Friday, March 24, 2006

TARI

SECANGKIR cappucino di atas meja kecil mengepul panas. Asapnya wangi menguar di kamar berwarna putih bersih. Hentakan “On Broad way”-nya Gerorge Benson membahana dari speaker pipih di sudut ruangan. Iramanya berdentum energik dan menggairahkan. Bersama beberapa keping biskuit, kunikmati pagi yang sempurna ini. Ada sinar matahari yang menerobos hangat dari balik kain gorden jendelaku yang lebar menghadap timur, arah terbitnya matahari. Dan hawa sejuk tetap bisa kurasakan dari hembusan angin yang melambai. Segar terasa benar. Tubuhku, jiwaku.
Tidur semalam sangat nyenyak, tak ada mimpi, tak terbangun tengah malam. Dan baru saja guyuran air dari shower menyempurnakan segala kesegaranku pagi ini. Aroma sabun dan shampoo masih melekat di tubuhku. Kutambah lagi dengan sepercik parfum beraroma maskulin. Kulipat kakiku, duduk bersila membaca koran pagi. Perlahan kuhirup dan kunikmati secangkir cappuccino buatanku sendiri. Minggu yang cerah. Aku libur hari ini. Rencana beberapa kawan akan bertandang ke kostku nanti siang, untuk bersama nonton film-film terbaru, di sini. Perangkat audio visualku lumayan lengkap, enak untuk ramai ramai menikmati cerita-cerita seru dari kaset DVD atau VCD.
Aku lalu membenahi kamarku. Kulipat selimut tidurku dan kurapikan ranjang. Kusimpan pakaian kotor ke dalam keranjang. Kusapu dan kubetulkan letak barang yang tak beraturan. Ada gitar tua yang kugantung di dinding, di bawah jendela ada rak buku dan kaset-kaset. Kamarku tak besar. Berukuran 4 x 5 meter saja, standar untuk ukuran kamar kost bagi karyawan. Di dinding putihnya kugantungkan berbagai foto kenangan, foto diri dan beberapa foto keluargaku. Sebagian puisiku juga rapi kubingkai dan kutaruh pula di situ. Banyak orang yang masuk kamarku, memuji akan keartistikkan dan keunikanku menata ruangan. Ini sengaja supaya aku nyaman tinggal di kamar, ketika aku off dari lokasi selama seminggu. Pekerjaanku sebagai karyawan lokasi pengeboran minyak mengharuskanku bekerja di lapangan atau lokasi tambang selama dua minggu penuh dan libur selama seminggu. Jadi kuusahakan semaksimal mungkin, kamarku adalah istanaku. Tempat aku istirahat dan terkadang menulis beberapa cerpen atau puisi dikala inspirasi datang.
Kesukaanku terhadap musik dan film juga kupenuhi dengan mengoleksi kaset kaset lagu dan film terbaru. Begitu juga buku. Kegemaranku membaca membuat rak bukuku nyaris jebol saking banyaknya buku yang kukoleksi. Intinya, hasil jerih payahku selama 5 tahun aku bekerja, tak sia sia. Meski gajiku tak seberapa besar, tapi paling tidak aku bisa membeli barang ini atau itu sesuai kebutuhanku.
Kuhirup napas panjang. Kunikmati kesendirianku di kamar mungil ini. Kali ini Gerarld Joling mengalunkan “So Hurt”. Irama semi blues pop membawaku ke berbagai kenangan di masa kecilku. Desa tempat tinggalku. Ah, sangat kontras dengan kota yang sudah lima tahun lebih ini kuhuni. Dengan modal nekad, selepas SMA aku lari ke Balikpapan ini, kota yang lumayan ramai dan padat. Kota minyak yang terkenal dengan masyarakatnya yang heterogen namun tanpa gejolak. Berbagai suku ada di sini. Berbagai jenis karakter manusia berbaur menjadi satu. Tak banyak pengangguran di sini. Isinya lebih banyak pekerja dan karyawan, baik asing maupun pribumi. Ibaratnya, di sini tak ada bayi lahir dan tak ada orang mati. Para perantau datang ke sini pada saat dewasa untuk bekerja dan pulang ke tanah asalnya pada saat pensiun atau menjelang tua. Benar-benar kota produktif. Sungguh beruntung aku terdampar di sini, yang jauh dari kampung halamanku di pelosok Jawa Tengah sana.
