Sunday, April 10, 2005

Lengking Tangis Lelaki
Oleh :Shanti syarif


Hutan yang kulewati ini seperti labirin panjang, menghubungkan kepompong satu dengan kepompong yang lainnya. Sambung menyambung. Seperti rangkaian kelebat hijau pegunungan , namun terletak di dataran sedang.
Tetap saja bernama hutan, meski telah banyak berubah dari hutan yang sebenarnya. Seperti kepala seseorang , hutan ini tampak botak di sana sini. Atau nampak lempak , karena ketingggian yang tak rata, bila di lihat dari atas.
Hutan kecil yang bernama Bukit Suharto ini selalu kulewati dalam perjalananku ke Samarinda, bertolak dari Balikpapan.
Nama yang cukup aneh menurutku. Bagi masyarakat awam sepertiku , rasanya aku tak perlu menanyakan kenapa harus dinamakan bukit Suharto.
Yang ada di pikiranku ya tentu karena ia pernah menjadi orang nomer satu sekaligus penguasa negeri ini. Mungkin suatu saat ada juga hutan bernama bukit Megawati atau Bukit SBY. Hanya hati kecilku menanyakan kenapa bukan dinamai saja dengan bukit Tjuk Nyak Dien ? Entahlah. Mungkin nama nama pahlawan kita yang telah gugur lebih pantas diteguhkan sebagai nama nama jalan raya atau nama gedung gedung. Tak tahulah. Yang jelas saat ini aku sedang terangguk angguk di dalam bis yang akan mengantarkanku ke kota Samarinda.
Ya, Samarinda, tempat aku bermula mula mengenal cinta.
Sepanjang jalan dari Balikpapan tadi aku memang sudah terasa tak sehat.
Ulu hatiku agak terasa sakit. Mungkin angin yang menohok sejak kemarin belum juga sempat keluar , ditambah lagi aku tadi terlambat makan.Mual aku jadinya.
Dan saat ini aku agak pusing dan hampir mabuk darat oleh kelak kelok jalanan , terutama di sepanjang Bukit Suharto ini.
Untung saja jalanan telah diaspal bagus dan mulus. Jadi tak perlu lagi kendaraan berjalan pelan terangguk angguk seperti beberapa tahun yang lalu. Kalaupun aku kini terangguk angguk di dalam bis yang melaju kencang, itu sebab sopir bis in yang agak kurang ajar mengendarai . Kadang terlalu menikung curam, dengan laju yang tak dikurangi. Atau kadang memainkan rem seperti anak yang sedang belajar menyetir kendaraan. Huh….tambah di buat pusing aku karenanya. Sehaarusnya dia tahu bahwa di jalan yang penuh dengan kelokan dan belokan tajam ini, bis tak usah saling balap dengan perusahaan bis lainnya. Toh jarang ada penumpang yang menyetop naik di tengah jalan dan bukankah bis telah hampir penuh?
“ mau kemana Mbak?” sapa lelaki yang sedari tadi duduk di sampingku
“ Samarinda” sahutku pendek
“dari Balikpapan juga?” tambahnya
“iya” sambil kulirik aku menjawab seadanya. Tampaknya orang ini karyawan pelabuhan, terlihat sekilas dari seragamnya.
“ nampaknya hari akan hujan ya , padahal dari Balikpapan tadi terang benderang?“ lanjutnya
“ mungkin, tapi bukankah memang tipe cuaca di sini sering berubah ubah”
Aku jadi teringat saat pertama kali aku datang menginjakkan kakiku ke Bumi etam ini , tiba tiba hujan deras menyambutku di Bandara Sepinggan , Balikpapan. Padahal di tanah kelahiranku , Yogyakarta , telah berbulan bulan kemarau mendera. Saat itu kukira hujan salah mangsa atau hujan buatan yang sengaja di tujukan untuk para petani , seperti di Jawa sana. Tetapi ternyata bukan . Ini hujan asli karena untuk apa di buat hujan buatan jika disini tak banyak sawah dan petani?. Ya , begitulah keadaan cuaca disini , kadang terang benderang , lalu sekejab muncul awan gelap yang membawa hujan deras , kadang pula disertai petir yang menggelegar , dan di menit berikutnya tiba tiba kembali terang dan cerah berawan.
Tapi pernah juga ketika kemarau panjang datang, benar benar hujan tak pernah turun selama berbulan bulan. Tapi setahuku , di sini musim penghujan tak seperti di Jawa , yang selama berhari hari hujan terus menerus. Melainkan selang seling dengan matahari yang bersinar , meski malu malu.
