Thursday, October 27, 2005

Mbak Ratna

Oleh : shantined

Dan masa lalu selalu menjadi bagian terpenting hidup ini. Yang ada dihadapan adalah hari ini, menyisakan harap pada esok hari. Demikianlah yang menjadikan mbak Ratna bersikukuh untuk tidak menikah di usianya yang ke 35. Meski banyak pria mau padanya. Meski banyak lelaki naksir mati matian padanya. Bahkan beberapa diantaranya telah memberanikan diri meminangnya.Bagaimana tidak? Wajah mbak Ratna ayu, tubuhnya elok, kulitnya kuning kecinaan, mulus bersih, adabnya juga santun. Tata kramanya baik, tak sombong dan tak banyak bicara. Bekerja pada sebuah bank swasta yang terkenal banyak gajinya.

Entah apa saja yang dipikirkan gadis itu sehingga tak juga menerima pinangan pria yang mencintainya. Harta sudah cukup, usia sudah lebih dari cukup, seharusnya mentalnya juga cukup sudah untuk hidup berumah tangga, seperti tuntutan orangtuanya yang mulai sakit sakitan dan terus saja menanyakan kapan akan menimang cucu dari anak perempuan semata wayangnya itu.

Duh Gusti Pangeran….dengan modal yang besar seperti mbak Ratna , seharusnya ia mendapatkan seorang priyayi atau paling tidak orang kantoran yang sederajat dengannya. Sedangkan ini, sejak aku tinggal dipojokan rumahnya sebagai mahasiswa indekosan, tak pernah kulihat sekalipun mbak Ratna pergi bersama lelaki, atau paling tidak diapeli oleh seorang seseorang.

Entahlah kalau di kantornya, bisa saja ia punya pacar. Tapi tidak. Setahuku tidak. Ia berangkat pagi benar dari rumah, mengendarai sedan putihnya. Dan pulang setelah senja tiris di penghujung langit. Selalu begitu,ritme yang membosankan. Hari Sabtu ,Minggu, dan hari libur lainnya dilaluinya hanya dirumah. Bersama bapak – ibunya yang sudah sepuh, dan pembantu setianya yang juga sudah uzur. Hanya sesekali kulihat ia pergi berbelanja ke supermarket atau ke pasar tradisional , itupun membawa serta Yu Nah, pembantunya itu.

Jadi jangankan ke diskotik atau dugem di bar bar , karaoke pun cukup dirumah saja. Perangakat home theatrenya sangat lengkap dirumahnya yang cukup besar. Terkadang, kami para indekosan yang memang kurang hiburan ini nunut nonton film ,atau bila kebetulan mbak Ratna sedang nyanyi, kamipun di persilahkan untuk ikut bernyanyi bersamanya. Suaranya tak terlalu merdu, tapi cukup empuk untuk dinikmati. Tinggi melengking, meski kadang agak blero, atau fals di nada nada yang sulit. Tapi musik kegemarannya memang jazz. Penyanyi idolanya Januari Christy, Ermy Kulit, Iga Mawarni dan Duo Deddy Dukun – Dian Pramana Putra.

Kami para mahasiswa yang terdiri dari 7 orang ini pun terkadang mendapat berkah , makan malam gratis di rumah mbak Ratna pada acara acara tertentu yang di hadiri oleh kerabat dekatnya saja, yang terdiri dari keluarga besar Raden Wirokromo ,ayah mbak Ratna, serta teman teman wanita kantor mbak Ratna yang terlihat akrab dan dekat dengannya. Tak terlihat satupun tamu lelaki yang bisa diidentifikasikan atau dicurigai sebagai pacarnya.

Hanya kami bertujuh yang merasa beruntung bisa memandang lama lama kemolekan mbak Ratna, sekaligus terkadang diajak ngobrol tentang kampus, dosen dosen, mata kuliah dan ilmu ilmu yang canggih . Tentang komputer dia jago, tentang analisa keuangan dia pakar, tentang agama dia fasih, tentang Iptek dia doyan. Lalu apa yang menyebabkan kami para lelaki untuk tak menyukainya? Disamping pintar , dia sangat cantik, kaya pula.

Lalu apa yang menyebabkannya diusianya yang kepala tiga , belum juga singgah di hatinya seorang kekasih ? Tentu saja kami tak pernah menanyakan jawabannya. Hanya sering kami diskusi dikalangan para indekosan ini, tentang perkara apa yang menyebabkan mbak Ratna menjadi perawan tua.