Tiba-tiba, ponselku bergetar, sebuah pesan pendek, dari Tari, adik semata wayangku. Isinya singkat saja, bahwa ia akan datang ke kotaku, dalam waktu dekat ini. Seperti tersihir aku mengulang-ulang pesannya. Tak ada sms lanjutan yang isinya pembatalan atau pernyataan bahwa pesan pendek itu salah kirim. Kucek lagi nomor pengirimnya, ya , benar nomor Tari. Berarti ia betul-betul akan ke sini dalam waktu dekat ini. Ada apa? Itu pertanyaan yang berkecamuk di benakku. Belum pernah Tari ke sini sebelumnya. Bukankah ia masih kelas 3 SMA? Lalu bagaimana sekolahnya? Apakah ia akan menetap atau sekadar jalan-jalan? Tapi setahuku, ini bukan musim liburan anak sekolah. Jadi pasti ada yang tak beres dengan Tari. Aku tak segera menjawab sms adikku itu. Masih kupikirkan kalimat baik untuk menanyakan alasan mengapa mesti datang ke kotaku yang jauh ini. Bukannya aku tak suka akan kedatangannya. Tapi aku mengkhawatirkan sekolahnya dan terus terang, sudah terbilang dua belas tahun kami sejak orang tuaku bercerai dan kami berpisah, aku hampir tak pernah bertemu dengannya maupun ibu. Namun aku tak berharap hal ini akan menimbulkan masalah.
Seminggu setelahnya, di bawah matahari yang membakar kota kami, aku menjemput Tari di bandara Sepinggan. Dengan sepeda motor bebek kebangganku, aku berangkat dari kostku. Sampai detik itu aku belum tahu berapa lama ia akan tinggal. Ternyata bawaannya banyak sekali. Kuhitung ada tiga tas besar dan dua kardus, entah berisi apa saja. Aku tertegun. Bukan hanya karena bawaannya itu. Tapi karena penampilan Tari yang berbeda sama sekali dengan saat terakhir kali kami bertemu. Rambutnya disemir pirang, pakaiannya sangat fashionable, tubuhnya yang semampai tampak padat berisi. Hampir aku pangling, tak mengenalinya, andai ia tak berseru lantang menyebut namaku sambil menghambur memelukku.
“Tari? Astaga, kau kah ini Nduk?” seruku tak kalah histeris
“Ini Tari, mas Harris,” sambil pelukannya bertambah kencang di dadaku. Kusadari orang di sekeliling mulai memperhatikan kami. Segera kuajak Tari menepi dari gelombang manusia yang baru turun dari pesawat itu. Café di sebelah pemberangkatan menjadi tujuanku sementara, sambil menentramkan jantungku yang baru saja hampir copot demi melihat perubahan mencolok adikku ini.
Segelas jus mangga mengalir di kerongkonganku yang kering menahan berbagai pertanyaan. Seakan mengerti, Tari tak berlama lama bercerita singkat mengenai kedatangannya ini, sekaligus memberikan alasan mengapa dandanannya berubah.
“Aku ingin pindah sekolah disini saja mas.”
“Kenapa?”
“Nanti aku akan jelaskan, tapi tidak sekarang.”
“Ibu tahu kamu berangkat ke sini?”
“Nanti saja aku jelaskan, mas. Butuh waktu semalaman untuk bercerita tentang semua.”
“Lalu rambutmu, kenapa ?”
“Yah, mas Harris ini udik, ndeso! Yang begini ini keren mas, gaul.”
Ya ampun, aku hanya bisa mengelus dada. Terakhir kali ketemu dengannya, dia masih kelas 5 SD. Masih ingusan. Masih kolokan dan cengeng minta ampun.
Selanjutnya, siang yang merah, saga dalam perapian kamarku seakan membara. Cerita Tari benar-benar membakar kemarahanku. Bapak tiriku ternyata tak sebaik yang diagung-agungkan ibuku. Selain kurang bertanggung jawab terhadap ibu dan adik-adikku, ia juga “memangsa” Tari. Sepengakuannya, Tari telah lebih setahun dipaksa melayani nafsu bejat lelaki itu, di kala ibu pergi kerja. Hatinya selalu bergejolak, antara menyimpan masalah itu sendiri, atau mengungkapkannya pada ibu. Keduanya dirasa sangat berat bagi Tari. Jika diungkapkan, pastilah ibu tidak akan terima dan menuntut cerai. Paling tidak, luka hati ibu akanlah sangat dalam. Dia dan dua adik yang lahir dari perkawinan kedua ibu, juga pasti terancam dalam soal keuangan dan bahkan mungkin tak bisa melanjutkan sekolah. Jadi Tari memilih untuk diam sambil menyimpan sendiri kepedihan hidupnya di usia muda. Hari-hari dijalaninya dengan penuh penderitaan. Ketakutan yang berlapis-lapis selalu menjadi bebannya. Di satu sisi, ia takut ketahuan oleh ibu, demi menyelematkan keluarga, dan di sisi lain ia juga takut pada sinar matahari pagi, yang memberikan celah bagi bapak bangsat itu menidurinya. Tari masuk sekolah sore. Setiap pagi, setelah ibu dan kedua adiknya berangkat sekolah, adalah saat yang tepat bagi lelaki hina itu melampiaskan kebusukannya. Awalnya Tari bisa menolak dengan berbagai cara. Tapi akhirnya ia menyerah juga, ketika ancaman lelaki itu bertambah membuat ciut nyali Tari. Hari demi hari, bulan demi bulan, tak terasa berbilang tahun, Tari menjalaninya dengan patuh, demi menyelamatkan ibu dan adik adik, sekaligus menahan aib keluarga.