“ Saya juga mau ke Samarinda , Mbak” suara lelaki di sampingku membuyarkan lamunanku.
“ Oh “ aku mengangguk. Sebenarnya aku tak ingin banyak berbicara didalam perjalanan ini. Kepalaku yang berdenyut dan perutku yang agak mual membuatku malas mengobrol . Tetapi lelaki yang kemudian mengaku bernama Hasyim ini sepertinya sedang menggebu ingin bercerita padaku. Lelaki yang kira kira berumur 30 tahun , bersuku Bugis , kentara dari logat bicaranya. Sepertinya juga dia sedang menyimpan kesal entah pada siapa, terlihat dari sikap duduknya yang agak gelisah sedari tadi.Kadang dia tampak bergumam sendiri, kadang sibuk memencet mencet tombol handphone , meski aku tahu di daerah sini tak ada sinyal dari provider manapun.
“ mbak orang asli mana?” tanyanya lagi.
“ jawa” jawabku singkat
“ sudah bersuami?”
Ah, mengapa pula dia bertanya tentang statusku. Aku mulai jengah . Pertanyaannya sungguh tak membuatku nyaman. Aku memang pernah bersuami, tapi itu hanya bertahan tiga tahun. Membuahkan satu orang anak . Mantan suamiku kini telah kawin lagi dengan perempuan satu sukunya, Mandar .Suku yang cukup terkenal di Sulawesi Selatan.
“ Iya, sudah . Anak saya satu “ akhirnya aku menjawab juga, demi melihat lelaki itu menunggu jawabanku.
“ wah, enak suami Mbak , kawin dengan orang Jawa”
Aku kaget . Apa enaknya kawin dengan orang Jawa? Buktinya suamiku meninggalkanku dan kawin dengan orang satu sukunya. Cinta tak kenal suku, menurutku. Atau jangan jangan Hasyim ini sekedar ingin menggodaku, melontarkan awal rayuan gombalnya ? Meskipun aku tahu dari sekilas kata kata dan attitude yang kutangkap sedari tadi, dia bukanlah tipe lelaki buaya murahan yang suka menggoda wanita , iseng iseng mengharapkan teman kencan setiba di tempat tujuan,seperti para pekerja kasar di pelabuhan yang terkenal playboy. Tidak, dia tak tampak seperti itu. Dia kelihatan sopan . Dari caranya berbicara juga menampakkan dia orang berpendidikan, setidaknya lulusan SLTA, terkaku. Lalu mengapa dia menanyakan statusku segala? Untuk keperluan apa? Dan setelah kujawab bahwa aku adalah orang Jawa, dia “menuduh” suamiku enak kawin denganku. Tapi lagi lagi aku menampik pertanyaanku sendiri. Bukankah disini wajar saja orang menanyakan status keluarga , suku apa ,dan bahkan menyimpulkan pendapatnya sebelum memperoleh cerita yang sebenarnya. Mungkin setelah ini dia akan menanyakan pekerjaanku, berapa gajiku dan harta benda apa saja yang ku punya. Lalu ia akan kembali merayuku supaya mau menjadi istrinya, andaikata ia telah pula tahu statusku yang sebenarnya. Aku jadi tertawa geli dalam hati.
“ tidak perlu pakai jujuran” terusnya tiba tiba
“ oh ….iya “ gugup aku mengiyakan sekenanya.
Astaga, ternyata itu yang di pikirkannya. Jujuran. Jadi sedari tadi ia memikirkan betapa enaknya menikah dengan orang Jawa, yang tak mengenal tradisi jujuran. Bagi suku Bugis , Mandar, Bone , Makassar, dan Banjar yang banyak terdapat di Kalimantan Timur ini, rata rata masih menerapkan tradisi jujuran, yakni penyerahan uang sejumlah tertentu yang diminta oleh pihak keluarga calon pengantin perempuan kepada calon pengantin laki laki, sebagai simbol bahwa si perempuan telah di “beli”. Versi yang lain mengatakan bahwa itu adalah gambaran bahwa pihak lelaki benar benar berniat mengawini si gadis. Tapi yang terjadi adalah, semakin besar jujuran yang di berikan , menunjukkan status kekayaan dan gengsi si pengantin perempuan.
Aku jadi malu dengan praduga pradugaku sedari tadi. Rupanya Hasyim ini sedang galau memikirkan jujuran buat kekasih yang akan dikawininya dalam waktu dekat ini.
Dengan panjang lebar dia bercerita tentang pacarnya itu, bernama Masnia . Perempuan yang juga satu suku dengannya. Telah menjalin kasih selama lebih dua tahun. Dan saat ini tengah hamil dua bulan, tentu saja Hasyim mengakui bahwa itu adalah anaknya.