“ Rud…..kapan kau pulang kampung ? “ tanya mbak Ratna suatu sore

“ belum tahu mbak…mungkin minggu depan” jawabku sekenanya. Jadwal pulangku biasanya memang awal bulan, tapi bulan ini benar benar kocekku sangat tipis, sehingga kepulanganku harus kutunda hingga honorarium puisiku di koran lokal cair.

“ Kalau begitu , bisa nanti mbak minta tolong ya, untuk mbantuin edit tulisan mbak untuk majalah psikologi ya?”

“ wah…mulai kapan mbak suka nulis? Di majalah psikologi pula. Tapi bolehlah mbak, kapan bisa dimulai” cecarku sambil merasa bangga.

“ Nanti mbak kasih honor dehhh….jangan kuatir!”

“walah Mbak….ngggak usah dipikirkan masalah honor, bisa membantu Mbak pun, saya sudah senang ” dengan jujur kukatakan

“ Oke deh, nanti malam bisa khan? Aku tunggu ya di ruang kerja saya…?!”

“ Iya Mbak” sahutku cepat, sebelum dia berubah pikiran

Siapa yang tak bangga, bisa menolong mbak Ratna. Apalagi tadi katanya dia minta di editkan tulisannya untuk majalah psikologi. Ahh…kecil itu! Aku sudah biasa menullis tentang perihal yang sama , untuk thesis dan kadangkala kukirimkan juga untuk majalah dan koran koran daerah. Kuliahku di jurusan Bahasa dan Sastra telah mengajarkan untuk menulis tentang apa saja, termasuk juga puisi dan cerpen yang kini hampir tiap minggu di muat di koran terkemuka kotaku.

Aku segera mandi dan memakai baju andalanku. Kaos oblong warna biru dipadu dengan celana jeans butut yang sobek disekitar lutut.

Tak lupa parfum kesayanganku , kusemprot dibagian telinga dan dada, agar apabila nanti berdekatan dengan mbak Ratna, ada harum yang lain selain bau rokok.

Pukul 7 tepat, aku melangkah dengan tegap . Penuh keyakinan, dan percaya diri. Ini jelas beda dengan si Asep yang minggu lalu juga mengetok pintu ruang kerja mbak Ratna , untuk meminjam uang, karena ibunya sakit dan ia harus segera pulang kampung. Sementara ia bokek berat, sama halnya dengan kami kawan kostnya. Jadi dengan terpaksa, kami hanya menganjurkan untuk meminjam pada Mbak Ratna. Siapa yang akan meminjami uang pada malam malam begitu, selain mbak Ratna? Dan beruntung , mbak Ratna berkenan memberi pinjaman.

“ Tokeeekkk” suara tokek mengejutkanku yang berdiri tepat di pintu ruang kerja Mbak Ratna

“ Masuuukk, Rud……Nggak kukunci kok” aku tambah terkejut . Ternyata detak langkah kakiku yang tak bersepatupun terdengar olehnya.

“ ya Mbak……”

Kamar berukuran 4 x 4 itu menebarkan wangi. Mungkin telah di semprot pengharum sebelum aku masuk tadi. Tapi tidak, wangi itu berasal dari tubuh ramping mbak Ratna. Hhhmmm…parfum yang menggoda. Parfum mahalan, tak seperti punyaku yang beli di toko manapun ada.

“ Rud…udah makan?”tanyanya

Aku diam saja. Tak menjawab, pura pura sibuk memperhatikan kamar kerjanya yang penuh dengan buku itu. Baru sekali ini aku masuk di ruang pribadinya itu, semenjak 2 thn yang lalu kost di rumahnya.

“ ya sudah, nanti setelah selesai dengan pekerjaan, kita makan bersama ya”

Aku hanya mampu menganggukkan kepala. Tiba tiba saja jantungku berdegup sangat keras. Tanganku berkeringat dingin. Ada semacam aliran aneh yang kurasakan mengalir di nadiku , sesaat melihat kecantikan Mbak Ratna dari dekat.

Dan waktu berlalu sangat cepat malam itu. Tulisannya yang hendak ku edit agak mengejutkanku. Topiknya tentang perempuan yang memilih tak menikah, sangat bersinggungan dengan kehidupan pribadinya. Tapi jujur kuakui gaya bahasa dan penuturannya sangat bagus dan akurat. Luwes dan agak kenes. Menyebabkan tulisannya tak terlihat frontal, meski termasuk bahasan yang kontroversional.

Akupun tak banyak mengedit . Karena memang sudah tak banyak yang harus di edit.

