Friday, March 24, 2006

HOTEL

Kelopak pagi merekah dari kuncup fajar yang elok. Ada kokok ayam jantan dan terbit matahari. Apalagi yang lebih indah dari pagi seperti ini? Halaman luas menebarkan harum embun dan dahan dahan basah meliuk liuk ditiup angin sepoi. Sisa hujan semalam telah meninggalkan kerumunan rasa dingin yang meski tak menyengat tulang, namun gemeletuk gigi ketika dera angin menerpa. Amboi, sekelompok kembang sepatupun menunduk hormat ketika aku melewatinya. Jalan kecil berundak undak yang ku titi memang agak licin oleh lumut, tetapi bebatuan tetap memantapkan langkahku menuju sisi rumah sebelah kiri, tempat villa kecilku yang telah dua jam lalu ditinggalkan oleh tamu. Sepasang lelaki dan perempuan , entah suami istri atau bukan, bagiku tak terlalu penting. Yang jelas, mereka telah mendatangkan rupiah buatku, dan kedua anakku. Kadang beberapa kamar yang kumiliki penuh. Tapi tak jarang juga kosong melompong dalam beberapa hari. Ini biasa. Bahkan sering pula aku menurunkan tarif hingga lima puluh persen , demi kebutuhan dapur.
Pernah selama sebulan penuh, kamar kamar yang kumiliki selalu terisi. Ada enam kamar penginapan biasa, ditambah lagi dua villa yang terpisah dari induk rumah, beserta garasi tertutup yang menjaga privacy mereka. Rata rata tamuku berasal dari luar kota, meski pula tak jarang warga kota disekitar sini saja. Ya, tak dapat kupungkiri bahwa aku sering menyesal telah menyediakan ruang bagi pasangan selingkuh yang berindehoy di kamar kamar penginapanku. Tapi kadang juga justru timbul keinginanku untuk mengetahui apa saja yang mereka lakukan di balik dinding kamar kamar itu. Banyak cerita yang lucu, dan banyak juga peristiwa menjengkelkan dari setiap tamu yang datang. Seorang lelaki keturunan Arab suatu kali tersandung jatuh dimuka pintu villa diujung timur, setelah terburu buru lari keluar . Ternyata dia menuju ke warung yang juga milikku, untuk membeli sebungkus kondom. Mungkin lupa membeli di apotik terdekat, atau mungkin pula tiba tiba teman kencannya meminta sarung pengaman sebelum bertempur. Aku hanya tertawa geli melihatnya.
Pernah juga kujumpai pasangan kencan yang bertengkar habis dan berakhir dengan keluarnya siperempuan dari halaman rumahku sendirian. Aku ikut seedih melihatnya. Kubayangkan perempuan itu adalah aku atau anak perempuanku sendiri. Harusnya aku juga sedih mendengar cekakak cekikik perempuan perempuan dibalik kamar kamar itu, sambil membayangkan dia adalah anak perempuanku. Tapi entah, sepertinya nuraniku mulai beku. Kebutuhan rumah tanggaku sekan akan menepikan rasa bersalah telah membuat perempuan perempuan itu melakukan yang seharusnya hanya dilakukan kepada suaminya. Beberapa perempuan tampak beberapa kali menjadi tamuku, dengan pasangan yang berbeda . Mungkin mereka perempuan panggilan. Tapi apa peduliku? Aku tak berhak menghentikan semua kegiatan mereka , profesi mereka. Apalagi mereka mendatangkan uang buatku.
Mula mula aku risih dengan tingkah laku mereka, maksudku tamu tamu yang hanya datang berdua, tanpa membawa tas besar. Sangat kentara bahwa mereka hanya membutuhkan kamar untuk berkencan, bukan bermalam oleh perjalanan jauh. Hatiku teriris dan ada semacam penolakan mendasar yang melarangku mengijinkan mereka menginap bersama. Tapi itu dulu. Tiga tahun yang lalu. Masih ada rasa mengganjal ketika mereka bermanja manja didepan meja resepsioniku.Apalagi jika mereka memesan kamar selama sepertiga hari, delapan jam. Hingga pernah kutulis dengan huruf dan tulisan besar.”Dilarang membawa perempuan kedalam kamar selain istri”. Setiap tamu kuperiksa KTPnya, kutanyai apakah mereka suami istri. Alhasil, dalam dua minggu penginapanku kosong melompong. Rupanya mereka enggan datang ke penginapan kami karena peraturan yang kubuat itu. Perlu waktu untuk menarik kembali tamu tamuku, selain dengan merobek peraturan seram yang kubuat itu, juga dengan sengaja membuka warung kopi di luar pagar dan menyediakan beberapa perempuan yang siap diajak berkencan di kamar kamarku.
