Thursday, October 27, 2005

PENGUNGSI

Lima episode dalam hidupku mengajarku menatap rembulan lebih lama dari menatap matahari. Kegelapan adalah abadi, dan terang adalah kesementaraan. Tak ada pijar melebihi sinar mataku , dan tak ada gelap melebihi buramnya sukmaku. Kuakui aku telah terluka oleh bermacam macam bencana. Untuk itu aku aku mengungsi di seladang hatimu. Bukan menjadi tawanan , tetapi pengungsi yang tinggal menetap. Tak tahu hingga kapan, aku tak sudi memikirkannya.

Bila hari gerimis dan langit mendung, aku selalu keluar sebentar. Untuk menghirup aroma hujan. Berputar putar , menikmati kembang dan pepohonan yang kuyub oleh air dari langit. Berkeliling kebun, memungut dedaunan yang luruh dan buah buahan yang busuk terjatuh di tanah.

Dan kembali pulang jika matahari telah terik bersinar, mengeringkan segala basah.

Huma telah menjelma dari hutan perawan, Telah tertanam ratusan nama di setiap jengkal hatimu, kutahu. Tapi entah mengapa kau menawariku lembah untuk sekedar ku bernaung. Dan gilanya, aku mau saja .

Jadi sejak itu , sejak malam jahanam itu, akulah pengungsi yang mendiami ladangmu, lembahmu, cerukmu, humamu, guamu. Aku bebas saja berlari lari , katamu. Bebas berkejaran dengan monyet monyet yang bergelantungan di pepohonan, Bebas bercengkerama dengan harimau , bahkan bebas berenang telanjang di danaumu. Bila pelangi turun di sore hari, aku memuja ungunya. Kubuat menjadi siluet diselendang yang selalu tergerai di bahuku. Tak ada yang melarangku menari disini. Juga bernyanyi. Tapi aku selalu bersenadung lirih . Tak pernah melebihi dari gemerisik dedaunan yang diterpa sepoi bayu. Dengan gemericik sungai aku menimpali suara suara hati yang terbit setiap kali kesedihan menderaku. Ya, aku masih saja teringat setiap episode kemalanganku. Lima episode. Simaklah itu.

Episode pertama.

Dimulai dari popokku yang pesing suatu pagi. Bukan ibuku yang menggantikan popok itu. Tapi pembantu. Lalu ketika haus , aku mendamba sepasang payudara montok yang mengalirkan air susu untukku. Mendekapku dengan segala kemesraan, dan mulai menjejalkan putingya yang hitam kemulutku yang megap megap. Atau paling tidak, dengan berbaring malas, mata setengah ngantuk, menyusuiku. Tapi tidak. Aku selalu menyusu pada pentil karet yang mengalirkan susu sapi. Huh !! Aku adalah bayi termalang yang lahir dari rahim bumi, bukan ibuku. Bukan juga pembantu. Tak tahukah kau betapa irinya aku ketika melihat bayi bayi sebayaku di posyandu asyik bercanda di pangkuan ibu mereka, sambil menghirup sari makanan ibunya. Aku selalu ingin menetek. Tapi pembantu menentramkanku dengan botol botol terkutuk itu. Ibuku entah kemana, selalu berpakaian rapi dan menyapaku “ hallo manis, jangan nakal di rumah ya” dipagi hari sebelum menghilang seharian.

Karena aku selalu mengutuk botol botol susu itu. Badanku kurus, giziku kurang. Tubuhku lemah, sakit sakitan. Aku terlambat berjalan . Selalu dalam gendongan pembantu. Sambil menyapu , memasak, mengepel, mencuci, ia menggendongku. Aku rewel dan manja, katanya. Pembantu tak tega membiarkanku bermain sendirian. Jadi kemanapun gerak langkahnya, aku selalu dalam dekapannya. Semula ia kukira ibuku. Tapi lambat laun aku mengerti bahwa ibu adalah orang yang setiap hari memberiku uang jajan dan aneka mainan. Aku kecewa. Aku lebih sayang pada pembantu itu, kurasa diapun lebih menyayangiku daripada ibuku. Mengapa aku bukan lahir dari tubuhnya saja. Aku marah ketika itu. Aku merasa anak termalang yang pernah lahir diperut bumi ini.