Sejatinya aku merasa heran, untuk apa aku dipanggil dan dimintanya menolong mengedit tulisan yang sudah sedemikian rapi dan siap kirim ini. Tak perlu di edit oleh siapapapun sebenarnya. Kalaupun aku tadi mengotak atik tulisannya tersebut, tak lebih hanya membenarkan kosa kata dan membuang titik koma yang tak berarti. Toh dewan redaksi majalah akan melakukannya nanti.

Jadi untuk apa aku disini? Aku masih saja berpikir, ketika Mbak Ratna tiba tiba menyuruhku duduk di kursi, dan dia sendiri duduk di meja kerjanya, menghadapku.

Darahku terkesiap, benar benar jantungku hendak melompat keluar , ketika roknya tersingkap tepat di muka hidungku. Pahanya yang putih mulus terlihat dari sela rok yang terlipat . Entah sengaja atau tidak , Mbak Ratna sepertinya membiarkan hal ini terjadi.

Duh….aku jadi serba salah. Pandanganku kualihkan tepat ke manik matanya, meski tanpa komando, terkadang masih juga kulirik pemandangan indah di depan mataku.

“ Jadi begini Rud….”

“ ya Mbak..”

“ Kamu sudah baca dan mengerti tulisan Mbak yang tadi khan?

“ya Mbak”

“ Ya begitulah Rud….hidup Mbak memang tak seperti wanita sempurna. Punya suami, punya anak, punya keluarga”

“ya Mbak” aku masih tak mengerti maksud ucapannya, mungkin perhatianku terpecah pada paha putih dan mulus di hadapanku.

“ Aku lebih suka hidup sendiri , tenang dan menyepi , tak ingin terlibat pada persoalan rumah tangga yang pasti dialami oleh pasangan suami istri”

“ ya Mbak….” Aku masih saja ngungun. Konsentrasiku benar benar kacau. Lantas akupun membayangkan malam itu akulah kekasih Mbak Ratna. Pasti akan segera kupagut bibir merah mawarnya, kubelai rambut mayang hitamnya, akan kusingkap lebih tinggi lagi roknya, akan ku ……….

“ Tapi sebagai wanita , aku juga mendamba kasih sayang lho Rud….sama seperti semua makhluk di dunia ini”

Tak kuperhatikan lagi kata kata mbak Ratna. Anganku telah melambung tinggi. Diantara kawan kost , akulah yang tertampan. Setidaknya tubuhku paling berisi , tinggi badanku juga diatas rata rata temanku yang lain. Semoga saja Mbak Ratna memang benar sedang menaksirku , dan malam ini mungkin dia hendak mengajakku bercinta. Ohhh indahnya….. meski usianya telah 35 , tapi tubuhnya tak ubahnya remaja. Cara berpenampilanpun tak menampakkan usia sebenarnya.

“ Rudd…kau masih mendengarku ? Kok tegang seperti itu sih Rud? Aku khan mengundangmu kesini selain minta kau mengedit tulisanku , juga ingin mendengar pendapat pribadimu, tentang aku, juga tentang tulisanku tadi…”

“ Ya Mbak…” aku masih tak kuasa berkata kata

“ Begini saja Rud…, kita makan dulu ya….biar Yu Nah antarkan makanan kesini, baru kita diskusi …”

“ Ya Mbak”

Lalu sajian makan malam berupa nasi , rawon, telur asin dan kerupuk udang menjadi semacam pelumer keadaan. Meski tenggorokanku masih saja seperti tercekat.

“ Mbak sudah anggap kamu ini seperti keluarga sendiri, adik sendiri, apalagi Mbak sering memperhatikan kamu. Kamu orangnya baik, pintar dan dewasa. Tak suka bikin ribut seperti teman temanmu.”

Aku jadi tambah gede kepala, tapi kok dianggap adik ya? Kenapa tak dianggap teman dekat atau bahkan teman suka duka? Bukankah kami sudah sering berdebat dan bertukar pikiran, meski itu sambil guyonan di halaman rumah, diparkiran mobil ataupun di dapur.

“ ada apa to Mbak…..kok saya jadi salah tingkah begini?” ucapku jujur

Tawa Mbak Ratna renyah memecah malam, bahunya terguncang guncang. Aku bertambah salah tingkah. Malam telah larut, rembulan setengah , mengintip di balik jendela yang sengaja di biarkan terbuka mengirim angin sepoi. Gerimis di luar sana telah mengharumkan tanah basah.

*****************

Dan begitulah, Mbak Ratna menceritakan dengan sangat lengkap mengenai masa lalunya. Yang kelam selegam langit malam ini. Kepadaku ia bercerita mengenai kegadisannya yang telah lenyap di renggut oleh pamanya, sewaktu usianya belum 7 tahun.