“Dandananku menjadi begini, adalah hal kecil yang ditimbulkan dari kekecewaanku terhadap hidup.” Air matanya menggenang dari pipinya yang putih bersih
“Lalu bagaimana kau harus mengakhiri kebejatan bajingan tengik itu?” tanyaku geram.
“Ya, sepertinya dengan lari ke sini, adalah salah satu hal terlogis untuk lari dari cengkeramannya, tanpa harus menyakiti ibu, mas.”
“Tapi ini tak bisa dibiarkan, Tari.”
“Biarlah mas, aku ikhlas masa mudaku hancur remuk di tangan cecunguk itu. Tapi kumohon, jangan hancurkan cinta ibu padanya. Aku tahu , ibu sangat mencintainya, mas.” Tangis Tari menjadi jadi. Dadanya berguncang guncang. Perasaaanku ikut remuk redam.
Kutenangkan dia dengan pelukanku. Kuciumi pipinya, kubelai rambutnya. Kasih sayangku padanya sebagai kakak tetap utuh meski telah terpisah oleh jarak dan tahun tahun yang diam menyimpan cerita kami masing masing.
“Kau punya kekasih, Tari?”
“Aku tak sempat memikirkan kekasih, mas. Lagipula aku takut ketahuan bapak. Dia pasti akan menghajarku bila aku pacaran.”
Dan pagi demi pagi, siang demi siang, sore demi sore dan malam demi malam kami lewati bersama di kamar kami yang sebenarnya tak cukup besar buat kami berdua. Sudah kupikirkan untuk menyewakan kamar sendiri buat Tari. Tapi sementara ini aku juga melihat Tari belum siap untuk kost sendirian. Jiwanya masih sakit dan labil menghadapi hiruk pikuk dunia dan permasalahanya sendiri. Jadi, sambil menunggu segala sesuatunya membaik, apa salahnya ia tinggal denganku. Toh aku hanya seminggu turun dari lokasi dan pulang untuk selanjutnya kerja lagi selama dua minggu.
Mula mula memang agak canggung. Bagaimanapun aku dan Tari telah lama tak bertemu. Banyak sekali perubahan yang kadang membuat kami merasa asing satu sama lain.Entah apa itu namanya. Yang jelas, kami bertambah sayang dan saling membutuhkan. Oh ya, dia juga sudah kudaftarkan sekolah di sini.
“I like chopin” masih berdengung di telingaku. Ini kepulanganku kali ketiga di kostku yang kian rapi dan tertata indah oleh Tari. Hmmm…ternyata enak juga punya teman sekamar yang rajin seperti dia. Banyak kawan kostku iri. Mereka semua kenal dengan Tari dan rata rata mengagumi kecantikan luar dalam yang dimiliki Tari. Tak hanya wajahnya yang cantik alami, dan bodynya yang aduhai, tapi keramahannya dan kebaikan hatinya telah membuat luluh para bujangan yang tinggal di sini. Beberapa bahkan telah terang terangan “nembak” , meminta Tari menjadi kekasihnya. Tidak ada satupun yang nyantol di hati Tari. Agaknya dia masih trauma dengan pengalaman pahitnya bersama”bapak”nya.
Hanya denganku Tari merasa aman dan leluasa mengungkapkan kata hatinya. Segala keluh kesah dan keinginan-keinginannya ia beberkan padaku. Dan dengan kedua tanganku , aku selalu saja siap memeluknya, mendekapnya dengan penuh kasih sayang, meredakan ribuan gelisah dan kesedihan yang panjang menderanya.