Episode kedua

Masa remaja. Yang kurasakan adalah masa keterbelengguan. Tak ada pesta ceria, tak ada teman atau sahabat. Tak ada hura hura. Tak ada juga sakralisasi terhadap tuhan. Aku hampir tak kenal siapa itu tuhan, selain dengar dari pelajajaran di sekolah. Aku sangat beku dalam suasana kanak kanak yang terlambat bergeser , sekaligus masa dewasa yang datang dini bagiku. Mbok Sum masih saja setia mengikutiku pergi dari ruang dari ruang , takut aku jatuh sakit sewaktu waktu, sedang aku sudah merasa sangat dewasa waktu itu. Aku sudah mulai mengenal cinta pertama , dengan guru olah ragaku. Dunia terasa berwarna dalam sekejab, sebelum kembali suram saat sahabatku merebut pacarku itu. Aku ambigu. Tak ada tangis berkepanjangan. Hanya sekali aku menangis dipojok sekolahan , ketika aku menyadari aku tak lagi perawan. Bukan oleh kemaluan kekasihku, tapi oleh rogohan jemarinya sore itu yang sangat sangat kunikmati. Aku masih merasa beruntung, tak was was takut hamil . Dan tak menyesali pacarku yang berpaling. Kelakuannya luar biasa, binal dan bermata liar. Aku bahkan tak ingin menikah kelak. Dengan siapapun. Satu lelaki telah menyakiti hatiku, dan itu lebih dari cukup untuk memberi jera dan luka yang menjorok tajam di palung hatiku.

Yang utama adalah menyelidiki dimana ayahku berada. Karena ibu selalu mengatakan ayah meninggal saat aku masih dalam kandungan. Tapi aku tak percaya begitu saja. Selama ini aku tak pernah melihat bukti bahwa aku berayah. Tapi kadang aku juga sangat tak peduli dengan siapa ayahku. Yang penting aku sekarang bisa sekolah, bisa makan. Oleh jerih ibuku tentu saja. Oh ya , aku mulai belajar mengenal siapa ibuku. Bahkan aku menganggapnya sebagai sahabat. Sering malam malam kami bercerita tentang apa saja. Tentang bunga yang mekar dihalaman tetangga, tentang temanku yang menyebalkan, tentang pekerjaaan ibuku yang bertugas sebagai guide bule bule, tentang negara negara yang telah dikunjungi ibuku, tentang banyak hal lagi, asal bukan tentang ayahku. Kami asyik bercengkerama sampai pagi, terkadang. Tapi juga sering terjadi, beberapa hari tak bertemu. Ibuku sering bertugas ke berbagai kota dan bahkan luar negeri. Aku tak pernah mengeluh selama ini. Ada mbok Sum yang cekatan menyiapkan segala keperluanku dan ATM ku selalu penuh terisi untuk berbagai kebutuhanku.

Aku kadang merindukan laki laki, untuk sekedar kupameri kecantikan dan kemolekan tubuhku. Aku tumbuh menjadi gadis 15 tahun yang cantik, kata ibuku. Mataku cemerlang, pipiku merah dan senyumku menawan. Tapi aku jarang tersenyum. Aku lebih suka diam menyendiri di rumah, bermain dengan bayangan tokoh yang kusukai. Aku bercinta dengan Tom Cruise, diiringi lagu kesukaan kami, Crazy. Bahkan Julio Iglesias juga pernah nimbrung setelah bernyanyi untuk kami, dalam percintaan sepanjang malam. Setelah lelah, kami berbaring dihalaman rumah yang berumput tebal, menatap bulan, memandang cakrawala malam yang pekat tertutup awan. Kalau sudah begitu, mbok Sum suka menyuruhku kembali kekamar , memakaikan selimut dan mematikan lampu kamarku. Mbok Sum tak pernah mengerti bahwa dengan menatap rembulan dimalam hari, hatiku serasa terbang bersama bintang bintang. Berputar putar mengelilingi bumi. Bersatu dengan kegelapan malam, adalah kebahagiaan tersendiri. Karenanya aku sangat tidak suka suasana diskotik atau bar bar malam. Aku lebih suka duduk di batu besar muka rumahku sambil memikirkan sesuatu. Atau membaca buku buku puisi atau novel novel cinta. Terbenam dalam kisah dan alur yang menggairahkan, semauku, tanpa ikut campur pengarang atau mbok Sum sekalian.

