yang menyergapku , bersamamu. Aku seperti mimpi. Sama seperti aku memutuskan untuk pergi dengan cara ini”

Surat mbakyu ditemukan diatas meja.Berceceran darah. Seperti jasadnya yang membeku dengan senyum. Pergelangan tangannya menganga. Sebilah silet telah menyelesaikan penderitaannya , diperkirakan menjelang subuh. Setelah cintanya yang ganjil dengan sesama perempuan yang kerap mengunjunginya tak tersampaikan.


Pebruari 2006

SEPANJANG PERJALANAN PULANG

SELALU. Hanya tersisa waktu buat sekadar bertanya “apa kabarmu ?” atau “lagi di mana?” pada saat melakukan perjalanan pulang. Menuju rumah. Menuju anak istrinya.
Itu pun terkadang lupa. Atau terkesan dipaksakan. Sekadar menjalin komunikasi yang semakin jarang dilakukan. Padahal dulu, keadaan sangat berbeda. Segala sesuatu menjadi berubah drastis, tiba tiba saja sekarang.
Aku menghela napas panjang. Kuluruskan kaki, menjulur hingga menyentuh kaki Frans yang duduk di depanku. Tanganku masih memencet-mencet hand phone. Ingin hati mengirim sms atau bahkan menelepon lelaki itu. Tapi ragu ragu. Bukan hanya takut tak ada balasan atau justru teleponnya akan dimatikan. Tapi demi tatapan mata Frans yang sedari tadi memandangku mesra. Dia juga lelaki, batinku. Sudah sebulan ini Frans mendekatiku. Sangat intensif. Meski dia tahu aku sedang berpacaran dengan lelaki yang sejak tadi menari di benakku. Tapi mengapa aku masih saja tak bisa menerima cinta bujang mapan ini. Dan justru aku semakin tergila gila dengan pria beranak dua itu. Sialan!
Biasanya agak sore, dia menyapaku. Tapi sudah satu jam aku menunggu, tak ada juga sms atau teleponnya. Kini matahari hampir terbenam. Kecil kemungkinan ia menghubungiku. Kesal!
Kuambil jaket dan berganti celana panjang. Dengan sepeda motor aku akan mengitari rumah lelaki itu. Akan kutampakkan bahwa aku masih hidup dan bisa melakukan hal-hal nekad untuk melampiaskan sakit hatiku. Sebenarnya bukan sakit hati sih. Tapi aku merasa diremehkan dengan sikapnya akhir akhir ini.
Di kantin kantornya, aku pernah diajak bicara baik-baik. Bahwa hubungan kami tak bisa seperti dulu lagi. Maksudnya intensitas dan kuantitas gaya pacaran kami. Kalau dulu model jaran kepang, sekarang harus berganti srimpi. Aku manggut-manggut saja waktu itu. Berusaha mengerti keadaaanya. Aku harus menjaga kerahasiaan hubungan kami serapat-rapatnya. Kemarin, smsku terbaca oleh anak sulungnya. Dan itu membuatnya tertekan. Ia baru merasa bersalah pada keluarganya. Bayangkan, setelah berbulan-bulan, baru ini ia merasa sangat takut ketahuan. Baginya keluarganya tetap nomer satu, terutama anak-anaknya. Ya, aku bisa mengerti alasan itu. Tapi mengapa aku sangat kehilangan ketika tiba-tiba ia seperti lenyap ditelan bumi. Berhari-hari tanpa pertemuan. Bahkan menyapaku pun hanya di sisa waktu kerjanya saja. Aku toh tetap menuruti permintaannya untuk tidak kirim sms terlebih dulu, apalagi menelepon. Tabu!.
Jarak usia kami lumayan jauh. Dia 15 tahun di atasku. Sebenarnya biasa saja bagiku, tak ada yang luar biasa. Aku bahkan sangat nyaman berhubungan dengan dia. Bisa bersikap sangat dewasa dan kebapakan. Tidak seperti Frans yang usianya justru 5 tahun lebih muda dariku. Hari-hari kami sangat manis, meski selalu berliku.
Padahal aku tahu, istrinya masih cantik dan energik. Suka tampil di pertemuan ini itu. Termasuk orang penting di kota kami yang kecil ini. Sebaliknya dengan diriku yang biasa-biasa saja. Tak merasa punya kelebihan apa-apa. Barangkali hanya perhatianku yang dirasakannya hangat dan cintaku yang memanggang kelelakiannya.
Aku masih ingat, kami sering pergi ke ujung danau di sore hari. Melepas lelah sehari dengan bercerita-cerita ringan di mobilnya. Atau berperahu mengitari danau, hingga senja menenggelamkan matahari.
Pernah juga kami menginap sehari di apartemanku. Tentu saja ia bilang pada istrinya rapat di luar kota. Beres. Itu pertama kalinya aku bercinta dengannya. Sungguh indah malam itu. Gorden kubuka lebar, dan kuijinkan sinar rembulan menerobos, menyaksikan peraduan kami yang penuh wangi cinta. Setelah itu, kami bertambah mabuk kepayang.
Saling merasa tak terpisahkan lagi. Sunguh berat untuk tidak bertemu dengannya sehari saja. Biasanya ia yang mendatangiku di kantor. Atau aku yang sembunyi-sembunyi mendatangi ke kantornya. Mengobrol di kantin sambil menikmati sepiring kecil pisang goreng dan secangkir teh manis. Kami bukan golongan pasangan yang hanya menginginkan kepuasan lahir saja dengan berkencan lalu saling melupakan. Tidak. Di hati kami tumbuh cinta. Meski ini sangat menyiksa kami, Terutama aku untuk saat ini.
Bagaimana tidak. Ingin sekali aku mengulang semua kemesraan kami. Canda-canda kami, tawaria dan bahkan tangis bahagia kami. Oh ya tak kusangka, dia adalah lelaki yang perasaannya sangat halus. Pernah suatu ketika, selesai kami bercinta ia menangis di pelukanku. Menangis. Benar-benar menangis dan mengeluarkan airmata. Ia berkata bahwa baru kali ini ia menemukan perempuan sepertiku yang bisa sempurna mengerti dia. Aku jadi terharu dan ikut menangis di pelukannya. Tangis bahagia, tentunya.
Jadi, wajar saja bukan jika sekarang aku gundah-gulana, sekaligus kecewa dengan sikapnya yang berubah drastis. Ada terbit di hatiku rasa cemburu kepada keluarganya. Tapi segera kutepis. Aku tak layak mencemburui keluarganya. Hubungannya dengan istrinya telah lama rusak. Hanya demi anak-anaknya, ia mempertahankan “perkawinan batu”nya.
Sore sudah di ambang petang. Sisa hujan masih menebarkan dingin. Sedikit lagi aku akan sampai di komplek perumahannya. Aku perkirakan dia juga baru saja sampai di rumah. Ponselku berbunyi.
“Ya, hallo…”
“Hai, yang…”
Ternyata dia.
“Lama sekali kutunggu kabarmu, Mas.”
“Ya, maaf yang, tadi rapat seharian. Ini sudah di perjalanan pulang. Kamu di mana?”
“Eghhhh… aku mau ke rumah teman, Mas.” Tiba-tiba aku malu mengatakan bahwa aku sedang menuju rumahnya.
“Okey, yang… aku sudah dekat rumah ini. Besok kuhubungi lagi ya.”
“Ya , ya Mas… hati-hati ya, sampai besok.“
Segera aku memutar haluan. Kupacu motorku. Jangan sampai nanti kami bertemu di komplek ini. Meski begitu, hatiku setengah bersungut-sungut. Lagi-lagi di perjalanan pulang. Rasanya sungguh tak adil, aku yang hanya menunggu beritanya seharian. Tapi kucerna kembali berbagai alasannya mengapa kami mesti menahan dan menangguhkan hubungan ini. Demi masa depan kami sendiri, katanya. Demi kelanjutan yang berskala panjang. Ia ingin meminangku suatu saat nanti. Terus terang aku tak berani mengharap itu benar benar terjadi. Barangkali lebih baik begini sajalah. Yang penting kami sama sama menikmati dan membutuhkan. Saling mencurahkan kasih sayang.
Ponselku berbunyi lagi. Kali ini sms dari Frans. Ia mengajakku makan malam. Ah, cowok satu itu memang aneh. Sudah berkali-kali kukatakan aku punya kekasih. Tetap saja nekad mendekatiku dengan berbagai cara. Aku minta kami berteman saja. Dia setuju. Tapi sikapnya tetap sama: selalu mengandaikan aku sebagai pacarnya. Jika aku mulai marah akan perhatiannya yang keterlaluan, ia segera meminta maaf dan memohon-mohon supaya aku mau menerimanya kembali sebagai teman. Lucu! Baru ini aku menemukan cowok model begini. Padahal tampangnya lumayan. Pekerjaannya juga bagus.Tapi entah kenapa aku tak bisa jatuh cinta padanya.
Aku setuju dengan ajakan makan malamnya. Toh apa salahnya. Hanya makan malam. Dia tak akan berani macam-macam padaku. Seminggu lalu ia “ketiban malu”, saat setangkai bunga mawar yang ia berikan padaku waktu makan malam, kutolak. Aku tak suka diperlakukan seperti itu, kataku. Bukannya marah atau tersinggung, ia malah minta maaf atas kelancangannya. Aku tertawa dalam hati. Sungguh aneh cowok satu ini!
Malam ini kami duduk berhadapan di kafé termegah di kota kami. Piring-piring telah kosong. Hanya tersisa beberapa teguk Tequila di depanku. Ini gelas ketiga setelah sebelumnya juga kupesan Margarita dan Borneo sunset. Anganku masih melayang ke lelaki pujaanku. Rindu. Sangat rindu. Kuingat beberapa waktu lalu aku dan dia juga duduk di sini, menikmati senja yang indah. Ah, aku begitu terbuai dengan kenangan itu. Udara begitu pengap kurasakan, penuh dengan bayangannya.
“Jam berapa kita pulang, Nan? “ hati-hati Frans bertanya.
“Sejam lagi, ya. Aku masih ingin menikmati life musik ini,” jawabku sekenanya. Dan memang lagu-lagu berirama Latin begitu rancaknya dibawakan oleh grup band lokal. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tak terasa empat jam kami duduk di sini. Menghadap pantai yang tenang. Frans sudah kelihatan gusar. Sedari tadi aku memang malas bicara dengannya. Pikiranku justru terpusat kepada lelaki yang lain itu. Diantar oleh tetesan-tetesan minuman yang agak memabukkan. Aku tak menyalahkan Frans jika ia kesal karena sejak tadi tak kuhiraukan.
Tiba-tiba pandanganku tertumbuk pada bayangan tamu kafé yang baru saja datang. Sepasang lelaki dan perempuan. Tak salah lagi lelaki itu kekasihku. Ia datang berpelukan dengan seorang perempuan muda berbaju merah menyala. Aku yakin itu bukan istrinya. Dengan tertawa-tawa ia menyeret kursi tepat di sampingku. Rupanya ia tak melihatku. Remang lampu tentu merabunkan pandangannya. Jantungku terasa mau copot, berdetak tak beraturan. Gugup bercampur pilu. Marah dan kecewa. Semua bercampur-aduk.
Ternyata inilah alasan yang sebenarnya kenapa tiba-tiba ia menghilang dari peredaran. Mengapa harus keluarganya yang dijadikan alasan untuk menjauh dariku. Ingin aku melabraknya sekarang juga. Ingin kudamprat sepuas puasku. Mumpung aku sedikit mabuk.Tapi untung saja aku masih bisa bersabar dan putar akal. Frans rupanya memperhatikan perubahan wajah dan gelagat anehku.
“Kenapa Nan?” tanya Frans.
“Nggak papa kok, ayo kita pulang sekarang,” kataku sambil berdiri.
Kuseret kursi agak keras untuk menarik perhatian lelaki di sampingku itu. Aku bersandar di bahu Frans dengan mesra sambil kulingkarkan tanganku di pinggangnya. Jelas Frans kaget. Tapi bertambah kuat aku menggelayut manja di badannya yang tinggi besar itu.
Batinku berkata, “Rasakan! Rasakan ! Aku pun bisa berbuat sepertimu!”
Sayup seperti ada yang memanggilku dari arah belakangku. Suara lelaki itu. Aku bertambah angkuh berjalan, masih tetap menggandeng Frans.
Ponselku berbunyi, ketika aku sudah hampir sampai apartemenku. Rupanya telepon dari bekas kekasihku. Mulai detik tadi aku sudah menganggapnya bukan lagi kekasihku. Jadi kusebut saja bekas kekasih. Tak kuhiraukan dering telepon darinya. Barangkali sampai lebih sepuluh kali, ia mendengar lagu “Crazy” dari nada tungguku.Sengaja tak kuangkat dan tak kumatikan. Biar saja. Aku masih ngungun dengan peristiwa tadi. Tetapi kupikir-pikir, daripada bersakit-akit hati dengannya lebih baik kulupakan saja kisah cinta kami. Paling tidak, masih ada Frans yang dengan setia menungguku. Jadi, kenapa tidak?
Aku menawarkan Frans untuk menginap di apartemenku malam ini. Dengan keheranan dan kegirangan sekaligus ia mengiyakan. Setelah sebelumnya kukirim sms buat bekas kekasihku itu. Bunyinya begini, “aku sudah di perjalanan pulang. Hati-hati ya, sayang”. Sama seperti sms yang biasanya ia kirimkan padaku.
Sinar rembulan, lagi-lagi kuijinkan menerobos masuk kamarku malam ini. Aku dan Frans benar-benar menikmatinya. Ponselku terus bergetar di meja rias. Aku sudah menerangkan pada Frans tentang lelaki buaya itu. Dan aku memilih menjadi buaya betina juga malam ini. Dengan Frans, tentu saja.
Balikpapan, Desember 051

