Friday, March 24, 2006

DATUK BARJA

Entah mengapa malam tampak semakin kelam saja. Rembulan yang memang tak nampak, dan bintang gemintangpun tak muncul membuat cekam seperempat malam yang tersisa. Kekeh tawa Datuk Barja makin terasa sebagai gergaji besi yang mengiris lempengan malam. Menggiring awan awan hitam yang berarak menjauhi tempat kami bercakap saat ini.
Lonceng penjaga malam terdengar dua kali, pertanda ini jam dua pagi. Tapi memang mata kami tak sedikitpun mengantuk, paling tidak mataku sendiri. Juga dengan mata Datuk Barja yang berkilat kilat tertimpa lampu mercury. Entah dengan mata dua kawanku , Eddy dan Supri yang tengah rebah di tanah , tepatnya di papan memandang langit. Yang jelas, mereka masih sesekali menimpali pembicaraan atau tepatnya kotbah Datuk Barja .
Cerita tentang perawan yang diperkosa dan dibunuh di kampung sebelah masih menjadi topik pembicaraan hangat kami, sejak malam merambat tua tadi. Disini, dibentangan alam tepi laut , kami menggelar diskusi tak resmi hampir tiap malam. Ditemani sebungkus kacang kulit, dan tak pernah absen, sebotol dua botol whisky . Tak pernah ada yang benar benar mabuk diantara kami, para bujang lapuk dan bujang lokal ini. Hanya sekedar menghangatkan badan dan membuat pikiran agak melayang ringan sambil membahas suatu masalah atau topik yang sedang merebak hangat .
Kadang Supri membawa sebuah gitar tuanya, seperti malam ini. Dan sambil bersenandung lirih, kami sama menikam sunyi yang datang di malam hari.

Kupandang lagi langit yang tampak hitam berkabut. Kubayangkan wajah anak istriku berkelebat disana. Tersenyum manis. Ah, andaikan saja mereka tak pergi, tentu aku juga tak pernah berada disini. Kepergian mereka yang tergesa setahun yang lalu dikarenakan kecelakaan kereta api membuatku pergi dari kota kami. Terus berdiam di kota yang menyimpan banyak kenangan kami, membuat kepalaku hampir pecah. Setiap jalan adalah memori dan setiap tempat adalah siksaan untuk selalu mengingat kebersamaan kami yang hanya sesaat. Pasar, toko kelontong langganan, warung sate, warung soto, toko mainan, toko buku, bioskop, rumah sakit, dan masih banyak lagi tempat yang selalu kusinggahi bersama istriku tercinta, juga anak perempuan semata wayang kami yang saat itu baru berusia dua tahun, usia lucu lucunya.
Ah sudahlah. Mereka telah bahagia, pikirku. Dan aku juga telah ikhlas melepas semua ingatan itu. Menjadikannya kenangan manis dalam hidupku. Ini semua berkat dan jasa besar Datuk Barja dalam membimbingku dan menenangkanku menghadapi musibah besar setahun yang lalu. Sejak itulah, Datuk Barja telah kuanggap orang tua ku sendiri.