Berat memang, tapi demi periuk nasi dan uang sekolah anak anakku , sementara suamiku telah meninggalkanku demi perempuan lain.
Lalu keadaan kembali seperti semula. Kamar tak pernah kosong. Tak pernah sepi oleh jerit dan erang perempuan perempuan yang sedang berakting di dalam kamar. Berakting demi kehidupan mereka sendiri yang tak kutahu persis apa latar belakangnya hingga mau menjalani pekerjaan ini.
Tak jarang aku menerima tamu lelaki separuh baya yang menggandeng gadis belia.
Juga sering siang hari kudapati tiba tiba semua kamar penuh, dan sore harinya telah terisi oleh tamu yang lainnya. Ini sungguh menguntungkan bagiku. Karena dengan begitu , pendapatanku semakin bertambah.
Pagi ini setelah menerima lembaran lembaran uang dari tamu yang nampaknya tergesa pulang tadi, aku berniat membersihkan kamar bernomer 15 tersebut. Si Ujang sudah dua hari ini pamit, anaknya di desa sakit. Tapi aku memang sudah biasa mengerjakan semua pekerjaan rumah, termasuk membereskan kamar kamar di penginapanku. Gemerincing kunci yang terombyok di saku dasterku yang terayun ayun terdengar bagai iringan bagi langkahku meniti tangga. Cukup terengah ketika aku sampai hingga undakan tertinggi. Kuhirup udara pagi Kaliurang. Mataku memandang puncak Merapi. Terhalang sedikit kabut namun tetap saja birunya mampu menawan setiap kali aku memandangnya. Aku mencari anak kunci yang pas dengan nomer kamar yang akan kubersihkan. Dan dengan susah payah, pintu terbuka meninggalkan derit panjang karena kurang pelumas. Segera kubuka jendela supaya hawa segar masuk kamar. Keadaan tampak berantakan. Dua handuk milik hotel terlempar di lantai. Demikian pula cover bed dan bantal, tampak berhamburan di ranjang berukuran king tersebut. Tak apa. Dengan cekatan aku memberesinya, mengganti sarung bantal dan membuka cover bed, menggantinya dengan yang baru. Ada bercak disitu. Aku paham, bercak apa itu. Terlalu sering aku menjumpainya di kamar kamar yang kubersihkan. Bau anyir khas dan rambut rambut kemaluan. Kadang si Ujang mengeluh tentang hal ini. Karena si tamu memang keterlaluan, meninggalkan kamar lengkap dengan bekas dan tapak tilas perbuatannya. Kadang sarung pengamanpun berserakan di kloset, masih lengkap dengan isinya. Tak jarang Ujang bercerita tentang peninggalan peninggalan tamu kami, seperti pakaian dalam yang sengaja dibuang di tempat sampah. Atau tissue tissue yang berserakan memenuhi lantai kamar. Aku kadang kesal dengan perilaku tamu yang demikian. Betapa dia telah benar benar tak memiliki rasa malu dan sengaja mensahkan bahwa penginapanku ini hanyalah tempat untuk melampiaskan nafsu saja.
Aku agak merasa terhina dengan pekerjaan ini, maksudku membersihkan seprei tempat mereka selesai bercinta. Untuk itu , dengan segera kuselesaikan pekerjaan ini. Bergegas aku melempar seprei tebal itu kedalam mesin cuci.