DATUK BARJA

Entah mengapa malam tampak semakin kelam saja. Rembulan yang memang tak nampak, dan bintang gemintangpun tak muncul membuat cekam seperempat malam yang tersisa. Kekeh tawa Datuk Barja makin terasa sebagai gergaji besi yang mengiris lempengan malam. Menggiring awan awan hitam yang berarak menjauhi tempat kami bercakap saat ini.
Lonceng penjaga malam terdengar dua kali, pertanda ini jam dua pagi. Tapi memang mata kami tak sedikitpun mengantuk, paling tidak mataku sendiri. Juga dengan mata Datuk Barja yang berkilat kilat tertimpa lampu mercury. Entah dengan mata dua kawanku , Eddy dan Supri yang tengah rebah di tanah , tepatnya di papan memandang langit. Yang jelas, mereka masih sesekali menimpali pembicaraan atau tepatnya kotbah Datuk Barja .
Cerita tentang perawan yang diperkosa dan dibunuh di kampung sebelah masih menjadi topik pembicaraan hangat kami, sejak malam merambat tua tadi. Disini, dibentangan alam tepi laut , kami menggelar diskusi tak resmi hampir tiap malam. Ditemani sebungkus kacang kulit, dan tak pernah absen, sebotol dua botol whisky . Tak pernah ada yang benar benar mabuk diantara kami, para bujang lapuk dan bujang lokal ini. Hanya sekedar menghangatkan badan dan membuat pikiran agak melayang ringan sambil membahas suatu masalah atau topik yang sedang merebak hangat .
Kadang Supri membawa sebuah gitar tuanya, seperti malam ini. Dan sambil bersenandung lirih, kami sama menikam sunyi yang datang di malam hari.

Kupandang lagi langit yang tampak hitam berkabut. Kubayangkan wajah anak istriku berkelebat disana. Tersenyum manis. Ah, andaikan saja mereka tak pergi, tentu aku juga tak pernah berada disini. Kepergian mereka yang tergesa setahun yang lalu dikarenakan kecelakaan kereta api membuatku pergi dari kota kami. Terus berdiam di kota yang menyimpan banyak kenangan kami, membuat kepalaku hampir pecah. Setiap jalan adalah memori dan setiap tempat adalah siksaan untuk selalu mengingat kebersamaan kami yang hanya sesaat. Pasar, toko kelontong langganan, warung sate, warung soto, toko mainan, toko buku, bioskop, rumah sakit, dan masih banyak lagi tempat yang selalu kusinggahi bersama istriku tercinta, juga anak perempuan semata wayang kami yang saat itu baru berusia dua tahun, usia lucu lucunya.
Ah sudahlah. Mereka telah bahagia, pikirku. Dan aku juga telah ikhlas melepas semua ingatan itu. Menjadikannya kenangan manis dalam hidupku. Ini semua berkat dan jasa besar Datuk Barja dalam membimbingku dan menenangkanku menghadapi musibah besar setahun yang lalu. Sejak itulah, Datuk Barja telah kuanggap orang tua ku sendiri.

Kokok ayam jantan dari kejauhan tak menyurutkan kotbah Datuk Barja. Disela sela batuknya, kakek berusia lebih 70 tahun itu tetap bersemangat bercerita dan bicara apa saja. Nasehat nasehat baik dan kritik kritik pedas sering ia lontarkan pada siapa saja. Tapi gaya bicaranya yang kocak dan asli berlogat Banjar membuat kemi sering terpingkal pingkal. Sindiran sindiran halus dalam ia berpandir tak kurang tajam sebenarnya. Tapi ia memang lihai berbicara. Tak seorangpun merasa tersinggung atau marah oleh sindirannya. Contohnya Supri, yang malam ini hanya mesam mesem saat Datuk Barja menasehatinya supaya setia pada istrinya yang hamil tua di lain kota. Pasal ia suka mengganggu anak gadis orang, telah tersebar dimana mana. Dengan kata kata berbobot namun enak dicerna, kadang juga dengan istilah istilah khusus yang lucu beliau menjewer telinga Supri. Minggu minggu belakangan ini Suprilah yang selalu kami jadikan bulan bulanan . Maksudku dijadikan sasaran nesehat dan khotbah Datuk Barja. Entah kenapa, tapi sepertinya Datuk mulai melihat suatu tanda ketidakberesan yang serius terjadi pada Supri. Sejak gonjang ganjing rumah tangganya tercium oleh Datuk. Sejak banyak gossip mengenai kesukaannya memacari perawan perawan di camp tempatnya bekerja.
Tapi ya begitulah, Datuk memberika konseling gratis sering tak ditanggapi serius secara kentara oleh kami, utamanya Supri yang memang agak terlihat liar. Meski aku tahu, nasehat Datuk selalu meresap dan mengakar dilubuk sanubari siapa saja.
“ kita manusia, bukan binatang yang bebas membuntingi siapa saja ” kekehnya.
Dan Supri hanya cengar cengir, tak merasa sedang dinasehati.
Ya, begitulah Datuk dimata kami. Berwibawa namun tetap glenyengan, menetaskan berbagai kata kiasan yang bermakna dalam, dengan format sesederhana mungkin . Aku baru sadar, bahwa lulusan SMP seperti beliau tak mungkin berfilosofi tinggi dan berwawasan sedemikian luas, jika bukan karena pengalaman hidupnya yang beraneka ragam. Jalan berliku dan berkelok tajam telah dilaluinya di berbagai belahan bumi. Jurang maupun gunung , lembah maupun bukit, dasar laut maupun angkasa raya telah dijelajahinya. Tak ada kata putus asa dalam kamus hidupnya. Tak ada kesia siaan yang terselip dalam dompet hidupnya. Untuk itu kami benar benar kagum dengannya. Rasanya malam tak genap berlalu tanpa obrolan kami bersamanya. Paling sering kami melakukannya disini, tepi laut di kawasan Ruko Bandar . Sambil menatap langit, kami berbaring baring hanya beralaskan papan. Debur laut terasa sangat dekat di bawah kami. Tentu saja. Karena kami memang berbaring diatas laut. Seperti di atas galangan kapal atau dermaga. Siang hari hingga malam jam sebelas tadi, kafe kafe mungil disepanjangan anjungan ini bagai gula yang dirubung semut. Sangat laris manis. Pengunjungnya berasal dari berbagai kalangan. Dari yang elit hingga pelajar. Sungguh tempat yang indah dan asyik disini. Akupun kadang nongkrong disini disiang hari , jika pekerjaan sepi. Sambil memandang laut , menikmati secangkir kopi . Berteman debur dan ombak yang pecah di bebatuan , anganku melayang.

Tapi masih lebih asyik menikmati sketsa alam pada dini hari begini, tentu saja dengan Datuk Barja dan “kawan kawan malamku”. Dengan obrolan santai namun serius. Dan kami selalu pulang membawa kesan dari nasehat yang disampaikan Datuk Barja. Pendeknya, Datuk adalah orang tua kedua buat kami yang sama sama berada di perantauan ini. Sebenarnya bukan hanya Eddy dan Supri yang menganggapnya orang tua sendiri. Tapi masih banyak lagi. Ada beberapa kawan yang juga kadang bergabung mengobrol dengan kami disini. Dari mulai satpam pertokoan hingga pejabat teras .
Hanya kebetulan saja, beberapa malam ini kami berempatlah yang lebih sering intensif bertemu.
Obrolan malam ini kembali berkisar perempuan yang mati diperkosa dan mayatnya dibuang di sungai kecil utara kota. Agak bergidik kami membicarakannya. Apalagi Eddy membawa Koran yang memuat gambar mayat perempuan muda itu.
Bergantian kami mengulas dan membahas kira kira kronologis peristiwa sadis itu. Pelakunya belum juga tertangkap. Begitu juga dengan identitas mayat , belum terungkap. Keadaannya yang membusuk dan bengkak oleh rendaman air sungai menyebabkan polisi kesulitan melacak siapa dia sebenarnya. Sungguh sadis dan tak berhati nurani pembunuh itu. Sudah diperkosa, dibunuhnya pula. Pasti ia termasuk pembunuh berdarah dingin. Kami yang laki laki pun mengutuk keras perbuatan itu. Apalagi para perempuan.
Mungkin kami membayangkan bahwa yang terkena musibah itu adalah adik perempuan kami sendiri. Ah, mengerikan .
Anehnya, Datuk mempunyai pendapat sendiri mengenai peristiwa ini. Beliau dengan arifnya mengetengahkan fenomena perkosaan dari berbagai sisi. Bahkan analogi si pemerkosanyapun ia beberkan secara sangat subyektif. Aku hampir jengkel mendengarnya. Bagaimanapun pemerkosaan adalah perbuatan biadab yang jelas jelas menantang hukum dan agama. Pelanggaran hak asasi manusia.
Tapi bukan itu yang beliau sorot. Justru Datuk melihat sisi si pemerkosa sebagai sosok manusia lemah dan rapuh yang patut dikasihani. Betapa nafsu telah menghilangkan akal sehat dan budi pekerti. Benar juga,pikirku. Mungkin saja pelakunya adalah manusia yang hidup kurang kasih sayang dan perhatian. Kurang pendidikan atau bekal agama. Sungguh, dasar dari segala perilaku manusia adalah kedalaman pemahaman dan penerapan ilmu agama yang diajarkan sejak kita masih kecil. Beruntunglah aku mendapat kecukupan bekal pengetahuan alam akhirat yang cukup dari kedua orang tuaku. Ditambah lagi siraman rohani yang seimbang daripada kehidupan dunia yang kadang melenakan ini.
Datuk berbicara sangat dalam dan wibawanya nampak tersembur dari setiap kata katanya. Mimik mukanya sangat serius, tanpa guyonan seperti biasanya. Meskipun ia suka terkekeh sendiri, mungkin sambil membayangkan adegan perkosaan itu. Kami cukup tegang mendengar Datuk mendramatisir perasaan si pemerkosa pada saat ia bersembunyi disuatu tempat, setelah kejadian itu.
“ Datuk, kok Datuk tahu perasaan si pemerkosa? Apakah Datuk juga pernah memerkosa orang? “ Si Eddy berhasil memotong monolog Datuk yang sedang berperan sebagai pemerkosa, dengan pertanyaan konyolnya.
“ hush….! Kamu ini mau tahu saja” ujarku sambil mendelik pada Eddy.
Yang ditanya tak menjawab. Hanya sebentar berdiam sambil menatap mata kami satu persatu. Lalu tertawa terpingkal pingkal. Tergelak gelak. Bahunya berguncang keras. Suaranya sampai serak. Kami salah tingkah. Tak ikut tertawa salah, tapi ikut tertawapun janggal, karena tak tahu dimana lucunya.
Akhirnya kami hanya menunggu Datuk berhenti tertawa dan kembali berbicara. Beliau duduk bersila . Kami tak lagi berbaring. Tapi duduk bersila juga mengitarinya. Tiba tiba ia berdiri. Menatap laut. Seperti berpuisi ia mengucapkan syair syair indah tentang kehidupan. Tentang betapa ruginya menjadi seorang pecundang. Yang dikarenakan nafsu dan kebuasannya, telah merugikan orang lain. Tentang betapa memalukan menjadi pengecut yang bersembunyi setelah melakukan perbuatan jahat.
Datuk terbatuk batuk kecil, lalu melanjutkan nasehatnya dalam bentuk senandung. Kali ini ia sambil memegang bahu kami satu persatu. Bakat teater dan berkeseniannya tampak kental terlihat. Aku merasa ada sesuatu yang istimewa malam ini. Entah apa itu. Mungkin aura Datuk benar benar menguar. Atau semacam energi yang dipancarkannya telah menyelubungi pertemuan kami malam ini. Aku merinding.
Tunggu, sebentar. Kulihat salah satu temanku bersikap aneh. Supri tiba tiba menangis perlahan. Sesenggukan. Lalu bertambah keras dan nyaring saat Datuk memegang kedua pundaknya sambil berseru” lepaskan, lepaskan!” .
Aku masih tak sadar dengan apa yang terjadi , begitupun Eddy, tampak linglung memandang Datuk yang kini telah berhadap hadapan dengan Supri.
Tangisan Supri bertambah nyaring, seakan merobek langit. Melengking . Kurasakan ada sembilu yang sedang menancap di sekujur hatinya. Dan sekilas kulihat Datuk sedang mencabut sembilu itu perlahan, dengan nasehat yang terus dibisikkannya ke telinga Supri. Berdebum tubuh Supri limbung dan jatuh ke bumi sebelum ia seperti kejang sambil terus menangis , meneriakkan nama Gusti Allah. Kurasa ia hanya ekstase oleh kata kata Datuk. Tapi ternyata tidak. Supri sedang menghadapi pengadilan hati. Pengadilan tertinggi dimuka bumi, yakni pengadilan oleh diri sendiri. Penghakiman oleh batin dan hati nurani sendiri. Bukan oleh cecaran pertanyaan polisi , hakim atau jaksa.
“ Ya Allah….Ya Robbi…..ampuni hambamu” begitu kalimat yang diulang ulangnya meski agak kurang jelas kudengar , terkubur oleh dentum ombak.
Datuk mengajak aku dan Eddy yang masih terbengong bengong untuk menghibur Supri yang belum berhenti mengerang sambil berguling guling di lantai.
“ Ia lah pemerkosa dan pembunuh perempuan yang ada di Koran itu” landai Datuk berbicara pada kami berdua.
Serentak aku dan Eddy saling berpandangan. Jadi Suprilah pelakunya?. Sunguh aku tak menyangka. Tapi darimana Datuk tahu? Apakah beliau mempunyai ilmu tertentu atau firasat tingkat tinggi, hingga bisa mendeteksi perilaku Supri yang kuanggap sebagai pelaku kriminal professional .
Seperti mengerti, Datuk hanya mengangguk angguk.
Dan semburat jingga tak terasa telah datang menandakan hadirnya ufuk diujung sana.
Seperti sepasang patung , kini aku dan Eddy menatap bingung pada beberapa polisi yang tiba tiba saja berdatangan , entah dari arah mana, memborgol tangan Supri.