Episode ketiga.

Usiaku semakin dewasa. Kuliahku akan selesai tiga semester lagi. Aku masih saja terdiam diantara bara bara yang menyala tapi tak membakarku. Aku batu. Mungkin gundukan es. Tak leleh oleh panas yang terbuat dari apapun. Aku adalah aku. Yang punya halaman hati sendiri, yang menyangkuli halaman itu dan menaburkan benih benih kesendirianku. Ibu dan mbok Sum, barangkali boleh sesekali berkunjung ke halamanku, tak tak boleh lama. Aku telah riang gembira dengan diriku sendiri, jadi tak pernah aku memikirkan teman. Apalagi lelaki, sebagai kekasih. Cuiiihhh! Aku telah cukup dengan diriku sendiri. Para kekasih adalah orang orang yang kukagumi lewat cerita di novel dan televisi. Mereka bergiliran datang menemani malam malamku, tanpa seorangpun tahu. Aku sangat puas dengan mereka. Orgasme berkali kali dalam semalam , sudah biasa bagiku. Kadang aku melukiskan diriku sebagai naga perempuan yang selalu kelaparan dan memangsa tokoh tokoh khayalanku, bukan untuk kumakan, tapi untuk melayani nafsu perempuanku. Pernah suatu kali, aku punya teman kuliah yang sangat memperhatikanku. Aku sama sekali tak tertarik padanya. Ia lelaki pujaan wanita di kampusku, padahal. Tapi ia kalah menarik dibandingkan Adjie Masaid, Nicholas Saputra, Ariel Peterpan, atau

Temanku itu masih saja mengejarku. Penasaran barangkali. Tapi dia adalah tamu di halaman hatiku. Bolehlah sesekali bertandang . Jadi sekali waktu, kubukakan baginya pintu. Kuberikah hidangan selayaknya tamu. Tapi dia terlalu rakus. Setelah memakan habis semua hidangan yang kusuguhkan, ia mulai mencari cari sesuatu yang lain di dapur, bahkan berani membuka buka kulkasku. Aku kuwalahan. Kemarahanku tak membuatnya pergi menjauh. Justru ia semakin rakus dan menguasai rumahku, hingga halamannya. Aku tak berdaya. Sesungguhnya aku tak mencintainya. Sudah kukatakan tadi, bahwa ia hanyalah seorang tamu yang kubukakan pintu. Tapi kini ia telah menumbuhkan anak di rahimku. Bukan saja itu. Ia telah memasang patok patok di hatiku. Mungkin karena anak. Atau mungkin karena setiap saat kami bersama. Upacara pernikahan kami di hotel berbintang lima kurasakan sebagai upacara penggiringan ke dalam penjara, sebenarnya. Tapi kunikmati saja , paseban paseban itu . Terali terali besi. Pasungan kaki. Aku masih saja bisa berimajinasi . Terus membayangkan seseorang , tokoh tokoh terkenal , kekasih kekasihku yang mengertiku. Yang datang hanya saat aku membutuhkan. Yang tak menjejali mulutku dengan kelaminnya ditengah mimpi indahku. Yang tak menghempaskan tubuhnya ke dalam tubuhku saat aku ingin tenang menatap rembulan. Ya, begitulah lelaki itu memanifestasikan kekuasaannya sebagai suami kepadaku. Dan aku telah terbiasa bersetubuh denganya beralaskan air mataku yang menggenang. Ia sangat suka itu.

Ah, lelaki !

Episode keempat.

