Thursday, October 27, 2005

PERAHU

PERAHU


Menatap perahu yang terombang ambing di laut , hatiku ikut gundah. Sore yang cerah sebenarnya . Matahari masih bersinar . Hangat biasnya menyentuh kulit lenganku. Lanskap laut sempurna indahnya. Pasir putih yang menghampar, pohon kelapa yang melambai tertiup angin, dan ombak yang damai menyapa pantai. Bebatuan karang yang menjorok ke lautpun tampak kuat dan perkasa menantang alam. Beberapa camar laut terbang rendah , terkadang menjuntai sayapnya menyentuh beningnya air .

“ ibu, kapan bapak pulang?” terperangah aku oleh pertanyaan bocah kecil yang duduk dipangkuanku sejak tadi.

“ setelah mendapat ikan” sahutku sambil lalu

Ku kecup rambutnya yang memerah . Aroma matahari. Kurapikan pakaiannya yang tak harum. Dia bersandar manja kini di dadaku yang kurus.

Kudendangkan lagu sekenanya , sekedar pengusir resah. Kakiku berayun ayun menyentuh pasir. Lama kelamaan ayunan kakiku menyebabkan dua gundukan pasir dan sebuah ceruk di tengahnya. Ada seekor kepiting laut kecil muncul dari dalamnya. Bergegas anakku merosot dari pangkuanku dan mengejar kepiting kecil tadi sambil tertawa tawa. Ya , dia anakku. Satu satunya. Usianya sekarang 4 tahun.

“Ibu, aku dapatkan kepitingnya…horeee…” gelaknya membahana memenuhi angkasa sore itu. Aku mengangguk angguk saja. Ada senyum di bibirku, tapi aku tak yakin itu adalah senyuman. Kupikir itu adalah seringai. Sudah seminggu ini aku tak punya hasrat untuk tersenyum. Apalagi tertawa. Tapi demi gelak anakku , dan pancaran matanya yang penuh harap, kupaksakan juga kedua pipiku terangkat keatas dan bibirku mengembang.

Kedatanganku lima tahun yang lalu ke kota kecil pinggir laut ini begitu membawa banyak masalah dalam hidupku. Tanah kelahiran laki laki yang lalu kusebut suami setelah membuahi rahimku secara setengah paksa di balik rerimbunan pandan dan semak belukar di tepi danau. Laki laki yang lalu mengunci hidupku dari dunia luar. Memenjarakanku dalam kurun waktu yang terbilang oleh terbitnya matahari dan rembulan.

“ kaulah mawar terwangi dan termerah yang kupetik dari lembah tak bertuan” katanya suatu pagi. Angin laut meleraikan anak rambutku dan tangannya yang kekar membopongku ke salah satu batang kelapa yang tumbang di halaman rumah kami.

Aku diam saja saat itu. Menikmati belaiannya. Menikmati kata katanya yang setinggi langit. Sambil berusaha menumbuhkan cinta baginya. Tentu saja. Karena dia lelaki dan aku perempuan . Karena dia suami dan aku istri.

Ah, lelaki yang kemudian dipanggil oleh anakku sebagai “bapak”. Ternyata dia lelaki yang gagah perkasa. Paling tidak soal libidonya. Tidak hanya kepadaku dia bercinta. Mula mula aku gusar dan menolak tatkala dia membawa seorang perempuan lain ke tempat tidur kami yang sederhana . Tapi dia begitu gagah perkasa. Tak mampu aku melawan kemauannya yang luar biasa. Hingga akhirnya aku harus berterimakasih kepada perempuan perempuan yang silih berganti di bawanya ke gubuk kami ini. Dia sungguh gagah perkasa. Tidak hanya pada dadanya dia mengukir tattoo. Tapi keseluruh tubuh . Dia katakana padaku, bahwa cintanya sangat besar padaku. Untuk itu setiap kali selesai ia bercinta dengan satu perempuan lain, dia mengukir tattoo lagi di tubuhnya, untuk melukiskan rasa bersalahnya padaku, menyakiti hatiku. Aku katakana padanya bahwa itu tindakan bodoh yang tidak perlu. Karena diam diam aku tak lagi mencintainya. Tapi dia selalu melakukanya, hingga hampir penuh kulit badannya oleh tattoo huruf huruf namakau, ataupun gambar gambar indah yang dibayangkan adalah diriku. Sementara aku sering terduduk di ujung halaman rumah, sama seperti saat ini. Mengingat ingat bagaimana pertama kali aku jatuh hati pada lelaki tampan ini. Lalu mengingat ingat mengapa aku merasa mual melihat wajahnya.