Balikpapan, always my illusion on Café Bandar
9 Pebr 06, 03.10 wita


HOTEL

Kelopak pagi merekah dari kuncup fajar yang elok. Ada kokok ayam jantan dan terbit matahari. Apalagi yang lebih indah dari pagi seperti ini? Halaman luas menebarkan harum embun dan dahan dahan basah meliuk liuk ditiup angin sepoi. Sisa hujan semalam telah meninggalkan kerumunan rasa dingin yang meski tak menyengat tulang, namun gemeletuk gigi ketika dera angin menerpa. Amboi, sekelompok kembang sepatupun menunduk hormat ketika aku melewatinya. Jalan kecil berundak undak yang ku titi memang agak licin oleh lumut, tetapi bebatuan tetap memantapkan langkahku menuju sisi rumah sebelah kiri, tempat villa kecilku yang telah dua jam lalu ditinggalkan oleh tamu. Sepasang lelaki dan perempuan , entah suami istri atau bukan, bagiku tak terlalu penting. Yang jelas, mereka telah mendatangkan rupiah buatku, dan kedua anakku. Kadang beberapa kamar yang kumiliki penuh. Tapi tak jarang juga kosong melompong dalam beberapa hari. Ini biasa. Bahkan sering pula aku menurunkan tarif hingga lima puluh persen , demi kebutuhan dapur.
Pernah selama sebulan penuh, kamar kamar yang kumiliki selalu terisi. Ada enam kamar penginapan biasa, ditambah lagi dua villa yang terpisah dari induk rumah, beserta garasi tertutup yang menjaga privacy mereka. Rata rata tamuku berasal dari luar kota, meski pula tak jarang warga kota disekitar sini saja. Ya, tak dapat kupungkiri bahwa aku sering menyesal telah menyediakan ruang bagi pasangan selingkuh yang berindehoy di kamar kamar penginapanku. Tapi kadang juga justru timbul keinginanku untuk mengetahui apa saja yang mereka lakukan di balik dinding kamar kamar itu. Banyak cerita yang lucu, dan banyak juga peristiwa menjengkelkan dari setiap tamu yang datang. Seorang lelaki keturunan Arab suatu kali tersandung jatuh dimuka pintu villa diujung timur, setelah terburu buru lari keluar . Ternyata dia menuju ke warung yang juga milikku, untuk membeli sebungkus kondom. Mungkin lupa membeli di apotik terdekat, atau mungkin pula tiba tiba teman kencannya meminta sarung pengaman sebelum bertempur. Aku hanya tertawa geli melihatnya.
Pernah juga kujumpai pasangan kencan yang bertengkar habis dan berakhir dengan keluarnya siperempuan dari halaman rumahku sendirian. Aku ikut seedih melihatnya. Kubayangkan perempuan itu adalah aku atau anak perempuanku sendiri. Harusnya aku juga sedih mendengar cekakak cekikik perempuan perempuan dibalik kamar kamar itu, sambil membayangkan dia adalah anak perempuanku. Tapi entah, sepertinya nuraniku mulai beku. Kebutuhan rumah tanggaku sekan akan menepikan rasa bersalah telah membuat perempuan perempuan itu melakukan yang seharusnya hanya dilakukan kepada suaminya. Beberapa perempuan tampak beberapa kali menjadi tamuku, dengan pasangan yang berbeda . Mungkin mereka perempuan panggilan. Tapi apa peduliku? Aku tak berhak menghentikan semua kegiatan mereka , profesi mereka. Apalagi mereka mendatangkan uang buatku.
Mula mula aku risih dengan tingkah laku mereka, maksudku tamu tamu yang hanya datang berdua, tanpa membawa tas besar. Sangat kentara bahwa mereka hanya membutuhkan kamar untuk berkencan, bukan bermalam oleh perjalanan jauh. Hatiku teriris dan ada semacam penolakan mendasar yang melarangku mengijinkan mereka menginap bersama. Tapi itu dulu. Tiga tahun yang lalu. Masih ada rasa mengganjal ketika mereka bermanja manja didepan meja resepsioniku.Apalagi jika mereka memesan kamar selama sepertiga hari, delapan jam. Hingga pernah kutulis dengan huruf dan tulisan besar.”Dilarang membawa perempuan kedalam kamar selain istri”. Setiap tamu kuperiksa KTPnya, kutanyai apakah mereka suami istri. Alhasil, dalam dua minggu penginapanku kosong melompong. Rupanya mereka enggan datang ke penginapan kami karena peraturan yang kubuat itu. Perlu waktu untuk menarik kembali tamu tamuku, selain dengan merobek peraturan seram yang kubuat itu, juga dengan sengaja membuka warung kopi di luar pagar dan menyediakan beberapa perempuan yang siap diajak berkencan di kamar kamarku.
Berat memang, tapi demi periuk nasi dan uang sekolah anak anakku , sementara suamiku telah meninggalkanku demi perempuan lain.
Lalu keadaan kembali seperti semula. Kamar tak pernah kosong. Tak pernah sepi oleh jerit dan erang perempuan perempuan yang sedang berakting di dalam kamar. Berakting demi kehidupan mereka sendiri yang tak kutahu persis apa latar belakangnya hingga mau menjalani pekerjaan ini.
Tak jarang aku menerima tamu lelaki separuh baya yang menggandeng gadis belia.
Juga sering siang hari kudapati tiba tiba semua kamar penuh, dan sore harinya telah terisi oleh tamu yang lainnya. Ini sungguh menguntungkan bagiku. Karena dengan begitu , pendapatanku semakin bertambah.
Pagi ini setelah menerima lembaran lembaran uang dari tamu yang nampaknya tergesa pulang tadi, aku berniat membersihkan kamar bernomer 15 tersebut. Si Ujang sudah dua hari ini pamit, anaknya di desa sakit. Tapi aku memang sudah biasa mengerjakan semua pekerjaan rumah, termasuk membereskan kamar kamar di penginapanku. Gemerincing kunci yang terombyok di saku dasterku yang terayun ayun terdengar bagai iringan bagi langkahku meniti tangga. Cukup terengah ketika aku sampai hingga undakan tertinggi. Kuhirup udara pagi Kaliurang. Mataku memandang puncak Merapi. Terhalang sedikit kabut namun tetap saja birunya mampu menawan setiap kali aku memandangnya. Aku mencari anak kunci yang pas dengan nomer kamar yang akan kubersihkan. Dan dengan susah payah, pintu terbuka meninggalkan derit panjang karena kurang pelumas. Segera kubuka jendela supaya hawa segar masuk kamar. Keadaan tampak berantakan. Dua handuk milik hotel terlempar di lantai. Demikian pula cover bed dan bantal, tampak berhamburan di ranjang berukuran king tersebut. Tak apa. Dengan cekatan aku memberesinya, mengganti sarung bantal dan membuka cover bed, menggantinya dengan yang baru. Ada bercak disitu. Aku paham, bercak apa itu. Terlalu sering aku menjumpainya di kamar kamar yang kubersihkan. Bau anyir khas dan rambut rambut kemaluan. Kadang si Ujang mengeluh tentang hal ini. Karena si tamu memang keterlaluan, meninggalkan kamar lengkap dengan bekas dan tapak tilas perbuatannya. Kadang sarung pengamanpun berserakan di kloset, masih lengkap dengan isinya. Tak jarang Ujang bercerita tentang peninggalan peninggalan tamu kami, seperti pakaian dalam yang sengaja dibuang di tempat sampah. Atau tissue tissue yang berserakan memenuhi lantai kamar. Aku kadang kesal dengan perilaku tamu yang demikian. Betapa dia telah benar benar tak memiliki rasa malu dan sengaja mensahkan bahwa penginapanku ini hanyalah tempat untuk melampiaskan nafsu saja.
Aku agak merasa terhina dengan pekerjaan ini, maksudku membersihkan seprei tempat mereka selesai bercinta. Untuk itu , dengan segera kuselesaikan pekerjaan ini. Bergegas aku melempar seprei tebal itu kedalam mesin cuci.
Sejuk hawa dingin masih menerpa wajahku pagi ini. Kuhirup jahe wangi sambil duduk santai di beranda rumah. Anakku yang terkecil, perempuan mengelendot manja dipangkuaku. Usianya 7 tahun. Mulutnya yang mengunyah permen sesekali bercerita tentang apa saja. Tentang ibu gurunya yang cantik, tentang teman teman sekolahnya yang menjahilinya, tentang mang Udin penjaga sekolahnya yang ganteng , dan masih banyak lagi. Sebenarnya pikiranku masih terfokus kepada si seprei yang berbercak dan segala macam isi temat sampah yang baru saja kubersihkan. Sambil kuusap kepala gadis kecilku, aku merasa berdosa telah memberinya nafkah dan kehidupan yang berasal dari kemaksiatanyang dilakukan banyak orang di penginapanku ini. Betapa aku sebenarnya tahu bahwa uang yang kudapatkan bukanlah uang halal. Benar, bahwa aku termasuk orang yang memberikan peluang dan fasilitas bagi para buaya darat dan perempuan jalanan untuk bertransaksi dan menjalankan aksinya disini. Tak itu saja, mungkin diantaranya adalah wanita terhormat dan lelaki terhormat yang bercengkerama dan bercinta secara agung disini. Secara agung ataulah secara murahan, tak ada bedanya. Aku jadi ngungun sendiri. Tiba tiba kulihat bening mata anak perempuanku dan aku merasa sangat bersalah, telah memberinya lingkungan dan pemandangan sehari hari yang tak layak baginya. Bagaimana jika nanti ia tumbuh remaja, apakah ia takkan terpengaruh dengan kondisi buruk ini? Aku juga tiba tiba takut adanya hukum karma. Kembali kuusap kepalanya. Kubelai bahunya. Kuciumi pipinya. Kurangkul dan kubopong ia kedalam pangkuanku. Ia tertawa kegirangan. Tapi sekonyong konyong ia meringis kesakitan.
“ Aduh Ma...sakit Maa...jangan dipegang....” jerit lirih anakku.
“ Apa yang sakit Nak?” sambil kupeluk anakku lebih dalam lagi.
“ Anu Maa....ehhh nggak papa kok, bener, nggak papa” dalih anakku sambil melorot dari pelukanku. Matanya tertunduk. Seperti menyimpan rahasia.
Aku segera tanggap, feelingku mengatakan ada yang tak beres dengan gadis kecilku ini. Segera kutangkap tubuh mungilnya. Kuraba bagian tubuhnya yang vital. Dan benar, ia menggelinjang kesakitan.
“ Kenapa sakit nak? Siapa yang nakal?” tanyaku memburu
“ Kata mang Ujang, nggak boleh ngomong ke siapa siapa Mah....”
“Jadi Mang Ujang yang melakukannya?” aku tak sabar mendengar jawabannya
Tanpa menjawab, anakku tampak semakin ketakutan. Berkali kali aku mendesaknya, dan ia tampak menggigil , tangisnya menjadi.
Ya Tuhan, jantungku hampir berhenti berdetak. Apa yang barusaja kutakutkan telah terjadi. Kuharap ini mimpi. Tapi tangis anakku semakin menyadarkanku bahwa ini benar terjadi. Ini bukan mimpi. Seperti malapetaka, aku merasa ini adalah ganjaran dari segala kesalahanku selama ini. Selintas kuingat mang Ujang yang tergopoh gopoh pamit pulang kampung dua hari yang lalu. Raut wajahnya memang agak mencurigakan, seperti menyimpan sesuatu. Anaknya sakit, alasannya waktu itu.
Dadaku bergemuruh. Laksana api yang berkobar, dendam amarahku memuncak. Segera kuraih gagang telepon. Ku pencet nomor hp mang Ujang. Tulalit. Kuulangi lagi hingga beberapa kali. Tetap tulalit. Lalu kupencet nomer emergency kepolisian. Ada jawaban. Tapi lidahku kelu. Aku tak mampu berbicara. Apa yang harus kulaporkan adalah aib buat diriku sendiri. Aku merasa inilah kutukan. Dari seberang telepon, masih kudengar sahutan suara halo halo. Tapi kututup gagang telepon dengan tangan yang kelu. Hati yang kelu.


