Sunday, April 10, 2005

PETIR
Oleh : Shanti syarif


Seingatku tak pernah sedahsyat ini petir menggelegar di kotaku. Sungguh keras bunyinya, disertai cahaya putih yang amat menyilaukan.” Duarrrrr…..” demkian membahana membuat takut seluruh makhluk yang mendengarnya.
Padahal hujaan tak turun dengan deras, hanya mendung gelap memang menggantung di langit sejak siang tadi.
Buru buru Elies menutup jendela kamarnya. Takut seandainya petir datang lagi dan menerobos masuk kerumahnya lewat jendela.
Betapa ketakutan itu juga dirasakannya, ngeri membayangkaan jika saja ia tersambar petir seperti pohon kelapa di halamannya tempo hari. Gosong menghitam dan mati.
Dering telponku ke ponsel Elies lama tak terjawab.
“Hallo….”demikian suaranya di dering yang kesekian kali
“ Elies kau baik baik saja? “ tanya ku
“ ya, hanya ketakutan saja. Sebaiknya taak usah menelepon saat banyak petir seperti ini, bahaya!” kudengar suaranya mengandung kecemasan.
“ oke, oke…jangan lupa matikan televisi dan cabut steker listrik yang tak diperlukan”
“nanti malam bermalam di rumahku ya Nan…aku takut. Suamiku dua hari lagi baru datang”
“tentu sayang , mau dibawakan terang bulan atau coto makasar lagi?”
“terserah kau saja, yang penting datang, aku takut hanya berdua dengan si kecil”
“iya, iya…setelah selesai aku mengetik berita untuk besok ya…kau tahu berita besarku hari ini?”
“ aduh Nan..jangan ngobrol sekaarang , nanti tersambar petir lho…gelombang telepon kita bisa mengundang petir “
“ iya deh….sampai jumpa nanti malam…daaaghhh”
Bersamaan dengan ditutupnya pembicaraan, kembali sebuah petir di sertai guntur menggelegar. Untung saja tak sempat menyambar sambungan telepon kami tadi.
Tapi kurasakan ada sambaran lain setiap berbicara dengan perempuan beranak satu tersebut.
Gelombang aneh yang dahsyatnya melebihi gelegar petir manapun. Benar benar maha dahsyat. Hingga sanggup membuat degup jantungku sepuluh kali berdetak lebih kencang. Padahal aku kenal perempuan bermata danau itu sudah bertahun tahun, sejak dia tinggal di depan rumahku.
Tak ada yang luar biasa saat itu. Sebagai tetangga, hubungan kami semula biasa saja. Memang ia beberapa kali mengunjungiku , mengantarkan kue bikinannya, meminjam cangkul, atau menawariku anak kucing . dan itu kuanggap hal yang biasa, hanya sekedar perhatian kepada tetangga. Kebetulan pula di kampungku kalau pagi suasana agak sepi. Rata rata para suami pergi bekerja.Anak anak sekolah. Hanya beberapa ibu rumah tangga yang suka keluyuran ke rumah tetangga atau ngrumpi di bibi sayur. Tapi tidak dengan Elise . Perempuan itu kulihat sering duduk membaca buku atau majalah di beranda rumahnya. Suaminya lebih sering dinas ke luar kota , dibandingkan berada di rumahnya yang mungill namun tertata indah itu.
“ maaf…bisakah aku meminjam cangkulmu ? tanyannya suatu hari
Lalu keesokan harinya ia membawakan sepiring kue buatannya sambil mengembalikan cangkulku.
Beberapa hari kemudian dia menawariku untuk mengadopsi beberapa anak kucingnya yang baru lahir. Tentu saja aku menolaknya. Aku tidak suka anak kucing . Juga aku tidak punya waktu untuk mengurusnya. Pekerjaanku sebagai reporter salah satu harian terkemuka di kotaku tak bakal menjanjikan aku bisa mengatur waktu untuk memelihara beberapa ekor anak kucing.
“aduh, anak kucingmu memang lucu lucu, tapi siapa yang akan merawatnya? Aku terlalu sibuk bekerja, dan kau tahu sendiri khan, aku tinggal sendirian di rumah ini…takut malah nanti kucingnya mati kelaparan ”
Tapi setelah itu , Elise selalu datang di pagi hari, disaat aku baru bangun tidur , setelah begadang mengejar deadline.
Ada saja yang disampaikannya padaku. Ceritanya selalu menarik.
Humor humor segarnya mampu membuat kantukku hilang.
Pembawaanya selalu ceria , seolah manusia yang tak pernah mempunyai beban, meski aku tahu bahwa ia menyembunyikan sesuatu. Suatu beban yang teramat sarat. Entah apa itu.