Kokok ayam jantan dari kejauhan tak menyurutkan kotbah Datuk Barja. Disela sela batuknya, kakek berusia lebih 70 tahun itu tetap bersemangat bercerita dan bicara apa saja. Nasehat nasehat baik dan kritik kritik pedas sering ia lontarkan pada siapa saja. Tapi gaya bicaranya yang kocak dan asli berlogat Banjar membuat kemi sering terpingkal pingkal. Sindiran sindiran halus dalam ia berpandir tak kurang tajam sebenarnya. Tapi ia memang lihai berbicara. Tak seorangpun merasa tersinggung atau marah oleh sindirannya. Contohnya Supri, yang malam ini hanya mesam mesem saat Datuk Barja menasehatinya supaya setia pada istrinya yang hamil tua di lain kota. Pasal ia suka mengganggu anak gadis orang, telah tersebar dimana mana. Dengan kata kata berbobot namun enak dicerna, kadang juga dengan istilah istilah khusus yang lucu beliau menjewer telinga Supri. Minggu minggu belakangan ini Suprilah yang selalu kami jadikan bulan bulanan . Maksudku dijadikan sasaran nesehat dan khotbah Datuk Barja. Entah kenapa, tapi sepertinya Datuk mulai melihat suatu tanda ketidakberesan yang serius terjadi pada Supri. Sejak gonjang ganjing rumah tangganya tercium oleh Datuk. Sejak banyak gossip mengenai kesukaannya memacari perawan perawan di camp tempatnya bekerja.
Tapi ya begitulah, Datuk memberika konseling gratis sering tak ditanggapi serius secara kentara oleh kami, utamanya Supri yang memang agak terlihat liar. Meski aku tahu, nasehat Datuk selalu meresap dan mengakar dilubuk sanubari siapa saja.
“ kita manusia, bukan binatang yang bebas membuntingi siapa saja ” kekehnya.
Dan Supri hanya cengar cengir, tak merasa sedang dinasehati.
Ya, begitulah Datuk dimata kami. Berwibawa namun tetap glenyengan, menetaskan berbagai kata kiasan yang bermakna dalam, dengan format sesederhana mungkin . Aku baru sadar, bahwa lulusan SMP seperti beliau tak mungkin berfilosofi tinggi dan berwawasan sedemikian luas, jika bukan karena pengalaman hidupnya yang beraneka ragam. Jalan berliku dan berkelok tajam telah dilaluinya di berbagai belahan bumi. Jurang maupun gunung , lembah maupun bukit, dasar laut maupun angkasa raya telah dijelajahinya. Tak ada kata putus asa dalam kamus hidupnya. Tak ada kesia siaan yang terselip dalam dompet hidupnya. Untuk itu kami benar benar kagum dengannya. Rasanya malam tak genap berlalu tanpa obrolan kami bersamanya. Paling sering kami melakukannya disini, tepi laut di kawasan Ruko Bandar . Sambil menatap langit, kami berbaring baring hanya beralaskan papan. Debur laut terasa sangat dekat di bawah kami. Tentu saja. Karena kami memang berbaring diatas laut. Seperti di atas galangan kapal atau dermaga. Siang hari hingga malam jam sebelas tadi, kafe kafe mungil disepanjangan anjungan ini bagai gula yang dirubung semut. Sangat laris manis. Pengunjungnya berasal dari berbagai kalangan. Dari yang elit hingga pelajar. Sungguh tempat yang indah dan asyik disini. Akupun kadang nongkrong disini disiang hari , jika pekerjaan sepi. Sambil memandang laut , menikmati secangkir kopi . Berteman debur dan ombak yang pecah di bebatuan , anganku melayang.