Bpp, 8 Pebr 2006

TARI

SECANGKIR cappucino di atas meja kecil mengepul panas. Asapnya wangi menguar di kamar berwarna putih bersih. Hentakan “On Broad way”-nya Gerorge Benson membahana dari speaker pipih di sudut ruangan. Iramanya berdentum energik dan menggairahkan. Bersama beberapa keping biskuit, kunikmati pagi yang sempurna ini. Ada sinar matahari yang menerobos hangat dari balik kain gorden jendelaku yang lebar menghadap timur, arah terbitnya matahari. Dan hawa sejuk tetap bisa kurasakan dari hembusan angin yang melambai. Segar terasa benar. Tubuhku, jiwaku.
Tidur semalam sangat nyenyak, tak ada mimpi, tak terbangun tengah malam. Dan baru saja guyuran air dari shower menyempurnakan segala kesegaranku pagi ini. Aroma sabun dan shampoo masih melekat di tubuhku. Kutambah lagi dengan sepercik parfum beraroma maskulin. Kulipat kakiku, duduk bersila membaca koran pagi. Perlahan kuhirup dan kunikmati secangkir cappuccino buatanku sendiri. Minggu yang cerah. Aku libur hari ini. Rencana beberapa kawan akan bertandang ke kostku nanti siang, untuk bersama nonton film-film terbaru, di sini. Perangkat audio visualku lumayan lengkap, enak untuk ramai ramai menikmati cerita-cerita seru dari kaset DVD atau VCD.
Aku lalu membenahi kamarku. Kulipat selimut tidurku dan kurapikan ranjang. Kusimpan pakaian kotor ke dalam keranjang. Kusapu dan kubetulkan letak barang yang tak beraturan. Ada gitar tua yang kugantung di dinding, di bawah jendela ada rak buku dan kaset-kaset. Kamarku tak besar. Berukuran 4 x 5 meter saja, standar untuk ukuran kamar kost bagi karyawan. Di dinding putihnya kugantungkan berbagai foto kenangan, foto diri dan beberapa foto keluargaku. Sebagian puisiku juga rapi kubingkai dan kutaruh pula di situ. Banyak orang yang masuk kamarku, memuji akan keartistikkan dan keunikanku menata ruangan. Ini sengaja supaya aku nyaman tinggal di kamar, ketika aku off dari lokasi selama seminggu. Pekerjaanku sebagai karyawan lokasi pengeboran minyak mengharuskanku bekerja di lapangan atau lokasi tambang selama dua minggu penuh dan libur selama seminggu. Jadi kuusahakan semaksimal mungkin, kamarku adalah istanaku. Tempat aku istirahat dan terkadang menulis beberapa cerpen atau puisi dikala inspirasi datang.
Kesukaanku terhadap musik dan film juga kupenuhi dengan mengoleksi kaset kaset lagu dan film terbaru. Begitu juga buku. Kegemaranku membaca membuat rak bukuku nyaris jebol saking banyaknya buku yang kukoleksi. Intinya, hasil jerih payahku selama 5 tahun aku bekerja, tak sia sia. Meski gajiku tak seberapa besar, tapi paling tidak aku bisa membeli barang ini atau itu sesuai kebutuhanku.
Kuhirup napas panjang. Kunikmati kesendirianku di kamar mungil ini. Kali ini Gerarld Joling mengalunkan “So Hurt”. Irama semi blues pop membawaku ke berbagai kenangan di masa kecilku. Desa tempat tinggalku. Ah, sangat kontras dengan kota yang sudah lima tahun lebih ini kuhuni. Dengan modal nekad, selepas SMA aku lari ke Balikpapan ini, kota yang lumayan ramai dan padat. Kota minyak yang terkenal dengan masyarakatnya yang heterogen namun tanpa gejolak. Berbagai suku ada di sini. Berbagai jenis karakter manusia berbaur menjadi satu. Tak banyak pengangguran di sini. Isinya lebih banyak pekerja dan karyawan, baik asing maupun pribumi. Ibaratnya, di sini tak ada bayi lahir dan tak ada orang mati. Para perantau datang ke sini pada saat dewasa untuk bekerja dan pulang ke tanah asalnya pada saat pensiun atau menjelang tua. Benar-benar kota produktif. Sungguh beruntung aku terdampar di sini, yang jauh dari kampung halamanku di pelosok Jawa Tengah sana.
Tiba-tiba, ponselku bergetar, sebuah pesan pendek, dari Tari, adik semata wayangku. Isinya singkat saja, bahwa ia akan datang ke kotaku, dalam waktu dekat ini. Seperti tersihir aku mengulang-ulang pesannya. Tak ada sms lanjutan yang isinya pembatalan atau pernyataan bahwa pesan pendek itu salah kirim. Kucek lagi nomor pengirimnya, ya , benar nomor Tari. Berarti ia betul-betul akan ke sini dalam waktu dekat ini. Ada apa? Itu pertanyaan yang berkecamuk di benakku. Belum pernah Tari ke sini sebelumnya. Bukankah ia masih kelas 3 SMA? Lalu bagaimana sekolahnya? Apakah ia akan menetap atau sekadar jalan-jalan? Tapi setahuku, ini bukan musim liburan anak sekolah. Jadi pasti ada yang tak beres dengan Tari. Aku tak segera menjawab sms adikku itu. Masih kupikirkan kalimat baik untuk menanyakan alasan mengapa mesti datang ke kotaku yang jauh ini. Bukannya aku tak suka akan kedatangannya. Tapi aku mengkhawatirkan sekolahnya dan terus terang, sudah terbilang dua belas tahun kami sejak orang tuaku bercerai dan kami berpisah, aku hampir tak pernah bertemu dengannya maupun ibu. Namun aku tak berharap hal ini akan menimbulkan masalah.
Seminggu setelahnya, di bawah matahari yang membakar kota kami, aku menjemput Tari di bandara Sepinggan. Dengan sepeda motor bebek kebangganku, aku berangkat dari kostku. Sampai detik itu aku belum tahu berapa lama ia akan tinggal. Ternyata bawaannya banyak sekali. Kuhitung ada tiga tas besar dan dua kardus, entah berisi apa saja. Aku tertegun. Bukan hanya karena bawaannya itu. Tapi karena penampilan Tari yang berbeda sama sekali dengan saat terakhir kali kami bertemu. Rambutnya disemir pirang, pakaiannya sangat fashionable, tubuhnya yang semampai tampak padat berisi. Hampir aku pangling, tak mengenalinya, andai ia tak berseru lantang menyebut namaku sambil menghambur memelukku.
“Tari? Astaga, kau kah ini Nduk?” seruku tak kalah histeris
“Ini Tari, mas Harris,” sambil pelukannya bertambah kencang di dadaku. Kusadari orang di sekeliling mulai memperhatikan kami. Segera kuajak Tari menepi dari gelombang manusia yang baru turun dari pesawat itu. Café di sebelah pemberangkatan menjadi tujuanku sementara, sambil menentramkan jantungku yang baru saja hampir copot demi melihat perubahan mencolok adikku ini.
Segelas jus mangga mengalir di kerongkonganku yang kering menahan berbagai pertanyaan. Seakan mengerti, Tari tak berlama lama bercerita singkat mengenai kedatangannya ini, sekaligus memberikan alasan mengapa dandanannya berubah.
“Aku ingin pindah sekolah disini saja mas.”
“Kenapa?”
“Nanti aku akan jelaskan, tapi tidak sekarang.”
“Ibu tahu kamu berangkat ke sini?”
“Nanti saja aku jelaskan, mas. Butuh waktu semalaman untuk bercerita tentang semua.”
“Lalu rambutmu, kenapa ?”
“Yah, mas Harris ini udik, ndeso! Yang begini ini keren mas, gaul.”
Ya ampun, aku hanya bisa mengelus dada. Terakhir kali ketemu dengannya, dia masih kelas 5 SD. Masih ingusan. Masih kolokan dan cengeng minta ampun.
Selanjutnya, siang yang merah, saga dalam perapian kamarku seakan membara. Cerita Tari benar-benar membakar kemarahanku. Bapak tiriku ternyata tak sebaik yang diagung-agungkan ibuku. Selain kurang bertanggung jawab terhadap ibu dan adik-adikku, ia juga “memangsa” Tari. Sepengakuannya, Tari telah lebih setahun dipaksa melayani nafsu bejat lelaki itu, di kala ibu pergi kerja. Hatinya selalu bergejolak, antara menyimpan masalah itu sendiri, atau mengungkapkannya pada ibu. Keduanya dirasa sangat berat bagi Tari. Jika diungkapkan, pastilah ibu tidak akan terima dan menuntut cerai. Paling tidak, luka hati ibu akanlah sangat dalam. Dia dan dua adik yang lahir dari perkawinan kedua ibu, juga pasti terancam dalam soal keuangan dan bahkan mungkin tak bisa melanjutkan sekolah. Jadi Tari memilih untuk diam sambil menyimpan sendiri kepedihan hidupnya di usia muda. Hari-hari dijalaninya dengan penuh penderitaan. Ketakutan yang berlapis-lapis selalu menjadi bebannya. Di satu sisi, ia takut ketahuan oleh ibu, demi menyelematkan keluarga, dan di sisi lain ia juga takut pada sinar matahari pagi, yang memberikan celah bagi bapak bangsat itu menidurinya. Tari masuk sekolah sore. Setiap pagi, setelah ibu dan kedua adiknya berangkat sekolah, adalah saat yang tepat bagi lelaki hina itu melampiaskan kebusukannya. Awalnya Tari bisa menolak dengan berbagai cara. Tapi akhirnya ia menyerah juga, ketika ancaman lelaki itu bertambah membuat ciut nyali Tari. Hari demi hari, bulan demi bulan, tak terasa berbilang tahun, Tari menjalaninya dengan patuh, demi menyelamatkan ibu dan adik adik, sekaligus menahan aib keluarga.
“Dandananku menjadi begini, adalah hal kecil yang ditimbulkan dari kekecewaanku terhadap hidup.” Air matanya menggenang dari pipinya yang putih bersih
“Lalu bagaimana kau harus mengakhiri kebejatan bajingan tengik itu?” tanyaku geram.
“Ya, sepertinya dengan lari ke sini, adalah salah satu hal terlogis untuk lari dari cengkeramannya, tanpa harus menyakiti ibu, mas.”
“Tapi ini tak bisa dibiarkan, Tari.”
“Biarlah mas, aku ikhlas masa mudaku hancur remuk di tangan cecunguk itu. Tapi kumohon, jangan hancurkan cinta ibu padanya. Aku tahu , ibu sangat mencintainya, mas.” Tangis Tari menjadi jadi. Dadanya berguncang guncang. Perasaaanku ikut remuk redam.
Kutenangkan dia dengan pelukanku. Kuciumi pipinya, kubelai rambutnya. Kasih sayangku padanya sebagai kakak tetap utuh meski telah terpisah oleh jarak dan tahun tahun yang diam menyimpan cerita kami masing masing.
“Kau punya kekasih, Tari?”
“Aku tak sempat memikirkan kekasih, mas. Lagipula aku takut ketahuan bapak. Dia pasti akan menghajarku bila aku pacaran.”
Dan pagi demi pagi, siang demi siang, sore demi sore dan malam demi malam kami lewati bersama di kamar kami yang sebenarnya tak cukup besar buat kami berdua. Sudah kupikirkan untuk menyewakan kamar sendiri buat Tari. Tapi sementara ini aku juga melihat Tari belum siap untuk kost sendirian. Jiwanya masih sakit dan labil menghadapi hiruk pikuk dunia dan permasalahanya sendiri. Jadi, sambil menunggu segala sesuatunya membaik, apa salahnya ia tinggal denganku. Toh aku hanya seminggu turun dari lokasi dan pulang untuk selanjutnya kerja lagi selama dua minggu.
Mula mula memang agak canggung. Bagaimanapun aku dan Tari telah lama tak bertemu. Banyak sekali perubahan yang kadang membuat kami merasa asing satu sama lain.Entah apa itu namanya. Yang jelas, kami bertambah sayang dan saling membutuhkan. Oh ya, dia juga sudah kudaftarkan sekolah di sini.
“I like chopin” masih berdengung di telingaku. Ini kepulanganku kali ketiga di kostku yang kian rapi dan tertata indah oleh Tari. Hmmm…ternyata enak juga punya teman sekamar yang rajin seperti dia. Banyak kawan kostku iri. Mereka semua kenal dengan Tari dan rata rata mengagumi kecantikan luar dalam yang dimiliki Tari. Tak hanya wajahnya yang cantik alami, dan bodynya yang aduhai, tapi keramahannya dan kebaikan hatinya telah membuat luluh para bujangan yang tinggal di sini. Beberapa bahkan telah terang terangan “nembak” , meminta Tari menjadi kekasihnya. Tidak ada satupun yang nyantol di hati Tari. Agaknya dia masih trauma dengan pengalaman pahitnya bersama”bapak”nya.
Hanya denganku Tari merasa aman dan leluasa mengungkapkan kata hatinya. Segala keluh kesah dan keinginan-keinginannya ia beberkan padaku. Dan dengan kedua tanganku , aku selalu saja siap memeluknya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang, meredakan ribuan gelisah dan kesedihan yang panjang menderanya.
Malam ini terasa sedikit mencekam. Hujan turun sejak sore tadi. Bersama petir dan guntur yang datang bersahutan. Badanku terasa capai. Namun secangkir kopi rasa vanilla yang disajikan Tari, mampu meredakan keletihanku. Bersama musik yang mengalun, rinai hujan dan dingin yang menusuk menjadi indah. Apalagi pijatan ringan Tari di kedua bahuku sanggup membuat mataku setengah tertutup oleh kantuk yang mulai menyerangku. Aku telungkup di kasur busa tipis dan dia duduk di sampingku. Mula mula aku tak memperhatikan roknya yang tersingkap itu. Tapi sepertinya di antara tidur dan bangun, aku merasa ada perasaan aneh menyelubungiku. Apalagi ketika pijatannya semakin terasa enak dan tanpa rasa canggung ia memijat seluruh bagian belakang tubuhku. Kami diam saja. Aku pura-pura tertidur dan berusaha menahan gejolak. Tapi dia terus memijatku dan menemukan titik-titik kerawananku. Aku hampir tak kuasa. Entah apa yang dirasakanya, namun sepertinya ia juga menikmatinya. Aku tak tahu bagaimana menghentikannya. Kelajangan dan kelelakianku membuatku tak menolak sentuhan perempuan, meski dia adikku.
Seperti yang sudah terjadi, aku pulang dan pergi . Dua minggu di lokasi dan seminggu di rumah kost. Yang tak pernah terjadi, kini aku merasa semakin cepat ingin pulang. Rasanya ada yang menantiku di kamar kostku yang mungil itu. Aku tak tahu apakah ini salah? Sepertinya aku telah tersihir oleh berbagai teori pembenaran yang berkecamuk di dalam pikiranku sendiri. Tari perlu kasih sayang. Tari butuh pengayom . Tari butuh sentuhan yang pernah secara terpaksa di terimanya.Tentu kali ini beda. Apa yang dia terima dariku bukannya keterpaksaan, tapi sesuatu yang dia butuhkan. Kebutuhan perempuan dewasa kepada lelaki dewasa. Tari butuh sepeluk dan sedekap yang menghantar mimpinya. Benarkah ia masih punya mimpi? Entahlah. Yang jelas aku dan dia sama saling membutuhkan. Aku seperti kembali menemukan kasih sayang ibuku, yang jelas terpancar dari segala gerak dan lakunya. Dan mungkin ia juga menemukan figure Bapak didiriku. Ah, tak tahulah apalagi yang kurasakan, kini bercampur aduk di dadaku yang setiap saat bergemuruh bila didekatnya.
“Mas, ada yang ingin kubicarakan.”
“Ya, cepat katakan Tari, sebelum aku berangkat dua jam lagi ke lokasi.”
Jadwalku hari ini turun ke lokasi. Dengan naik pesawat kecil yang akan menghantarkan ke sebuah tanjung off shore di tengah laut. Dua minggu lagi baru akan kembali.
“Mas…..” wajah Tari pucat , matanya menatapku lama sekali.
“Ada apa adikku sayang? Ccepat katakan.”
“Mas…aku terlambat mens, sudah tiga bulan ini, mas… “ ia lalu tertunduk, tak lagi berani menatapku.
Laut yang biru kini semakin terlihat dalam dan tenang. Tapi segerombolan kabut seperti membutakan pandanganku. Serombongan camar laut riuh mengepakkan sayapnya , terbang tepat di atas anjungan tempatku bekerja. Hentakan musik tak terdengar di sini. Yang ada dentuman mesin besar menghantam dasar laut, mencari aliran minyak yang akan diolah menjadi bahan bakar. Aku duduk sendiri di kegelapan senja, menatap laut yang seakan tak bertepi. Risau hati ini tak terperi dan belum terobati . Sudah kuhitung-hitung berapa lama Tari berada di kotaku. Kuhitung pula mulai kapan aku bercinta dengannya. Ternyata memang jika benar telah tiga bulan usia kandungan Tari, bukanlah aku bapaknya. Bisa jadi itu bayi ayah tiri kami atau siapa, entah aku tak tahu. Tapi aku tak akan tega untuk menanyakan padanya. Meski untuk bertanggung jawab, jelas itu tak mungkin. Apa kata orang nanti . Seorang kakak kandung menghamili adiknya.
Angin yang semilir mengirimiku sejuta gundah dan pikiranku yang terombang ambing serasa gelap tak berujung.
Wajah Tari terus membayang dan untuk sekali ini aku enggan untuk pulang.
Balikpapan, 3 Desember 2005