***
Benar yang selama ini kusangka. Pagi itu gerimis membasahi kota kami. Suasana temaram dan dingin membuat kantukku semakin meraja lela setelah semalam begadang , aku pulang jam 2 subuh.
Ting tong bell rumahku berbunyi berkali kali, barulah aku terbangun, masih dengan mata yang setengah terpejam. Hanya dengan singlet dan celana kolor ,aku membukakan pintu .
Ternyata Elise. Masih dengan daster tidurnya. Terlihat matanya sembab , dan di sekitar kelopak mata kirinya lebam membiru. Segera ia menghambur ke pelukku, mendekapku sangat erat sambil meledakkan tangisnya ,hingga aku sempoyongan hampir terjatuh di terjang tubuhnya yang mungil. Ya mungkin karena aku masih sangat mengantuk , dan tubuhku khan juga mungil.
“ Nan….aku tak tahan lagi….” Isaknya kemudian.
“sabar,sabar…tenangkan dulu dirimu , baru kau ceritakan apa yang telah terjadi” sambil ku bimbing dia ke kamar tidurku yang masih acak acakan. Kuambilkan segelas air putih, lalu kuseka pula lebam biru bekas tinju suaminya.
Itulah mula mula .
Di kamarku yang pengab oleh asap rokok dan bau bir yang menyublim memenuhi udara , kisah demi kisah diceritakannya. Tentang suaminya yang punya istri simpanan, tentang mertua yang cerewet minta ampun, sampai pada hal hal yang paling pribadi.
Aku tak pernah menyalahkan Elise kenapa dia selalu bercerita dan mencurahkan kata hatinya kepadaku. Yang aku tak mengerti, mengapa perasaanku selalu tak menentu , saat setiap ia datang, menangis, dan kemudian lelap di pangkuanku setelah tertumpah semua unek uneknya. Padahal belaiku tulus, nasehatku tulus, dan juga semua yang dia butuhkan, kuberikan secara tulus. Dia pun tak pernah menyangka aku menyimpan rasa rahasia yang akhir akhir ini telah memabukkanku, menyiksaku.
Pernah suatu malam, dia nekad ingin bermalam di rumahku.
“ waduh….nanti kau di cari suamimu , Lies” dalihku
“ sudahlah, tidak mungkin dia mencariku, dia datang dengan isttri mudanya” sambil terisak ia memintaku membukakan pintu.
Dan sepanjang malam ia terus bercerita tentang kebejatan suaminya, tentang kebenciannya kepada lelaki. Dan aku semalaman itu juga tak bisa tertidur, sibuk mengatur perasaanku sendiri yang semakin aneh menjeratku.
Berbatang batang rokok telah ku hisap, bahkan setengah botol Balley telah ku teguk. Masih saja tak membuatku tenang. Bahkan membuat khayalanku melambung tinggi. Apalagi saat Elise merebahkan badannya di saampingku. Rupanya ia kelelahan. Tangis dan ceritanya tak selesai ,ia terhanyut oleh mimpi .
Kupandangi raut wajahnya yang sayu. Hidungnya mancung,, bibirnya merah mungil, bulu matanya lebat dan alisnya bak semut beriringan membuat wajah ayu itu nyaris sempurna. Bak bidadari , batinku.
Dan aku masih saja terjaga hingga ayam berkokok. Kenanganku terbang ke tujuh belas tahun silam. Ketika aku mengenal cinta pertama, menikmati indahnya berbagi cinta, dan terhempas sesudah kekasihku berkhianat. Bertahun tahun kemudian aku patah hati. Bertekad tak akan jatuh cinta pada siapapun juga. Di tahun yang sama , bapakku kawin lagi. Dengan demikian ibuku yang memilih diceraikan , mengandalkan aku sebagai tulang punggung keluarga. Tak sempat kuliah ,aku hanya kursus ini itu, sampai akhirnya di terima bekerja sebagai reporter berita hingga saat ini. Dan memang aku tak pernah jatuh cinta lagi , baru kali ini lagi.
“ Nan….kau belum tidur juga? “ tiba tiba Elies terjaga dan melihatku masih melamun di sudut kamar
“ tidurlah lagi Lies…aku belum ngantuk “ sahutku
Tapi Elies justru menarik tubuhku, dan memelukku. Matanya masih terpejam, dan dengkur halusnya terdengar menandakan lelap tidurnya dibelai oleh damai elusku di pipinya yang ranum.
Tak terasakah olehnya bahwa jantungku berdegup tak karuan setiap menyentuhnya, menatap matanya, mendengar suaranya?
Memang aku pandai meredam semua galau ini. Tak mungkin aku bilang bahwa aku benar benar menyukainya,bahkan mencintainya.
Tapi mengapa dia juga selalu datang padaku, di saat suka dan dukanya? Mengapa dia seakan memancingku , dengan bermanja manja, dan minta perhatianku? Mengapa wajahnya juga bersemu merah ketika aku pandangi dia lama lama? Mengapa rindu ini menghentak hentak ketika dalam sehari aku tak menjumpainya?