Malam ini terasa sedikit mencekam. Hujan turun sejak sore tadi. Bersama petir dan guntur yang datang bersahutan. Badanku terasa capai. Namun secangkir kopi rasa vanilla yang disajikan Tari, mampu meredakan keletihanku. Bersama musik yang mengalun, rinai hujan dan dingin yang menusuk menjadi indah. Apalagi pijatan ringan Tari di kedua bahuku sanggup membuat mataku setengah tertutup oleh kantuk yang mulai menyerangku. Aku telungkup di kasur busa tipis dan dia duduk di sampingku. Mula mula aku tak memperhatikan roknya yang tersingkap itu. Tapi sepertinya di antara tidur dan bangun, aku merasa ada perasaan aneh menyelubungiku. Apalagi ketika pijatannya semakin terasa enak dan tanpa rasa canggung ia memijat seluruh bagian belakang tubuhku. Kami diam saja. Aku pura-pura tertidur dan berusaha menahan gejolak. Tapi dia terus memijatku dan menemukan titik-titik kerawananku. Aku hampir tak kuasa. Entah apa yang dirasakanya, namun sepertinya ia juga menikmatinya. Aku tak tahu bagaimana menghentikannya. Kelajangan dan kelelakianku membuatku tak menolak sentuhan perempuan, meski dia adikku.
Seperti yang sudah terjadi, aku pulang dan pergi . Dua minggu di lokasi dan seminggu di rumah kost. Yang tak pernah terjadi, kini aku merasa semakin cepat ingin pulang. Rasanya ada yang menantiku di kamar kostku yang mungil itu. Aku tak tahu apakah ini salah? Sepertinya aku telah tersihir oleh berbagai teori pembenaran yang berkecamuk di dalam pikiranku sendiri. Tari perlu kasih sayang. Tari butuh pengayom . Tari butuh sentuhan yang pernah secara terpaksa di terimanya.Tentu kali ini beda. Apa yang dia terima dariku bukannya keterpaksaan, tapi sesuatu yang dia butuhkan. Kebutuhan perempuan dewasa kepada lelaki dewasa. Tari butuh sepeluk dan sedekap yang menghantar mimpinya. Benarkah ia masih punya mimpi? Entahlah. Yang jelas aku dan dia sama saling membutuhkan. Aku seperti kembali menemukan kasih sayang ibuku, yang jelas terpancar dari segala gerak dan lakunya. Dan mungkin ia juga menemukan figure Bapak didiriku. Ah, tak tahulah apalagi yang kurasakan, kini bercampur aduk di dadaku yang setiap saat bergemuruh bila didekatnya.
“Mas, ada yang ingin kubicarakan.”
“Ya, cepat katakan Tari, sebelum aku berangkat dua jam lagi ke lokasi.”
Jadwalku hari ini turun ke lokasi. Dengan naik pesawat kecil yang akan menghantarkan ke sebuah tanjung off shore di tengah laut. Dua minggu lagi baru akan kembali.
“Mas…..” wajah Tari pucat , matanya menatapku lama sekali.
“Ada apa adikku sayang? Ccepat katakan.”
“Mas…aku terlambat mens, sudah tiga bulan ini, mas… “ ia lalu tertunduk, tak lagi berani menatapku.
Laut yang biru kini semakin terlihat dalam dan tenang. Tapi segerombolan kabut seperti membutakan pandanganku. Serombongan camar laut riuh mengepakkan sayapnya , terbang tepat di atas anjungan tempatku bekerja. Hentakan musik tak terdengar di sini. Yang ada dentuman mesin besar menghantam dasar laut, mencari aliran minyak yang akan diolah menjadi bahan bakar. Aku duduk sendiri di kegelapan senja, menatap laut yang seakan tak bertepi. Risau hati ini tak terperi dan belum terobati . Sudah kuhitung-hitung berapa lama Tari berada di kotaku. Kuhitung pula mulai kapan aku bercinta dengannya. Ternyata memang jika benar telah tiga bulan usia kandungan Tari, bukanlah aku bapaknya. Bisa jadi itu bayi ayah tiri kami atau siapa, entah aku tak tahu. Tapi aku tak akan tega untuk menanyakan padanya. Meski untuk bertanggung jawab, jelas itu tak mungkin. Apa kata orang nanti . Seorang kakak kandung menghamili adiknya.
Angin yang semilir mengirimiku sejuta gundah dan pikiranku yang terombang ambing serasa gelap tak berujung.
Wajah Tari terus membayang dan untuk sekali ini aku enggan untuk pulang.
Balikpapan, 3 Desember 2005