Thursday, October 27, 2005

Mbak Ratna

Oleh : shantined

Dan masa lalu selalu menjadi bagian terpenting hidup ini. Yang ada dihadapan adalah hari ini, menyisakan harap pada esok hari. Demikianlah yang menjadikan mbak Ratna bersikukuh untuk tidak menikah di usianya yang ke 35. Meski banyak pria mau padanya. Meski banyak lelaki naksir mati matian padanya. Bahkan beberapa diantaranya telah memberanikan diri meminangnya.Bagaimana tidak? Wajah mbak Ratna ayu, tubuhnya elok, kulitnya kuning kecinaan, mulus bersih, adabnya juga santun. Tata kramanya baik, tak sombong dan tak banyak bicara. Bekerja pada sebuah bank swasta yang terkenal banyak gajinya.

Entah apa saja yang dipikirkan gadis itu sehingga tak juga menerima pinangan pria yang mencintainya. Harta sudah cukup, usia sudah lebih dari cukup, seharusnya mentalnya juga cukup sudah untuk hidup berumah tangga, seperti tuntutan orangtuanya yang mulai sakit sakitan dan terus saja menanyakan kapan akan menimang cucu dari anak perempuan semata wayangnya itu.

Duh Gusti Pangeran….dengan modal yang besar seperti mbak Ratna , seharusnya ia mendapatkan seorang priyayi atau paling tidak orang kantoran yang sederajat dengannya. Sedangkan ini, sejak aku tinggal dipojokan rumahnya sebagai mahasiswa indekosan, tak pernah kulihat sekalipun mbak Ratna pergi bersama lelaki, atau paling tidak diapeli oleh seorang seseorang.

Entahlah kalau di kantornya, bisa saja ia punya pacar. Tapi tidak. Setahuku tidak. Ia berangkat pagi benar dari rumah, mengendarai sedan putihnya. Dan pulang setelah senja tiris di penghujung langit. Selalu begitu,ritme yang membosankan. Hari Sabtu ,Minggu, dan hari libur lainnya dilaluinya hanya dirumah. Bersama bapak – ibunya yang sudah sepuh, dan pembantu setianya yang juga sudah uzur. Hanya sesekali kulihat ia pergi berbelanja ke supermarket atau ke pasar tradisional , itupun membawa serta Yu Nah, pembantunya itu.

Jadi jangankan ke diskotik atau dugem di bar bar , karaoke pun cukup dirumah saja. Perangakat home theatrenya sangat lengkap dirumahnya yang cukup besar. Terkadang, kami para indekosan yang memang kurang hiburan ini nunut nonton film ,atau bila kebetulan mbak Ratna sedang nyanyi, kamipun di persilahkan untuk ikut bernyanyi bersamanya. Suaranya tak terlalu merdu, tapi cukup empuk untuk dinikmati. Tinggi melengking, meski kadang agak blero, atau fals di nada nada yang sulit. Tapi musik kegemarannya memang jazz. Penyanyi idolanya Januari Christy, Ermy Kulit, Iga Mawarni dan Duo Deddy Dukun – Dian Pramana Putra.

Kami para mahasiswa yang terdiri dari 7 orang ini pun terkadang mendapat berkah , makan malam gratis di rumah mbak Ratna pada acara acara tertentu yang di hadiri oleh kerabat dekatnya saja, yang terdiri dari keluarga besar Raden Wirokromo ,ayah mbak Ratna, serta teman teman wanita kantor mbak Ratna yang terlihat akrab dan dekat dengannya. Tak terlihat satupun tamu lelaki yang bisa diidentifikasikan atau dicurigai sebagai pacarnya.

Hanya kami bertujuh yang merasa beruntung bisa memandang lama lama kemolekan mbak Ratna, sekaligus terkadang diajak ngobrol tentang kampus, dosen dosen, mata kuliah dan ilmu ilmu yang canggih . Tentang komputer dia jago, tentang analisa keuangan dia pakar, tentang agama dia fasih, tentang Iptek dia doyan. Lalu apa yang menyebabkan kami para lelaki untuk tak menyukainya? Disamping pintar , dia sangat cantik, kaya pula.

Lalu apa yang menyebabkannya diusianya yang kepala tiga , belum juga singgah di hatinya seorang kekasih ? Tentu saja kami tak pernah menanyakan jawabannya. Hanya sering kami diskusi dikalangan para indekosan ini, tentang perkara apa yang menyebabkan mbak Ratna menjadi perawan tua.

“ Rud…..kapan kau pulang kampung ? “ tanya mbak Ratna suatu sore

“ belum tahu mbak…mungkin minggu depan” jawabku sekenanya. Jadwal pulangku biasanya memang awal bulan, tapi bulan ini benar benar kocekku sangat tipis, sehingga kepulanganku harus kutunda hingga honorarium puisiku di koran lokal cair.

“ Kalau begitu , bisa nanti mbak minta tolong ya, untuk mbantuin edit tulisan mbak untuk majalah psikologi ya?”

“ wah…mulai kapan mbak suka nulis? Di majalah psikologi pula. Tapi bolehlah mbak, kapan bisa dimulai” cecarku sambil merasa bangga.

“ Nanti mbak kasih honor dehhh….jangan kuatir!”

“walah Mbak….ngggak usah dipikirkan masalah honor, bisa membantu Mbak pun, saya sudah senang ” dengan jujur kukatakan

“ Oke deh, nanti malam bisa khan? Aku tunggu ya di ruang kerja saya…?!”

“ Iya Mbak” sahutku cepat, sebelum dia berubah pikiran

Siapa yang tak bangga, bisa menolong mbak Ratna. Apalagi tadi katanya dia minta di editkan tulisannya untuk majalah psikologi. Ahh…kecil itu! Aku sudah biasa menullis tentang perihal yang sama , untuk thesis dan kadangkala kukirimkan juga untuk majalah dan koran koran daerah. Kuliahku di jurusan Bahasa dan Sastra telah mengajarkan untuk menulis tentang apa saja, termasuk juga puisi dan cerpen yang kini hampir tiap minggu di muat di koran terkemuka kotaku.

Aku segera mandi dan memakai baju andalanku. Kaos oblong warna biru dipadu dengan celana jeans butut yang sobek disekitar lutut.

Tak lupa parfum kesayanganku , kusemprot dibagian telinga dan dada, agar apabila nanti berdekatan dengan mbak Ratna, ada harum yang lain selain bau rokok.

Pukul 7 tepat, aku melangkah dengan tegap . Penuh keyakinan, dan percaya diri. Ini jelas beda dengan si Asep yang minggu lalu juga mengetok pintu ruang kerja mbak Ratna , untuk meminjam uang, karena ibunya sakit dan ia harus segera pulang kampung. Sementara ia bokek berat, sama halnya dengan kami kawan kostnya. Jadi dengan terpaksa, kami hanya menganjurkan untuk meminjam pada Mbak Ratna. Siapa yang akan meminjami uang pada malam malam begitu, selain mbak Ratna? Dan beruntung , mbak Ratna berkenan memberi pinjaman.