Lelah aku jadinya. Aku ingin pulang. Atau pergi entah kemana. Tak ada rumah yang kedua sebenarnya. Aku mengembara saja. Melanglang dunia, mengukur jarak antara benua yang satu denga benua yang lainnya. Ini lebih melelahkan ternyata, tapi asyik kurasa. Dengan sekumpulan puisi, atau sebundel cerita, aku berkelana dari hati ke hati. Dari rumah ke rumah. Tak mengapa. Aku selalu menjadi tamu semalam, dan pergi keesokan harinya. Matahari selalu menyambutku dengan senyum riangnya , rembulan selalu menyapaku ceria. Tak ada kesedihan sepertinya. Semua tuan rumah mengenyangkan perutku dan memberiku tempat tidur terindah dari yang mereka punya. Aku bahagia dengan basa basi mereka, dan kehangatan tubuh mereka.

Aku bukanlah kupu kupu malam yang menjebak para penikmatnya. Dan aku bukanlah serigala berbulu domba yang menjilat habis darah mangsanya. Aku hanyalah seorang narapidana yang terlepas dari penjara. Yang berusaha mengetuk pintu rumah dan bertamu ala kadarnya. Andaipun pintu tak di bukakan, aku tak pernah mengeluh. Aku masih bisa berimajinasi, denga liar……

Episode kelima

Matahari tak terbit benar, pagi itu. Shufflendro masih meliuk liuk dengan panasnya di genderang telingaku. Alunan melodi dan petikan bas milik Karimata itu sekaligus meliukkan kemampuanku menemukan arti halaman bagi hidupku. Aku membaca aneka mantra. Aku merajah aneka lambang. Aku bertapa dari gunung ke gunung. Aku berendam di ratusan sungai. Berguru pada banyak ilmu. Semakin banyak pusaran yang berpusat di tubuhku sekarang. Mungkin aku sakau. Tapi nyatalah bahwa aku memerlukan semburat jingga matahari di saat subuh menjelang. Terlalu banyak kata kata yang mengombang ambingkanku. Sayatan demi sayatan telah menelanjangi daging dan tulangku. Luruh pula tulang tulang itu dari persendian, jatuh berkelontang di lantai. Begitu juga dengan daging. Terserabut oleh desingan angin segala penjuru. Terbang entah kemana. Sebagian berserakan di jalan jalan, ada pula yang terselip di sepatu sepatu pejalan kaki. Oh, aku tak bertubuh kini. Yang ada hanya jiwa. Itupun hampir mati. Ya, aku memutuskan melempar jiwaku sendiri ke dalam salah satu tempat untuk meleburkan diri dengan bayang matahari dan rembulan.

Di gerakan yang kesepersekian detik, sebuah tangan perkasa telah menangkapku dan membawaku menjauh dari jurang penuh kawah beracun yang siap kuterjuni. Entah darimana datangnya tangan itu. Ia telah membebatku dengan tulang dan dagingnya sendiri. Meniupkan kehangatan dan mengalirkan cinta bagiku. Aku tak perlu melihat siapa dia, karena ia juga tak ingin terlihat olehku. Yang ada , aku telah merasa aman dalam hijau sinar yang terbit dari matanya. Yang aku tahu, ia adalah dirimu kini, yang menawarkan sepetak lahanmu, ladangmu untuk kuhuni. Itulah mengapa aku memilih menjadi pengungsi di halamanmu, sang penyelamatku. Mengapa bukan tamu atau tawanan. Aku adalah pengungsi. Yang sewaktu waktu bisa pergi jika rumahmu terlalu banyak menerima tamu atau pengungsi lainnya. Yang bisa pulang sewaktu waktu rumah memanggilku . Yang bisa tinggal lebih lama lagi jika kebun ladangmu menghasilkan. Yang bisa tinggal dan menetap selamanya jika rumahmu telah kosong dan kau mengijinkanku menjadi penghuninya.

Sebelum semua terlewati, aku masih saja akan bebas berayun ayun dengan aneka binatang di halamanmu. Bebas memunguti ranting ranting patah , bunga bunga layu, yang sekedar mengingatkanku bahwa aku adalah pengungsi. Menari nari, mengitari altar demi altar yang mengingatkanku bahwa akulah penari. Dengan kecapi dan seruling aku mengumandangkan alunan takdir yang mengingatkanku akan jalan setapak menuju rumahmu, halamanmu.