Lalu ketika berusia 12 tahun, pamannya yang lain sering memaksanya melayani nafsu bejatnya.Hingga bertahun tahun itu terjadi, hingga membenihkan seorang bayi di rahim suci Mbak Ratna. Dan kini bayi itu masih hidup dan dirawat oleh bibinya, istri dari pamannya yang kurang ajar tersebut. Sedang berita pamannya, terkabar sudah tewas di ujung tombak ayahanda Mbak Ratna yang sangat marah dengan tindak tanduk adiknya tersebut.

Lalu paman yang pertama kali menodainya itu selamat, karena ketakutan Mbak Ratna hingga tak tega mengadukannya pada Romo Wirokromo. Takut tombak yang sama akan menuntaskan hidup seorang paman yang kini sudah cukup renta itu. Paman Haryo memang tak berkeluarga. Padahal hidupnya berkelimpahan , hasil dari berdagang dan bertani di dusunnya. Tapi tak seorangpun gadis mau berdekatan dengan pamannya tersebut . Sifatnya sangat kasar dan galak. Maklumlah jikalau Ratna kecil saat itu terbungkam mulutnya hingga bertahun tahun, hingga kini ia menceritakan padaku. Dan kini paman Haryo laknat tersebut tinggal di rumah besar milik kelg Raden Wirokromo ini, seperti tanpa rasa bersalah. Ya, sudah sekitar sebulan ini paman renta itu tinggal di kamar besar paling depan, setelah menjalani operasi katarak di kota ini.

Pantas saja Mbak Ratna seperti gelisah sejak kedatangan orang tua itu. Luka lama yang telah dikuburnya , tiba tiba saja tercungkil cungkil tanpa disadari. Perih yang mendera lebih dari separuh hidupnya seakan kembali nganga terbuka. Ah aku tahu, inilah rupanya yang menyebabkan Mbak Ratna enggan berhubungan dengan pria . Mungkin rasa minder, atau mungkin dendam yang selalu menyala telah membawanya pergi ke kehidupan yang hanya dia nikmati sendiri. Entahlah aku tak mengerti

Yang kutahu, air matanya menetes , suaranya parau menahan duka, dan wajahnya sangat sayu seolah mengisyaratkan aku untuk segera menenangkannya, dengan pelukku misalnya.

Dan benar , dia diam saja ketika kuulurkan sebuah tissue ,dan aku menyeka air matanya. Lalu ku bimbing dia menuju kursi, sambil kurengkuh mungil pundaknya. Sesenggukannya yang terdalam masih kurasakan , ketika diakhir kalimat dia menyebutkan bahwa tak akan pernah menikah. Karena cintanya pada lelaki tak pernah tumbuh. Karena lukanya kepada lelaki tak pernah paadam. Karena kekasihnya adalah Mbak Eka , yang photonya memang berserakan di kamar kerjanya, ruang tamunya, ruang hatinya, ruang hidupnya.

Ya, mbak Eka adalah teman sejatinya, yang selalu datang menemani sepinya, getirnya, sukanya, dukanya. Tubuh Mbak eka atletis dan tomboy, meski tutur katanya juga halus seperti Mbak Ratna.

Aku jadi teringat, mengapa lebih sering mbak Eka menemani Mbak Ratna pergi kondangan, acara ulangtahun dan acara kantor lainnya.

Duh Gusti Pangeran……nafasku seakan benar benar habis tersedot oleh akhir drama yang disuguhkan oleh Mbak Ratna. Ketika sebuah cundrik berbisa telah disiapkannya dari laci meja, untuk menghabisi paman Haryo malam ini juga.

“ tolong aku Rud….sekali ini saja….dendamku masih kesumat. …benciku masih membara……”

Aku diam beku tak beranjak dari dudukku.

“ Ayolah Rud, bantu aku…….apapun akan kau dapatkan tanpa kecuali. Ayo kita bercinta, jika itu yang kau mau. Asal kau mau membantuku. Aku yang akan bertanggung jawab kepada polisi nanti, kau tak akan kulibatkan. Ayolah Rud…..aku perlu tenaga lelaki untuk menghabisi lelaki tertengik itu…..ayolah Rud…..ayolah Rud……” Dan kata kata Mbak Ratna terus menggema di gendang telingaku. Terus membiusku , membuatku sungguh bingung, ini mimpi atau nyata.Hingga aku menyadari ini bukanlah mimpi, oleh desahan manja dan tubuh yang telah tanpa busana tergolek dipangkuanku yang membatu.

Ya, membatu.

*************************

Balikpapan, 3 Mei 2005