Keinginannya menikah sudah diutarakan kepada orang tuanya. Hanya saat orangtuanya pergi melamar “si gadis”, keluarga perempuan memasang tarip jujuran yang teramat tinggi buat Hasyim yang hanya karyawan kecil.
“ Uang sebanyak dua puluh juta bagi saya itu sangat banyak Mbak, perlu dua atau tiga tahun untuk mengumpulkannya. Gaji saya paling tinggi sejuta sebulan , itupun kalau banyak lemburnya”
Aku terhenyak. Malu rasanya , meskipun dalam hati aku tadi mengira dia akan menanyakan dimana aku bekerja, berapa gajiku, ternyata justru dia yang tanpa kutanya telah menerangkan berapa jumlah gajinya. Sebenarnya bagiku membicarakan jumlah gaji adalah merupakan hal yang masih setengah tabu.Sama halnya mengutarakan bahwa aku kini janda.
“ Dua puluh juta ? Hanya untuk jujuran saja?”
“ya, hanya untuk jujuran saja. Itu untuk biaya pesta, biaya makan keluarga besarnya yang akan didatangkan dari kampung halaman kami, Sulawesi Selatan. Belum termasuk biaya akad nikah dan catatan sipil” matanya menerawang. Aku merasakan kegundahannya.
Hujan benar benar datang. Tiba tiba saja menderas, mengembunkan kaca kaca bis kami. Pak sopir menurunkan kecepatan , karena terlalu berbahaya kalau tetap berjalan ngebut dikala hujan deras begini .Jalanan licin dan kelokan kelokan masih banyak di depan. Perjalanan masih sekitar satu jam lagi. Bisa lebih jika hari hujan begini.
Hijau pepohonan tampak basah. Langit memang gelap. Rupanya hujan akan turun agak lama. Sayup sayup lagu lama milik Nia Daniati masih sendu mengalun di bis non AC ini. Bercampur dengan asap rokok dan bau masam keringat para penumpang yang beraneka rupa. Kepalaku makin berdenyut , perutku mual. Kuambil permen di tasku. Kutawarkan juga ke Hasyim yang asyik melamun.
“ apakah tak ada jalan keluar yang lain? “ tanyaku kemudian
“ maksudnya?” sambil memandangku tajam ,Hasyim seolah menemukan teman berpikir mencari jalan keluar.
Aku gugup tak menemukan jawaban. Kuakui aku baru saja melontarkan pertanyaan bodoh, hanya basa basi. Karena sebenarnya aku juga tak menemukan adanya pilihan lain. Aku sedikit banyak telah mengerti tentang adat perkawinan suku Bugis. Tentang rangkaian upacara yang panjang dan cukup rumit. Tentang biaya yang tak sedikit. Tentang jujuran yang telah di tetapkan. Ya ini karena aku telah mengalaminya sendiri. Aku pernah menikah dengan lelaki Mandar, yang notabene berdekatan atau bisa dikatakan hampir sama dengan suku Bugis. Aku dulu menikah dengan adat Mandar, pakaian Mandar. Biaya besar .Hanya ada bedanya. Kebetulan keluarga besarnya sudah menetap di Pulau Kalimantan ini, di kota Balikpapan dan sekitarnya. Jadi tak terlalu banyak biaya dikeluarkan untuk mengundangnya dari Sulawesi. Satu lagi kebetulan yang mestinya disyukuri oleh suamiku, adalah karena aku orang Jawa yang tak menuntut berapa jumlah jujuran. Saat itu keluargaku tak memasang tarip buat suamiku. Terserah berapa jumlah uang yang bisa diserahkan untuk menambah biaya pesta. Meski sebagai orang Jawa ada juga tradisi peningset, tapi kebetulan keluargaku tak menerapkannya secara saklek. Cukup dengan jumlah tabungan yang kami kumpulkan berdua, kami dulu menikah secara sederhana .
Tapi itu bukanlah jaminan bagi kelanggengan suatu rumah tangga. Buktinya suamiku sekarang lebih memilih kawin lagi dengan perempuan sesuku, yang kudengar juga menuntut jujuran dari suamiku di acara perkawinannya.
Entahlah….napasku terasa sesak saat ini. Teringat kenangan buruk pertengkaran demi pertengkaran yang telah mengantarkan kami ke perceraian. Barangkali memang sudah tak jodoh, yahh..mau diapakan lagi.
“ Mbak…saya jadi bingung sekali. Inginnya lari dari kenyataan. Sebab bilapun seluruh harta benda saya dijual, tak akan cukup untuk memenuhi tuntutan orangtua Masnia. Keluarga saya juga miskin, hidup pas pasan . Saya hanya mengingat perut pacar saya yang pasti bertambah besar sejalan hari hari yang saya tunda untuk menikahinya” keluh Hasyim berikutnya.