“ Tokeeekkk” suara tokek mengejutkanku yang berdiri tepat di pintu ruang kerja Mbak Ratna

“ Masuuukk, Rud……Nggak kukunci kok” aku tambah terkejut . Ternyata detak langkah kakiku yang tak bersepatupun terdengar olehnya.

“ ya Mbak……”

Kamar berukuran 4 x 4 itu menebarkan wangi. Mungkin telah di semprot pengharum sebelum aku masuk tadi. Tapi tidak, wangi itu berasal dari tubuh ramping mbak Ratna. Hhhmmm…parfum yang menggoda. Parfum mahalan, tak seperti punyaku yang beli di toko manapun ada.

“ Rud…udah makan?”tanyanya

Aku diam saja. Tak menjawab, pura pura sibuk memperhatikan kamar kerjanya yang penuh dengan buku itu. Baru sekali ini aku masuk di ruang pribadinya itu, semenjak 2 thn yang lalu kost di rumahnya.

“ ya sudah, nanti setelah selesai dengan pekerjaan, kita makan bersama ya”

Aku hanya mampu menganggukkan kepala. Tiba tiba saja jantungku berdegup sangat keras. Tanganku berkeringat dingin. Ada semacam aliran aneh yang kurasakan mengalir di nadiku , sesaat melihat kecantikan Mbak Ratna dari dekat.

Dan waktu berlalu sangat cepat malam itu. Tulisannya yang hendak ku edit agak mengejutkanku. Topiknya tentang perempuan yang memilih tak menikah, sangat bersinggungan dengan kehidupan pribadinya. Tapi jujur kuakui gaya bahasa dan penuturannya sangat bagus dan akurat. Luwes dan agak kenes. Menyebabkan tulisannya tak terlihat frontal, meski termasuk bahasan yang kontroversional.

Akupun tak banyak mengedit . Karena memang sudah tak banyak yang harus di edit.

Sejatinya aku merasa heran, untuk apa aku dipanggil dan dimintanya menolong mengedit tulisan yang sudah sedemikian rapi dan siap kirim ini. Tak perlu di edit oleh siapapapun sebenarnya. Kalaupun aku tadi mengotak atik tulisannya tersebut, tak lebih hanya membenarkan kosa kata dan membuang titik koma yang tak berarti. Toh dewan redaksi majalah akan melakukannya nanti.

Jadi untuk apa aku disini? Aku masih saja berpikir, ketika Mbak Ratna tiba tiba menyuruhku duduk di kursi, dan dia sendiri duduk di meja kerjanya, menghadapku.

Darahku terkesiap, benar benar jantungku hendak melompat keluar , ketika roknya tersingkap tepat di muka hidungku. Pahanya yang putih mulus terlihat dari sela rok yang terlipat . Entah sengaja atau tidak , Mbak Ratna sepertinya membiarkan hal ini terjadi.

Duh….aku jadi serba salah. Pandanganku kualihkan tepat ke manik matanya, meski tanpa komando, terkadang masih juga kulirik pemandangan indah di depan mataku.

“ Jadi begini Rud….”

“ ya Mbak..”

“ Kamu sudah baca dan mengerti tulisan Mbak yang tadi khan?

“ya Mbak”

“ Ya begitulah Rud….hidup Mbak memang tak seperti wanita sempurna. Punya suami, punya anak, punya keluarga”

“ya Mbak” aku masih tak mengerti maksud ucapannya, mungkin perhatianku terpecah pada paha putih dan mulus di hadapanku.

“ Aku lebih suka hidup sendiri , tenang dan menyepi , tak ingin terlibat pada persoalan rumah tangga yang pasti dialami oleh pasangan suami istri”

“ ya Mbak….” Aku masih saja ngungun. Konsentrasiku benar benar kacau. Lantas akupun membayangkan malam itu akulah kekasih Mbak Ratna. Pasti akan segera kupagut bibir merah mawarnya, kubelai rambut mayang hitamnya, akan kusingkap lebih tinggi lagi roknya, akan ku ……….

“ Tapi sebagai wanita , aku juga mendamba kasih sayang lho Rud….sama seperti semua makhluk di dunia ini”

Tak kuperhatikan lagi kata kata mbak Ratna. Anganku telah melambung tinggi. Diantara kawan kost , akulah yang tertampan. Setidaknya tubuhku paling berisi , tinggi badanku juga diatas rata rata temanku yang lain. Semoga saja Mbak Ratna memang benar sedang menaksirku , dan malam ini mungkin dia hendak mengajakku bercinta. Ohhh indahnya….. meski usianya telah 35 , tapi tubuhnya tak ubahnya remaja. Cara berpenampilanpun tak menampakkan usia sebenarnya.

“ Rudd…kau masih mendengarku ? Kok tegang seperti itu sih Rud? Aku khan mengundangmu kesini selain minta kau mengedit tulisanku , juga ingin mendengar pendapat pribadimu, tentang aku, juga tentang tulisanku tadi…”

“ Ya Mbak…” aku masih tak kuasa berkata kata

“ Begini saja Rud…, kita makan dulu ya….biar Yu Nah antarkan makanan kesini, baru kita diskusi …”

“ Ya Mbak”

Lalu sajian makan malam berupa nasi , rawon, telur asin dan kerupuk udang menjadi semacam pelumer keadaan. Meski tenggorokanku masih saja seperti tercekat.

“ Mbak sudah anggap kamu ini seperti keluarga sendiri, adik sendiri, apalagi Mbak sering memperhatikan kamu. Kamu orangnya baik, pintar dan dewasa. Tak suka bikin ribut seperti teman temanmu.”

Aku jadi tambah gede kepala, tapi kok dianggap adik ya? Kenapa tak dianggap teman dekat atau bahkan teman suka duka? Bukankah kami sudah sering berdebat dan bertukar pikiran, meski itu sambil guyonan di halaman rumah, diparkiran mobil ataupun di dapur.

“ ada apa to Mbak…..kok saya jadi salah tingkah begini?” ucapku jujur

Tawa Mbak Ratna renyah memecah malam, bahunya terguncang guncang. Aku bertambah salah tingkah. Malam telah larut, rembulan setengah , mengintip di balik jendela yang sengaja di biarkan terbuka mengirim angin sepoi. Gerimis di luar sana telah mengharumkan tanah basah.

*****************

Dan begitulah, Mbak Ratna menceritakan dengan sangat lengkap mengenai masa lalunya. Yang kelam selegam langit malam ini. Kepadaku ia bercerita mengenai kegadisannya yang telah lenyap di renggut oleh pamanya, sewaktu usianya belum 7 tahun.

Lalu ketika berusia 12 tahun, pamannya yang lain sering memaksanya melayani nafsu bejatnya.Hingga bertahun tahun itu terjadi, hingga membenihkan seorang bayi di rahim suci Mbak Ratna. Dan kini bayi itu masih hidup dan dirawat oleh bibinya, istri dari pamannya yang kurang ajar tersebut. Sedang berita pamannya, terkabar sudah tewas di ujung tombak ayahanda Mbak Ratna yang sangat marah dengan tindak tanduk adiknya tersebut.

Lalu paman yang pertama kali menodainya itu selamat, karena ketakutan Mbak Ratna hingga tak tega mengadukannya pada Romo Wirokromo. Takut tombak yang sama akan menuntaskan hidup seorang paman yang kini sudah cukup renta itu. Paman Haryo memang tak berkeluarga. Padahal hidupnya berkelimpahan , hasil dari berdagang dan bertani di dusunnya. Tapi tak seorangpun gadis mau berdekatan dengan pamannya tersebut . Sifatnya sangat kasar dan galak. Maklumlah jikalau Ratna kecil saat itu terbungkam mulutnya hingga bertahun tahun, hingga kini ia menceritakan padaku. Dan kini paman Haryo laknat tersebut tinggal di rumah besar milik kelg Raden Wirokromo ini, seperti tanpa rasa bersalah. Ya, sudah sekitar sebulan ini paman renta itu tinggal di kamar besar paling depan, setelah menjalani operasi katarak di kota ini.

Pantas saja Mbak Ratna seperti gelisah sejak kedatangan orang tua itu. Luka lama yang telah dikuburnya , tiba tiba saja tercungkil cungkil tanpa disadari. Perih yang mendera lebih dari separuh hidupnya seakan kembali nganga terbuka. Ah aku tahu, inilah rupanya yang menyebabkan Mbak Ratna enggan berhubungan dengan pria . Mungkin rasa minder, atau mungkin dendam yang selalu menyala telah membawanya pergi ke kehidupan yang hanya dia nikmati sendiri. Entahlah aku tak mengerti

Yang kutahu, air matanya menetes , suaranya parau menahan duka, dan wajahnya sangat sayu seolah mengisyaratkan aku untuk segera menenangkannya, dengan pelukku misalnya.

Dan benar , dia diam saja ketika kuulurkan sebuah tissue ,dan aku menyeka air matanya. Lalu ku bimbing dia menuju kursi, sambil kurengkuh mungil pundaknya. Sesenggukannya yang terdalam masih kurasakan , ketika diakhir kalimat dia menyebutkan bahwa tak akan pernah menikah. Karena cintanya pada lelaki tak pernah tumbuh. Karena lukanya kepada lelaki tak pernah paadam. Karena kekasihnya adalah Mbak Eka , yang photonya memang berserakan di kamar kerjanya, ruang tamunya, ruang hatinya, ruang hidupnya.

Ya, mbak Eka adalah teman sejatinya, yang selalu datang menemani sepinya, getirnya, sukanya, dukanya. Tubuh Mbak eka atletis dan tomboy, meski tutur katanya juga halus seperti Mbak Ratna.

Aku jadi teringat, mengapa lebih sering mbak Eka menemani Mbak Ratna pergi kondangan, acara ulangtahun dan acara kantor lainnya.

Duh Gusti Pangeran……nafasku seakan benar benar habis tersedot oleh akhir drama yang disuguhkan oleh Mbak Ratna. Ketika sebuah cundrik berbisa telah disiapkannya dari laci meja, untuk menghabisi paman Haryo malam ini juga.

“ tolong aku Rud….sekali ini saja….dendamku masih kesumat. …benciku masih membara……”

Aku diam beku tak beranjak dari dudukku.

“ Ayolah Rud, bantu aku…….apapun akan kau dapatkan tanpa kecuali. Ayo kita bercinta, jika itu yang kau mau. Asal kau mau membantuku. Aku yang akan bertanggung jawab kepada polisi nanti, kau tak akan kulibatkan. Ayolah Rud…..aku perlu tenaga lelaki untuk menghabisi lelaki tertengik itu…..ayolah Rud…..ayolah Rud……” Dan kata kata Mbak Ratna terus menggema di gendang telingaku. Terus membiusku , membuatku sungguh bingung, ini mimpi atau nyata.Hingga aku menyadari ini bukanlah mimpi, oleh desahan manja dan tubuh yang telah tanpa busana tergolek dipangkuanku yang membatu.

Ya, membatu.

*************************

Balikpapan, 3 Mei 2005

PENGUNGSI

Lima episode dalam hidupku mengajarku menatap rembulan lebih lama dari menatap matahari. Kegelapan adalah abadi, dan terang adalah kesementaraan. Tak ada pijar melebihi sinar mataku , dan tak ada gelap melebihi buramnya sukmaku. Kuakui aku telah terluka oleh bermacam macam bencana. Untuk itu aku aku mengungsi di seladang hatimu. Bukan menjadi tawanan , tetapi pengungsi yang tinggal menetap. Tak tahu hingga kapan, aku tak sudi memikirkannya.

Bila hari gerimis dan langit mendung, aku selalu keluar sebentar. Untuk menghirup aroma hujan. Berputar putar , menikmati kembang dan pepohonan yang kuyub oleh air dari langit. Berkeliling kebun, memungut dedaunan yang luruh dan buah buahan yang busuk terjatuh di tanah.

Dan kembali pulang jika matahari telah terik bersinar, mengeringkan segala basah.

Huma telah menjelma dari hutan perawan, Telah tertanam ratusan nama di setiap jengkal hatimu, kutahu. Tapi entah mengapa kau menawariku lembah untuk sekedar ku bernaung. Dan gilanya, aku mau saja .

Jadi sejak itu , sejak malam jahanam itu, akulah pengungsi yang mendiami ladangmu, lembahmu, cerukmu, humamu, guamu. Aku bebas saja berlari lari , katamu. Bebas berkejaran dengan monyet monyet yang bergelantungan di pepohonan, Bebas bercengkerama dengan harimau , bahkan bebas berenang telanjang di danaumu. Bila pelangi turun di sore hari, aku memuja ungunya. Kubuat menjadi siluet diselendang yang selalu tergerai di bahuku. Tak ada yang melarangku menari disini. Juga bernyanyi. Tapi aku selalu bersenadung lirih . Tak pernah melebihi dari gemerisik dedaunan yang diterpa sepoi bayu. Dengan gemericik sungai aku menimpali suara suara hati yang terbit setiap kali kesedihan menderaku. Ya, aku masih saja teringat setiap episode kemalanganku. Lima episode. Simaklah itu.