***
“ Nan….aku memutuskan untuk bercerai saja dari suamiku” seperti petir menggelegar , berita itu kudapatkan dari bibir Elies hampir tanpa akspresi
“ Liess….” Tak kuteruskan kata kataku .
Hanya pelukan hangatku mengalirkan semacam kekuatan baginya.
Perasaanku bercampur aduk. Antara kasihan dan bahagia. Kasihan karena sebagai perempuan, dia akan menyandang status janda, belum lagi ia punya satu anak yang harus di besarkannya tanpa kasih bapaknya. Bahagia karena ia terlepas dari derita tekanan batin di dera fisik dan mental oleh suaminya yang berkhianat itu.
Bahagia karena mungkin ia akan lebih dekat denganku. Hah…denganku? Aku mengigit bibirku sendiri, memastikan bahwa ini bukan mimpi.
Demikianlah hari demi hari , Elies semakin sering besamaku. Jalan bersama, nonton bersama, makan bersama,, bahkan anak semata wayangnya pun telah akrab denganku.
Kami sering tukar pikiran, berdebat, dan tak jarang berakhir dengan pertengkaran kecil. Aku menyadari inilah cinta . Betapa aku tak bisa terpisah oleh bius perempuan lembut itu.
Aku sering cemburu jika mendengar ia bercakap dengan lelaki kenalannya di telepon. Atau saat dia berceloteh manja tentang pertemuannya dengan Anton, Arif , atau siapapun .
Aku semakin merasakan denyutan cinta , melebihi sayang yang seharusnya terjadi.
Tetapi apakah dia akan mengerti, menerimaku , ataukah justru kabur tak mau lagi menemuiku? Jika terus terang ku katakan bahwa aku begitu mencintainya?
Sementara kami semakin dekat kini. Malam malam selalu kami lewatkan berdua , atau bertiga dengan si kecil anaknya.

***

Senja tampak layu. Percikan hujan masih membasahi rambutku.
Setelah selesi meliput nara sumber yang luar biasa bawelnya, akhirnya aku pulang ke rumah. Ya, semenjak bercerai, Elies telah tinggal bersamaku. Rumahnya yang dulu di kontrakannya.
Aku berharap Elies menyambutku di muka pintu seperti biasa, dengan senyum manisnya.
Tapi ku cari cari , tak kutemukan dirinya. Hanya wangi parfumnya menuntunku ke serambi samping rumah. Rupanya ia barusaja selesai menerima telepon, entah dari siapa.
“ Hai sayang…”ku kecup pipinya seperti biasanya
“ Nan……..aku ada kejutan !” dengan ceria ia merangkulku
“ sabar…aku mandi dulu ya….’sahutku sambil melepas sepatu dan jaket kulitku.
“ Nan…..dengar Nan, aku barusan di lamar sama Eric, pacar pertamaku. Ternyata dia belum kawin juga . Barusan orangtuanya dari Brunai meneloponku “ cerocos Elies tanpa ampun. Seakan petir di siang hari menyambarku.
“ Lalu kau mau? “ seperti api yang membakar ,tiba tiba kerongkongaku tercekat.
“ Ya entahlah…Nan, tapi kurasa aku bisa kembali mencintainya . Dulu memang akulah yang meninggalkannya, kawin dengan suamiku yang brengsek itu’
Dunia terasa gelap. Petir yang datang sahut menyahut seakan meluluhlantakkan hidupku untuk yang kedua kalinya. Aku benar benar limbung.
Tak kusentuh kopi hitam Arabica kesukaanku yang di suguhkan perempuan pujaan hatiku itu. Pikiranku menerawang. Tapi tetap kusembunyikan kekecewaan yang mendalam itu dari Elies. Aku tetap tak ingin tahu bahwa aku begitu mencintainya, tak ingin kehilangan dirinya.
Kalau sudah begitu aku hanya menyesal , mengapa di lahirkan sebagai perempuan, kalau kenyataannya aku juga mencintai seorang perempuan. Penampilanku yang maskulin tetap tak bisa menguibahku menjadi lelaki. Dan Elies juga tak kunjung mengerti bahwa cinta itu tersemat hanya untuk dirinya. Oleh karena itu, aku tetap bungkam. Tetap bersandiwara. Sampai pada saat Elies menikah lagi dengan Eric.
Dan seperti yang diharapkan, Elies masih saja dekat denganku hingga bertahun tahun kemudian. Tanpa curiga , tanpa tendensi apa apa.Dan aku, seorang perempuan ‘‘sakit’’ bernama Nania, terus mencintai Elies, meski tanpa kata kata. Lebih daripada seorang pria mencintai istrinya.





Balikpapan 25 Maret 2005

0 Comments:

Post a Comment

<< Home