Aku membayangkan sebuah perahu yang oleng di tengah laut . Tidak , aku tengah melihatnya. Aku melihatnya, ya , melihatnya. Aku tidak sedang melamun.

Ku perhatikan buih yang mengombak dari kejauhan. Ada dingin yang menyergap hatiku tiba tiba. Dingin yang amat sangat. Menusuk. Ak merasa sepi dan sindiri di haalman rumahku ini. Angin yang bertiup begitu kurasa kencang dan membekukan darahku. Hampir aku menangis menahan rasa asing yang begitu menderaku.

“ Ibu…..kakiku berdarah, di capit induk kepiting…..ibuuuuu…huuuuuuu” anakku meringis kesakitan . Terpincang pincang ia berjalan mendatangiku.

Darah yang mengalir dari kakinya lumayan banyak. Kugendong ia kebilik sumur disamping rumah.Kubersihkan lukanya dan kuberi obat merah. Darahnya masih mengalir, merah . Aku merasa dejafu. Hatiku sakit. Pikiranku mengembara entah kemana. Luka anakku masih menaglirkan darah, ketika aku justru masuk kedalam rumah dan bercermin. Memandang mataku sendiri. Masih mataku yang dulu, yang kata suamiku seperti danau tujuh warna yang memancarkan pelangi dari langit yang basah.

“ ibuuu……” rengek anankku dari serambi depan rumah.

Bergegas aku menghampirinya dan kembali menghiburnya . kini ia tenang dan hampir terlelap dalam pelukanku. Kubaringkan ia ke dalam kamar. Diatas dipan sederhana satu satunya milik kami. Dipan berbusa tipis yang telah menjadi sumber dari semua kekalutan pikiranku. Di dipan ini aku dan suamiku bercinta. Di dipan ini aku hampir meregang nyawa melahirkan anakku. Di dipan ini suamiku bercinta dengan perempuan perempuan lain didepan mataku. Di dipan ini ia kugorok lehernya hingga tergolek mati bersibah darah, seminggu yang lalu.

Aku hampir terlelap memeluk anakku. Mataku setengah terpejam. Aku sudah setengah tertidur ketika anakku tiba tiba menangis meraung raung memanggil bapaknya. Kutenangkan dengan elusan dan bujukan, tapi tangisannya bertambah nyaring. Sekarang tubuhnya memberontak dari pelukanku. Aku bingung. Kugendong ia keluar rumah. Kami lalu duduk di batang kelapa dimuka rumah. Matanya yang mengantuk tampak sembab. Tapi tangisnya telah mereda. Hanya isaknya yang tertahan membuat dadanya naik turun. Aku kehilangan kata kata. Mungkin anakku rindu dengan bapaknya. Sudah seminggu ini dia kehilangan belai dan canda riang bapaknya. Aku merasa bersalah telah ‘menyimpan “ bapaknya di perahu yang terus bergelombang ditengah laut. Perahu satu satunya milik kami, yang kami beri nama “biduk cinta”, bercat biru muda , yang sehari hari dipakainya mencari ikan dilaut.

“ sayang, diamlah, bapak ada ditengah laut” bujukku sambil kupeluk erat anakku.

Air mataku jatuh perlahan , seperti gerimis sore ini merintik membasahi pasir halaman rumah kami.