Episode pertama.

Dimulai dari popokku yang pesing suatu pagi. Bukan ibuku yang menggantikan popok itu. Tapi pembantu. Lalu ketika haus , aku mendamba sepasang payudara montok yang mengalirkan air susu untukku. Mendekapku dengan segala kemesraan, dan mulai menjejalkan putingya yang hitam kemulutku yang megap megap. Atau paling tidak, dengan berbaring malas, mata setengah ngantuk, menyusuiku. Tapi tidak. Aku selalu menyusu pada pentil karet yang mengalirkan susu sapi. Huh !! Aku adalah bayi termalang yang lahir dari rahim bumi, bukan ibuku. Bukan juga pembantu. Tak tahukah kau betapa irinya aku ketika melihat bayi bayi sebayaku di posyandu asyik bercanda di pangkuan ibu mereka, sambil menghirup sari makanan ibunya. Aku selalu ingin menetek. Tapi pembantu menentramkanku dengan botol botol terkutuk itu. Ibuku entah kemana, selalu berpakaian rapi dan menyapaku “ hallo manis, jangan nakal di rumah ya” dipagi hari sebelum menghilang seharian.

Karena aku selalu mengutuk botol botol susu itu. Badanku kurus, giziku kurang. Tubuhku lemah, sakit sakitan. Aku terlambat berjalan . Selalu dalam gendongan pembantu. Sambil menyapu , memasak, mengepel, mencuci, ia menggendongku. Aku rewel dan manja, katanya. Pembantu tak tega membiarkanku bermain sendirian. Jadi kemanapun gerak langkahnya, aku selalu dalam dekapannya. Semula ia kukira ibuku. Tapi lambat laun aku mengerti bahwa ibu adalah orang yang setiap hari memberiku uang jajan dan aneka mainan. Aku kecewa. Aku lebih sayang pada pembantu itu, kurasa diapun lebih menyayangiku daripada ibuku. Mengapa aku bukan lahir dari tubuhnya saja. Aku marah ketika itu. Aku merasa anak termalang yang pernah lahir diperut bumi ini.

Episode kedua

Masa remaja. Yang kurasakan adalah masa keterbelengguan. Tak ada pesta ceria, tak ada teman atau sahabat. Tak ada hura hura. Tak ada juga sakralisasi terhadap tuhan. Aku hampir tak kenal siapa itu tuhan, selain dengar dari pelajajaran di sekolah. Aku sangat beku dalam suasana kanak kanak yang terlambat bergeser , sekaligus masa dewasa yang datang dini bagiku. Mbok Sum masih saja setia mengikutiku pergi dari ruang dari ruang , takut aku jatuh sakit sewaktu waktu, sedang aku sudah merasa sangat dewasa waktu itu. Aku sudah mulai mengenal cinta pertama , dengan guru olah ragaku. Dunia terasa berwarna dalam sekejab, sebelum kembali suram saat sahabatku merebut pacarku itu. Aku ambigu. Tak ada tangis berkepanjangan. Hanya sekali aku menangis dipojok sekolahan , ketika aku menyadari aku tak lagi perawan. Bukan oleh kemaluan kekasihku, tapi oleh rogohan jemarinya sore itu yang sangat sangat kunikmati. Aku masih merasa beruntung, tak was was takut hamil . Dan tak menyesali pacarku yang berpaling. Kelakuannya luar biasa, binal dan bermata liar. Aku bahkan tak ingin menikah kelak. Dengan siapapun. Satu lelaki telah menyakiti hatiku, dan itu lebih dari cukup untuk memberi jera dan luka yang menjorok tajam di palung hatiku.

Yang utama adalah menyelidiki dimana ayahku berada. Karena ibu selalu mengatakan ayah meninggal saat aku masih dalam kandungan. Tapi aku tak percaya begitu saja. Selama ini aku tak pernah melihat bukti bahwa aku berayah. Tapi kadang aku juga sangat tak peduli dengan siapa ayahku. Yang penting aku sekarang bisa sekolah, bisa makan. Oleh jerih ibuku tentu saja. Oh ya , aku mulai belajar mengenal siapa ibuku. Bahkan aku menganggapnya sebagai sahabat. Sering malam malam kami bercerita tentang apa saja. Tentang bunga yang mekar dihalaman tetangga, tentang temanku yang menyebalkan, tentang pekerjaaan ibuku yang bertugas sebagai guide bule bule, tentang negara negara yang telah dikunjungi ibuku, tentang banyak hal lagi, asal bukan tentang ayahku. Kami asyik bercengkerama sampai pagi, terkadang. Tapi juga sering terjadi, beberapa hari tak bertemu. Ibuku sering bertugas ke berbagai kota dan bahkan luar negeri. Aku tak pernah mengeluh selama ini. Ada mbok Sum yang cekatan menyiapkan segala keperluanku dan ATM ku selalu penuh terisi untuk berbagai kebutuhanku.

Aku kadang merindukan laki laki, untuk sekedar kupameri kecantikan dan kemolekan tubuhku. Aku tumbuh menjadi gadis 15 tahun yang cantik, kata ibuku. Mataku cemerlang, pipiku merah dan senyumku menawan. Tapi aku jarang tersenyum. Aku lebih suka diam menyendiri di rumah, bermain dengan bayangan tokoh yang kusukai. Aku bercinta dengan Tom Cruise, diiringi lagu kesukaan kami, Crazy. Bahkan Julio Iglesias juga pernah nimbrung setelah bernyanyi untuk kami, dalam percintaan sepanjang malam. Setelah lelah, kami berbaring dihalaman rumah yang berumput tebal, menatap bulan, memandang cakrawala malam yang pekat tertutup awan. Kalau sudah begitu, mbok Sum suka menyuruhku kembali kekamar , memakaikan selimut dan mematikan lampu kamarku. Mbok Sum tak pernah mengerti bahwa dengan menatap rembulan dimalam hari, hatiku serasa terbang bersama bintang bintang. Berputar putar mengelilingi bumi. Bersatu dengan kegelapan malam, adalah kebahagiaan tersendiri. Karenanya aku sangat tidak suka suasana diskotik atau bar bar malam. Aku lebih suka duduk di batu besar muka rumahku sambil memikirkan sesuatu. Atau membaca buku buku puisi atau novel novel cinta. Terbenam dalam kisah dan alur yang menggairahkan, semauku, tanpa ikut campur pengarang atau mbok Sum sekalian.

Episode ketiga.

Usiaku semakin dewasa. Kuliahku akan selesai tiga semester lagi. Aku masih saja terdiam diantara bara bara yang menyala tapi tak membakarku. Aku batu. Mungkin gundukan es. Tak leleh oleh panas yang terbuat dari apapun. Aku adalah aku. Yang punya halaman hati sendiri, yang menyangkuli halaman itu dan menaburkan benih benih kesendirianku. Ibu dan mbok Sum, barangkali boleh sesekali berkunjung ke halamanku, tak tak boleh lama. Aku telah riang gembira dengan diriku sendiri, jadi tak pernah aku memikirkan teman. Apalagi lelaki, sebagai kekasih. Cuiiihhh! Aku telah cukup dengan diriku sendiri. Para kekasih adalah orang orang yang kukagumi lewat cerita di novel dan televisi. Mereka bergiliran datang menemani malam malamku, tanpa seorangpun tahu. Aku sangat puas dengan mereka. Orgasme berkali kali dalam semalam , sudah biasa bagiku. Kadang aku melukiskan diriku sebagai naga perempuan yang selalu kelaparan dan memangsa tokoh tokoh khayalanku, bukan untuk kumakan, tapi untuk melayani nafsu perempuanku. Pernah suatu kali, aku punya teman kuliah yang sangat memperhatikanku. Aku sama sekali tak tertarik padanya. Ia lelaki pujaan wanita di kampusku, padahal. Tapi ia kalah menarik dibandingkan Adjie Masaid, Nicholas Saputra, Ariel Peterpan, atau

Temanku itu masih saja mengejarku. Penasaran barangkali. Tapi dia adalah tamu di halaman hatiku. Bolehlah sesekali bertandang . Jadi sekali waktu, kubukakan baginya pintu. Kuberikah hidangan selayaknya tamu. Tapi dia terlalu rakus. Setelah memakan habis semua hidangan yang kusuguhkan, ia mulai mencari cari sesuatu yang lain di dapur, bahkan berani membuka buka kulkasku. Aku kuwalahan. Kemarahanku tak membuatnya pergi menjauh. Justru ia semakin rakus dan menguasai rumahku, hingga halamannya. Aku tak berdaya. Sesungguhnya aku tak mencintainya. Sudah kukatakan tadi, bahwa ia hanyalah seorang tamu yang kubukakan pintu. Tapi kini ia telah menumbuhkan anak di rahimku. Bukan saja itu. Ia telah memasang patok patok di hatiku. Mungkin karena anak. Atau mungkin karena setiap saat kami bersama. Upacara pernikahan kami di hotel berbintang lima kurasakan sebagai upacara penggiringan ke dalam penjara, sebenarnya. Tapi kunikmati saja , paseban paseban itu . Terali terali besi. Pasungan kaki. Aku masih saja bisa berimajinasi . Terus membayangkan seseorang , tokoh tokoh terkenal , kekasih kekasihku yang mengertiku. Yang datang hanya saat aku membutuhkan. Yang tak menjejali mulutku dengan kelaminnya ditengah mimpi indahku. Yang tak menghempaskan tubuhnya ke dalam tubuhku saat aku ingin tenang menatap rembulan. Ya, begitulah lelaki itu memanifestasikan kekuasaannya sebagai suami kepadaku. Dan aku telah terbiasa bersetubuh denganya beralaskan air mataku yang menggenang. Ia sangat suka itu.

Ah, lelaki !

Episode keempat.

Lelah aku jadinya. Aku ingin pulang. Atau pergi entah kemana. Tak ada rumah yang kedua sebenarnya. Aku mengembara saja. Melanglang dunia, mengukur jarak antara benua yang satu denga benua yang lainnya. Ini lebih melelahkan ternyata, tapi asyik kurasa. Dengan sekumpulan puisi, atau sebundel cerita, aku berkelana dari hati ke hati. Dari rumah ke rumah. Tak mengapa. Aku selalu menjadi tamu semalam, dan pergi keesokan harinya. Matahari selalu menyambutku dengan senyum riangnya , rembulan selalu menyapaku ceria. Tak ada kesedihan sepertinya. Semua tuan rumah mengenyangkan perutku dan memberiku tempat tidur terindah dari yang mereka punya. Aku bahagia dengan basa basi mereka, dan kehangatan tubuh mereka.

Aku bukanlah kupu kupu malam yang menjebak para penikmatnya. Dan aku bukanlah serigala berbulu domba yang menjilat habis darah mangsanya. Aku hanyalah seorang narapidana yang terlepas dari penjara. Yang berusaha mengetuk pintu rumah dan bertamu ala kadarnya. Andaipun pintu tak di bukakan, aku tak pernah mengeluh. Aku masih bisa berimajinasi, denga liar……

Episode kelima

Matahari tak terbit benar, pagi itu. Shufflendro masih meliuk liuk dengan panasnya di genderang telingaku. Alunan melodi dan petikan bas milik Karimata itu sekaligus meliukkan kemampuanku menemukan arti halaman bagi hidupku. Aku membaca aneka mantra. Aku merajah aneka lambang. Aku bertapa dari gunung ke gunung. Aku berendam di ratusan sungai. Berguru pada banyak ilmu. Semakin banyak pusaran yang berpusat di tubuhku sekarang. Mungkin aku sakau. Tapi nyatalah bahwa aku memerlukan semburat jingga matahari di saat subuh menjelang. Terlalu banyak kata kata yang mengombang ambingkanku. Sayatan demi sayatan telah menelanjangi daging dan tulangku. Luruh pula tulang tulang itu dari persendian, jatuh berkelontang di lantai. Begitu juga dengan daging. Terserabut oleh desingan angin segala penjuru. Terbang entah kemana. Sebagian berserakan di jalan jalan, ada pula yang terselip di sepatu sepatu pejalan kaki. Oh, aku tak bertubuh kini. Yang ada hanya jiwa. Itupun hampir mati. Ya, aku memutuskan melempar jiwaku sendiri ke dalam salah satu tempat untuk meleburkan diri dengan bayang matahari dan rembulan.