“ orang tua pacarmu sudah tahu tentang kehamilan anak gadisnya?”
“ sepertinya sudah, meski kami tak memberitahukannya secara langsung”
“dan orang tuanya tetap memasang tarip begitu besar?”
“ya, sebenarnya dua puluh juta itu sudah saya tawar. Sebelumnya mereka meminta tiga puluh lima juta”
“ bagaimana jika kalian nekad menikah diam diam saja, tak usah mengadakan pesta yang megah?
“Itu tak mungkin Mbak. Keluarga pacarku orang terpandang. Keturunan raja raja. Tak mungkin menyelenggarakan perkawinan tanpa pesta besar”
Percakapan kami terhenti oleh bis yang berhenti mendadak di daerah Loa Janan , sekitar setengah jam menuju ke Samarinda.
Ada kecelakaan rupanya.
Sebuah sepeda motor bebek bertabrakan dengan sebuah mobil truk bermuatan pasir.
Deretan kendaraan seperti semut merayap di jalanan yang becek oleh hujan . Bis kami juga berjalan sangat pelan ,semakin mendekati lokasi kecelakaan. Penumpang bertambah gerah. Banyak yang bergumam tak jelas. Tapi samar samar dari orang yang berdiri diluar kendaraan, aku mendengar berita tentang para korban kecelakaan itu . Khabarnya penumpang sepeda motor yang terdiri dari perempuan dan lelaki muda tewas seketika , terseret dan tergencet roda truk. Kepala perempuan itu bahkan remuk terhantam aspal jalanan. Aih…aku bergidik dibuatnya. Hasyim tampak sangat gelisah. Mungkin dia masih memikirkan jujuran yang harus di penuhinya.
Bis berjalan melewati lokasi tabrakan. Terlihat ceceran darah tertumpah di aspal yang basah. Polisi sibuk mengatur jalanan yang macet. Kerumunan orang masih merubungi korban yang tergeletak di tengah jalan. Aku tak tega melihatnya. Kulihat juga motor yang ringsek berat hacur tak beraturan terserak di pinggir jalan. Hasyim tiba tiba berdiri dan berteriak histeris.
“Masnia…Masnia….itu Masnia !! “ beringas dia turun dari Bis yang masih berjalan pelan.
“ Itu Masnia..baju Masnia, motor Masnia “
Tak sadar aku mengikuti lelaki itu turun dari bis.
Di sibaknya kerumunan penonton di sekitar mayat korban. Dan benar , Hasyim memeluk mayat wanita yang kepalanya remuk berdarah itu. Tangisnya pecah ,mengoyakkan langit yang tampak ungu menurunkan hujan yang bertambah deras.
Rupanya dari baju dan motornya , dia yakin bahwa korban kecelakaan itu adalah kekasihnya, calon pengantinnya. Dimana telah tumbuh di rahim perempuan itu sebakal bocah penerus keturunannya.
Hasyim masih meraung raung sambil mendekap mayat yang berlumuran darah itu. Bajunya ikut merah oleh darah .Wajahnya merah oleh darah . Terus diciuminya calon pengantinnya . Sambil meninju ninju dadanya sendiri.
Aku tak tega memandangnya. Hanya berdiri tertegun dengan jarak semeter dari mereka Seperti mimpi ini terjadi. Dan kudengar Hasyim menyebut nyebut sejumlah angka rupiah. “ Dua puluh juta…aku akan mendapatkan dua puluh juta untuk menikahimu, Masnia …tapi kenapa engkau tak sabar Masnia?” Lelaki itu masih berteriak histeris kala sejumlah orang merangkul dan menenangkannya. Jenazah Masnia, dan satu lagi yang ternyata kakak lelakinya segera diangkat kedalam mobil ambulan yang melengking.
Melengkingkan tangis lelaki yang merasa terlambat mencari uang dua puluh juta.
Melengkingkan nasib perempuan yang di jemput ajal dengan cara yang tak disangka sangka.


Balikpapan, Maret 2005

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

cerpen ini memberikan gambaran geografis dan etnografis balik papan dan kaltim yang sangat bagus. Ia juga mengandung gambaran mengenai komunikasi antarbudaya yang mendalam. sayang, penutupan cerita terlalu tematik. sebenarnya sudah bisa diselesaikan pada kata mimpi.

salam

Sunday, October 02, 2005 7:40:00 AM  

Post a Comment

<< Home