Sejuk hawa dingin masih menerpa wajahku pagi ini. Kuhirup jahe wangi sambil duduk santai di beranda rumah. Anakku yang terkecil, perempuan mengelendot manja dipangkuaku. Usianya 7 tahun. Mulutnya yang mengunyah permen sesekali bercerita tentang apa saja. Tentang ibu gurunya yang cantik, tentang teman teman sekolahnya yang menjahilinya, tentang mang Udin penjaga sekolahnya yang ganteng , dan masih banyak lagi. Sebenarnya pikiranku masih terfokus kepada si seprei yang berbercak dan segala macam isi temat sampah yang baru saja kubersihkan. Sambil kuusap kepala gadis kecilku, aku merasa berdosa telah memberinya nafkah dan kehidupan yang berasal dari kemaksiatanyang dilakukan banyak orang di penginapanku ini. Betapa aku sebenarnya tahu bahwa uang yang kudapatkan bukanlah uang halal. Benar, bahwa aku termasuk orang yang memberikan peluang dan fasilitas bagi para buaya darat dan perempuan jalanan untuk bertransaksi dan menjalankan aksinya disini. Tak itu saja, mungkin diantaranya adalah wanita terhormat dan lelaki terhormat yang bercengkerama dan bercinta secara agung disini. Secara agung ataulah secara murahan, tak ada bedanya. Aku jadi ngungun sendiri. Tiba tiba kulihat bening mata anak perempuanku dan aku merasa sangat bersalah, telah memberinya lingkungan dan pemandangan sehari hari yang tak layak baginya. Bagaimana jika nanti ia tumbuh remaja, apakah ia takkan terpengaruh dengan kondisi buruk ini? Aku juga tiba tiba takut adanya hukum karma. Kembali kuusap kepalanya. Kubelai bahunya. Kuciumi pipinya. Kurangkul dan kubopong ia kedalam pangkuanku. Ia tertawa kegirangan. Tapi sekonyong konyong ia meringis kesakitan.
“ Aduh Ma...sakit Maa...jangan dipegang....” jerit lirih anakku.
“ Apa yang sakit Nak?” sambil kupeluk anakku lebih dalam lagi.
“ Anu Maa....ehhh nggak papa kok, bener, nggak papa” dalih anakku sambil melorot dari pelukanku. Matanya tertunduk. Seperti menyimpan rahasia.
Aku segera tanggap, feelingku mengatakan ada yang tak beres dengan gadis kecilku ini. Segera kutangkap tubuh mungilnya. Kuraba bagian tubuhnya yang vital. Dan benar, ia menggelinjang kesakitan.
“ Kenapa sakit nak? Siapa yang nakal?” tanyaku memburu
“ Kata mang Ujang, nggak boleh ngomong ke siapa siapa Mah....”
“Jadi Mang Ujang yang melakukannya?” aku tak sabar mendengar jawabannya
Tanpa menjawab, anakku tampak semakin ketakutan. Berkali kali aku mendesaknya, dan ia tampak menggigil , tangisnya menjadi.
Ya Tuhan, jantungku hampir berhenti berdetak. Apa yang barusaja kutakutkan telah terjadi. Kuharap ini mimpi. Tapi tangis anakku semakin menyadarkanku bahwa ini benar terjadi. Ini bukan mimpi. Seperti malapetaka, aku merasa ini adalah ganjaran dari segala kesalahanku selama ini. Selintas kuingat mang Ujang yang tergopoh gopoh pamit pulang kampung dua hari yang lalu. Raut wajahnya memang agak mencurigakan, seperti menyimpan sesuatu. Anaknya sakit, alasannya waktu itu.
Dadaku bergemuruh. Laksana api yang berkobar, dendam amarahku memuncak. Segera kuraih gagang telepon. Ku pencet nomor hp mang Ujang. Tulalit. Kuulangi lagi hingga beberapa kali. Tetap tulalit. Lalu kupencet nomer emergency kepolisian. Ada jawaban. Tapi lidahku kelu. Aku tak mampu berbicara. Apa yang harus kulaporkan adalah aib buat diriku sendiri. Aku merasa inilah kutukan. Dari seberang telepon, masih kudengar sahutan suara halo halo. Tapi kututup gagang telepon dengan tangan yang kelu. Hati yang kelu.


Bpp, 8 Pebr 2006