Di gerakan yang kesepersekian detik, sebuah tangan perkasa telah menangkapku dan membawaku menjauh dari jurang penuh kawah beracun yang siap kuterjuni. Entah darimana datangnya tangan itu. Ia telah membebatku dengan tulang dan dagingnya sendiri. Meniupkan kehangatan dan mengalirkan cinta bagiku. Aku tak perlu melihat siapa dia, karena ia juga tak ingin terlihat olehku. Yang ada , aku telah merasa aman dalam hijau sinar yang terbit dari matanya. Yang aku tahu, ia adalah dirimu kini, yang menawarkan sepetak lahanmu, ladangmu untuk kuhuni. Itulah mengapa aku memilih menjadi pengungsi di halamanmu, sang penyelamatku. Mengapa bukan tamu atau tawanan. Aku adalah pengungsi. Yang sewaktu waktu bisa pergi jika rumahmu terlalu banyak menerima tamu atau pengungsi lainnya. Yang bisa pulang sewaktu waktu rumah memanggilku . Yang bisa tinggal lebih lama lagi jika kebun ladangmu menghasilkan. Yang bisa tinggal dan menetap selamanya jika rumahmu telah kosong dan kau mengijinkanku menjadi penghuninya.

Sebelum semua terlewati, aku masih saja akan bebas berayun ayun dengan aneka binatang di halamanmu. Bebas memunguti ranting ranting patah , bunga bunga layu, yang sekedar mengingatkanku bahwa aku adalah pengungsi. Menari nari, mengitari altar demi altar yang mengingatkanku bahwa akulah penari. Dengan kecapi dan seruling aku mengumandangkan alunan takdir yang mengingatkanku akan jalan setapak menuju rumahmu, halamanmu.

PERAHU

PERAHU


Menatap perahu yang terombang ambing di laut , hatiku ikut gundah. Sore yang cerah sebenarnya . Matahari masih bersinar . Hangat biasnya menyentuh kulit lenganku. Lanskap laut sempurna indahnya. Pasir putih yang menghampar, pohon kelapa yang melambai tertiup angin, dan ombak yang damai menyapa pantai. Bebatuan karang yang menjorok ke lautpun tampak kuat dan perkasa menantang alam. Beberapa camar laut terbang rendah , terkadang menjuntai sayapnya menyentuh beningnya air .

“ ibu, kapan bapak pulang?” terperangah aku oleh pertanyaan bocah kecil yang duduk dipangkuanku sejak tadi.

“ setelah mendapat ikan” sahutku sambil lalu

Ku kecup rambutnya yang memerah . Aroma matahari. Kurapikan pakaiannya yang tak harum. Dia bersandar manja kini di dadaku yang kurus.

Kudendangkan lagu sekenanya , sekedar pengusir resah. Kakiku berayun ayun menyentuh pasir. Lama kelamaan ayunan kakiku menyebabkan dua gundukan pasir dan sebuah ceruk di tengahnya. Ada seekor kepiting laut kecil muncul dari dalamnya. Bergegas anakku merosot dari pangkuanku dan mengejar kepiting kecil tadi sambil tertawa tawa. Ya , dia anakku. Satu satunya. Usianya sekarang 4 tahun.

“Ibu, aku dapatkan kepitingnya…horeee…” gelaknya membahana memenuhi angkasa sore itu. Aku mengangguk angguk saja. Ada senyum di bibirku, tapi aku tak yakin itu adalah senyuman. Kupikir itu adalah seringai. Sudah seminggu ini aku tak punya hasrat untuk tersenyum. Apalagi tertawa. Tapi demi gelak anakku , dan pancaran matanya yang penuh harap, kupaksakan juga kedua pipiku terangkat keatas dan bibirku mengembang.

Kedatanganku lima tahun yang lalu ke kota kecil pinggir laut ini begitu membawa banyak masalah dalam hidupku. Tanah kelahiran laki laki yang lalu kusebut suami setelah membuahi rahimku secara setengah paksa di balik rerimbunan pandan dan semak belukar di tepi danau. Laki laki yang lalu mengunci hidupku dari dunia luar. Memenjarakanku dalam kurun waktu yang terbilang oleh terbitnya matahari dan rembulan.

“ kaulah mawar terwangi dan termerah yang kupetik dari lembah tak bertuan” katanya suatu pagi. Angin laut meleraikan anak rambutku dan tangannya yang kekar membopongku ke salah satu batang kelapa yang tumbang di halaman rumah kami.

Aku diam saja saat itu. Menikmati belaiannya. Menikmati kata katanya yang setinggi langit. Sambil berusaha menumbuhkan cinta baginya. Tentu saja. Karena dia lelaki dan aku perempuan . Karena dia suami dan aku istri.

Ah, lelaki yang kemudian dipanggil oleh anakku sebagai “bapak”. Ternyata dia lelaki yang gagah perkasa. Paling tidak soal libidonya. Tidak hanya kepadaku dia bercinta. Mula mula aku gusar dan menolak tatkala dia membawa seorang perempuan lain ke tempat tidur kami yang sederhana . Tapi dia begitu gagah perkasa. Tak mampu aku melawan kemauannya yang luar biasa. Hingga akhirnya aku harus berterimakasih kepada perempuan perempuan yang silih berganti di bawanya ke gubuk kami ini. Dia sungguh gagah perkasa. Tidak hanya pada dadanya dia mengukir tattoo. Tapi keseluruh tubuh . Dia katakana padaku, bahwa cintanya sangat besar padaku. Untuk itu setiap kali selesai ia bercinta dengan satu perempuan lain, dia mengukir tattoo lagi di tubuhnya, untuk melukiskan rasa bersalahnya padaku, menyakiti hatiku. Aku katakana padanya bahwa itu tindakan bodoh yang tidak perlu. Karena diam diam aku tak lagi mencintainya. Tapi dia selalu melakukanya, hingga hampir penuh kulit badannya oleh tattoo huruf huruf namakau, ataupun gambar gambar indah yang dibayangkan adalah diriku. Sementara aku sering terduduk di ujung halaman rumah, sama seperti saat ini. Mengingat ingat bagaimana pertama kali aku jatuh hati pada lelaki tampan ini. Lalu mengingat ingat mengapa aku merasa mual melihat wajahnya.

Aku membayangkan sebuah perahu yang oleng di tengah laut . Tidak , aku tengah melihatnya. Aku melihatnya, ya , melihatnya. Aku tidak sedang melamun.

Ku perhatikan buih yang mengombak dari kejauhan. Ada dingin yang menyergap hatiku tiba tiba. Dingin yang amat sangat. Menusuk. Ak merasa sepi dan sindiri di haalman rumahku ini. Angin yang bertiup begitu kurasa kencang dan membekukan darahku. Hampir aku menangis menahan rasa asing yang begitu menderaku.

“ Ibu…..kakiku berdarah, di capit induk kepiting…..ibuuuuu…huuuuuuu” anakku meringis kesakitan . Terpincang pincang ia berjalan mendatangiku.

Darah yang mengalir dari kakinya lumayan banyak. Kugendong ia kebilik sumur disamping rumah.Kubersihkan lukanya dan kuberi obat merah. Darahnya masih mengalir, merah . Aku merasa dejafu. Hatiku sakit. Pikiranku mengembara entah kemana. Luka anakku masih menaglirkan darah, ketika aku justru masuk kedalam rumah dan bercermin. Memandang mataku sendiri. Masih mataku yang dulu, yang kata suamiku seperti danau tujuh warna yang memancarkan pelangi dari langit yang basah.

“ ibuuu……” rengek anankku dari serambi depan rumah.

Bergegas aku menghampirinya dan kembali menghiburnya . kini ia tenang dan hampir terlelap dalam pelukanku. Kubaringkan ia ke dalam kamar. Diatas dipan sederhana satu satunya milik kami. Dipan berbusa tipis yang telah menjadi sumber dari semua kekalutan pikiranku. Di dipan ini aku dan suamiku bercinta. Di dipan ini aku hampir meregang nyawa melahirkan anakku. Di dipan ini suamiku bercinta dengan perempuan perempuan lain didepan mataku. Di dipan ini ia kugorok lehernya hingga tergolek mati bersibah darah, seminggu yang lalu.

Aku hampir terlelap memeluk anakku. Mataku setengah terpejam. Aku sudah setengah tertidur ketika anakku tiba tiba menangis meraung raung memanggil bapaknya. Kutenangkan dengan elusan dan bujukan, tapi tangisannya bertambah nyaring. Sekarang tubuhnya memberontak dari pelukanku. Aku bingung. Kugendong ia keluar rumah. Kami lalu duduk di batang kelapa dimuka rumah. Matanya yang mengantuk tampak sembab. Tapi tangisnya telah mereda. Hanya isaknya yang tertahan membuat dadanya naik turun. Aku kehilangan kata kata. Mungkin anakku rindu dengan bapaknya. Sudah seminggu ini dia kehilangan belai dan canda riang bapaknya. Aku merasa bersalah telah ‘menyimpan “ bapaknya di perahu yang terus bergelombang ditengah laut. Perahu satu satunya milik kami, yang kami beri nama “biduk cinta”, bercat biru muda , yang sehari hari dipakainya mencari ikan dilaut.

“ sayang, diamlah, bapak ada ditengah laut” bujukku sambil kupeluk erat anakku.

Air mataku jatuh perlahan , seperti gerimis sore ini merintik membasahi pasir halaman rumah kami.

Air mata pertama setelah seminggu yang lalu. Sebelumnya , air mata yang berbeda selalu turun mengalir deras, setiap kali kulihat suamiku bercinta dengan perempuan muda lainnya. Aku membayangkan darah yang menyembur dari lehernya, Ah betapa indah pemandangan itu. Sungguh indah dan lama kuidam idamkan. Melebihi indah bermacam macam tattoo di tubuhnya. Kupotong kelaminnya setelah kuperhatikan dia tak lagi bernyawa. Lalu tangannya. Tangan kekar yang selalu membopongku ketempat tidur sambil bersyair indah tentang kecantikanku. Tangan yang juga meremukkan cintaku dengan tamparan tamparannya dipipiku saat aku tak setuju ia membawa perempuan lain kerumah. Aku tak bisa memotong semua tubuhnya. Terlalu liat dan tenagaku juga berkurang. Lagipula aku takut anakku yang tidur di kamar sebelah akan terbangun dan melihat semau kejadian ini.Padahal aku ingin mencincangnya hingga lumat seperti bubur. Seperti angan dan citaku yang telah diadauk aduknya dalam kuali besar bernama biduk rumah tangga. Akhirnya kusudahi mutilasi itu. Dengan memasukkannya kedalam karung besar. Kuseret malam itu juga, kedalam perahu kami. Ku dorong hinggga bibir pantai. Kudayung hingga mulut laut. Kuucapkan selamat jalan , lalu aku berenang pulang kerumah. Tak ada yang tahu. Aku tak punya tetangga ataupun sanak kerabat sejak lima tahun yang lalu.

Aku dan anakku memandangi laut, seperti biasa. Sambil duduk kini anakku lebih tenang. Tangisnya telah diam. Luka bekas capitan kepiting tak lagi membuatnya menangis. Juga rindu kepada bapaknya. Entahlah, mungkin esok hari ia akan kembali rindu dan mencari bapaknya. Akan kukatakan bahwa bapaknya akan kembali suatu waktu , sambil mengajaknya memandang lautan. Bagaimanapun ia butuh belai dan canda lelaki yang selalu memanggulnya diatas bahu , berputar putar halaman sambil tertawa cekikikan. Aku takkan mampu melakukan itu . Karena perutku semakin besar. Mungkin empat bulan lagi akan lahir adik bagi anakku.

Tapi paling tidak kecipak ombak dan sekaligus bara didadaku kini telah padam. Ada kelegaan yang luar biasa ketika melihat pantai yang senyap tak melabuhkan sebongkah kayu bernama perahu yang membawa jasad mimpi dan cintaku.

Langit tampak kuning. Senja memburat dilangit. Gerimis telah usai merinai. Aroma basah masih tercium . Wangi. Aku duduk diluar rumah , memangku anakku sambil bersenandung. Ku ayun ayunkan kedua kakiku kepasir basah.Tak ada kepiting muncul dari dalam pasir. Karena malam telah merambat datang . Malam malam yang selalu kunanti. Karena terbebas dari jeruji, terbebas dari belitan duri, terbebas dari dera dan siksa batin. Kunikmati sepenuhnya rembulan sayu yang muncul dari balik awan . Aku menari bersama dengan anakku dikeremangan malam, beriramakan deru gelombang berpadu dengan nyanyian burung hutan yang bertengger dipucuk pohon pohon kelapa. Berbumbu kristal ingatan ingatan malam itu. Darah yang menyembur, kemaluan lelaki yang lembik menggelambir. Tangan dan jari jari yang kaku berwarna pucat tergenang darah. Ah, aku tertawa perlahan . Ku coba melakukan apa yang biasa dilakukan suamiku kepada anakku. Memanggulnya di bahuku, sambil berputar putar, menari dan tertawa cekikikan. Ternyata aku bisa. Aku lebih perkasa dari suamiku yang sekarang telah berubah menjadi bangkai ditengah laut sana. Kami terus menari dan menari. Hingga tak ingat lagi kapan harus berhenti.

Tarian kesunyian yang amat panjang dan melelahkan. Dengan sedikit senandung dan ritme ritme aneh yang hanya kami berdua bisa melakukannya.

Shantined,Balikpapan, Oct 17, 2005

my wild illusion on Sabakatang village.