Air mata pertama setelah seminggu yang lalu. Sebelumnya , air mata yang berbeda selalu turun mengalir deras, setiap kali kulihat suamiku bercinta dengan perempuan muda lainnya. Aku membayangkan darah yang menyembur dari lehernya, Ah betapa indah pemandangan itu. Sungguh indah dan lama kuidam idamkan. Melebihi indah bermacam macam tattoo di tubuhnya. Kupotong kelaminnya setelah kuperhatikan dia tak lagi bernyawa. Lalu tangannya. Tangan kekar yang selalu membopongku ketempat tidur sambil bersyair indah tentang kecantikanku. Tangan yang juga meremukkan cintaku dengan tamparan tamparannya dipipiku saat aku tak setuju ia membawa perempuan lain kerumah. Aku tak bisa memotong semua tubuhnya. Terlalu liat dan tenagaku juga berkurang. Lagipula aku takut anakku yang tidur di kamar sebelah akan terbangun dan melihat semau kejadian ini.Padahal aku ingin mencincangnya hingga lumat seperti bubur. Seperti angan dan citaku yang telah diadauk aduknya dalam kuali besar bernama biduk rumah tangga. Akhirnya kusudahi mutilasi itu. Dengan memasukkannya kedalam karung besar. Kuseret malam itu juga, kedalam perahu kami. Ku dorong hinggga bibir pantai. Kudayung hingga mulut laut. Kuucapkan selamat jalan , lalu aku berenang pulang kerumah. Tak ada yang tahu. Aku tak punya tetangga ataupun sanak kerabat sejak lima tahun yang lalu.

Aku dan anakku memandangi laut, seperti biasa. Sambil duduk kini anakku lebih tenang. Tangisnya telah diam. Luka bekas capitan kepiting tak lagi membuatnya menangis. Juga rindu kepada bapaknya. Entahlah, mungkin esok hari ia akan kembali rindu dan mencari bapaknya. Akan kukatakan bahwa bapaknya akan kembali suatu waktu , sambil mengajaknya memandang lautan. Bagaimanapun ia butuh belai dan canda lelaki yang selalu memanggulnya diatas bahu , berputar putar halaman sambil tertawa cekikikan. Aku takkan mampu melakukan itu . Karena perutku semakin besar. Mungkin empat bulan lagi akan lahir adik bagi anakku.

Tapi paling tidak kecipak ombak dan sekaligus bara didadaku kini telah padam. Ada kelegaan yang luar biasa ketika melihat pantai yang senyap tak melabuhkan sebongkah kayu bernama perahu yang membawa jasad mimpi dan cintaku.

Langit tampak kuning. Senja memburat dilangit. Gerimis telah usai merinai. Aroma basah masih tercium . Wangi. Aku duduk diluar rumah , memangku anakku sambil bersenandung. Ku ayun ayunkan kedua kakiku kepasir basah.Tak ada kepiting muncul dari dalam pasir. Karena malam telah merambat datang . Malam malam yang selalu kunanti. Karena terbebas dari jeruji, terbebas dari belitan duri, terbebas dari dera dan siksa batin. Kunikmati sepenuhnya rembulan sayu yang muncul dari balik awan . Aku menari bersama dengan anakku dikeremangan malam, beriramakan deru gelombang berpadu dengan nyanyian burung hutan yang bertengger dipucuk pohon pohon kelapa. Berbumbu kristal ingatan ingatan malam itu. Darah yang menyembur, kemaluan lelaki yang lembik menggelambir. Tangan dan jari jari yang kaku berwarna pucat tergenang darah. Ah, aku tertawa perlahan . Ku coba melakukan apa yang biasa dilakukan suamiku kepada anakku. Memanggulnya di bahuku, sambil berputar putar, menari dan tertawa cekikikan. Ternyata aku bisa. Aku lebih perkasa dari suamiku yang sekarang telah berubah menjadi bangkai ditengah laut sana. Kami terus menari dan menari. Hingga tak ingat lagi kapan harus berhenti.

Tarian kesunyian yang amat panjang dan melelahkan. Dengan sedikit senandung dan ritme ritme aneh yang hanya kami berdua bisa melakukannya.

Shantined,Balikpapan, Oct 17, 2005

my wild illusion on Sabakatang village.