Tapi masih lebih asyik menikmati sketsa alam pada dini hari begini, tentu saja dengan Datuk Barja dan “kawan kawan malamku”. Dengan obrolan santai namun serius. Dan kami selalu pulang membawa kesan dari nasehat yang disampaikan Datuk Barja. Pendeknya, Datuk adalah orang tua kedua buat kami yang sama sama berada di perantauan ini. Sebenarnya bukan hanya Eddy dan Supri yang menganggapnya orang tua sendiri. Tapi masih banyak lagi. Ada beberapa kawan yang juga kadang bergabung mengobrol dengan kami disini. Dari mulai satpam pertokoan hingga pejabat teras .
Hanya kebetulan saja, beberapa malam ini kami berempatlah yang lebih sering intensif bertemu.
Obrolan malam ini kembali berkisar perempuan yang mati diperkosa dan mayatnya dibuang di sungai kecil utara kota. Agak bergidik kami membicarakannya. Apalagi Eddy membawa Koran yang memuat gambar mayat perempuan muda itu.
Bergantian kami mengulas dan membahas kira kira kronologis peristiwa sadis itu. Pelakunya belum juga tertangkap. Begitu juga dengan identitas mayat , belum terungkap. Keadaannya yang membusuk dan bengkak oleh rendaman air sungai menyebabkan polisi kesulitan melacak siapa dia sebenarnya. Sungguh sadis dan tak berhati nurani pembunuh itu. Sudah diperkosa, dibunuhnya pula. Pasti ia termasuk pembunuh berdarah dingin. Kami yang laki laki pun mengutuk keras perbuatan itu. Apalagi para perempuan.
Mungkin kami membayangkan bahwa yang terkena musibah itu adalah adik perempuan kami sendiri. Ah, mengerikan .
Anehnya, Datuk mempunyai pendapat sendiri mengenai peristiwa ini. Beliau dengan arifnya mengetengahkan fenomena perkosaan dari berbagai sisi. Bahkan analogi si pemerkosanyapun ia beberkan secara sangat subyektif. Aku hampir jengkel mendengarnya. Bagaimanapun pemerkosaan adalah perbuatan biadab yang jelas jelas menantang hukum dan agama. Pelanggaran hak asasi manusia.
Tapi bukan itu yang beliau sorot. Justru Datuk melihat sisi si pemerkosa sebagai sosok manusia lemah dan rapuh yang patut dikasihani. Betapa nafsu telah menghilangkan akal sehat dan budi pekerti. Benar juga,pikirku. Mungkin saja pelakunya adalah manusia yang hidup kurang kasih sayang dan perhatian. Kurang pendidikan atau bekal agama. Sungguh, dasar dari segala perilaku manusia adalah kedalaman pemahaman dan penerapan ilmu agama yang diajarkan sejak kita masih kecil. Beruntunglah aku mendapat kecukupan bekal pengetahuan alam akhirat yang cukup dari kedua orang tuaku. Ditambah lagi siraman rohani yang seimbang daripada kehidupan dunia yang kadang melenakan ini.
Datuk berbicara sangat dalam dan wibawanya nampak tersembur dari setiap kata katanya. Mimik mukanya sangat serius, tanpa guyonan seperti biasanya. Meskipun ia suka terkekeh sendiri, mungkin sambil membayangkan adegan perkosaan itu. Kami cukup tegang mendengar Datuk mendramatisir perasaan si pemerkosa pada saat ia bersembunyi disuatu tempat, setelah kejadian itu.
“ Datuk, kok Datuk tahu perasaan si pemerkosa? Apakah Datuk juga pernah memerkosa orang? “ Si Eddy berhasil memotong monolog Datuk yang sedang berperan sebagai pemerkosa, dengan pertanyaan konyolnya.
“ hush….! Kamu ini mau tahu saja” ujarku sambil mendelik pada Eddy.
Yang ditanya tak menjawab. Hanya sebentar berdiam sambil menatap mata kami satu persatu. Lalu tertawa terpingkal pingkal. Tergelak gelak. Bahunya berguncang keras. Suaranya sampai serak. Kami salah tingkah. Tak ikut tertawa salah, tapi ikut tertawapun janggal, karena tak tahu dimana lucunya.
Akhirnya kami hanya menunggu Datuk berhenti tertawa dan kembali berbicara. Beliau duduk bersila . Kami tak lagi berbaring. Tapi duduk bersila juga mengitarinya. Tiba tiba ia berdiri. Menatap laut. Seperti berpuisi ia mengucapkan syair syair indah tentang kehidupan. Tentang betapa ruginya menjadi seorang pecundang. Yang dikarenakan nafsu dan kebuasannya, telah merugikan orang lain. Tentang betapa memalukan menjadi pengecut yang bersembunyi setelah melakukan perbuatan jahat.
Datuk terbatuk batuk kecil, lalu melanjutkan nasehatnya dalam bentuk senandung. Kali ini ia sambil memegang bahu kami satu persatu. Bakat teater dan berkeseniannya tampak kental terlihat. Aku merasa ada sesuatu yang istimewa malam ini. Entah apa itu. Mungkin aura Datuk benar benar menguar. Atau semacam energi yang dipancarkannya telah menyelubungi pertemuan kami malam ini. Aku merinding.
Tunggu, sebentar. Kulihat salah satu temanku bersikap aneh. Supri tiba tiba menangis perlahan. Sesenggukan. Lalu bertambah keras dan nyaring saat Datuk memegang kedua pundaknya sambil berseru” lepaskan, lepaskan!” .
Aku masih tak sadar dengan apa yang terjadi , begitupun Eddy, tampak linglung memandang Datuk yang kini telah berhadap hadapan dengan Supri.
Tangisan Supri bertambah nyaring, seakan merobek langit. Melengking . Kurasakan ada sembilu yang sedang menancap di sekujur hatinya. Dan sekilas kulihat Datuk sedang mencabut sembilu itu perlahan, dengan nasehat yang terus dibisikkannya ke telinga Supri. Berdebum tubuh Supri limbung dan jatuh ke bumi sebelum ia seperti kejang sambil terus menangis , meneriakkan nama Gusti Allah. Kurasa ia hanya ekstase oleh kata kata Datuk. Tapi ternyata tidak. Supri sedang menghadapi pengadilan hati. Pengadilan tertinggi dimuka bumi, yakni pengadilan oleh diri sendiri. Penghakiman oleh batin dan hati nurani sendiri. Bukan oleh cecaran pertanyaan polisi , hakim atau jaksa.
“ Ya Allah….Ya Robbi…..ampuni hambamu” begitu kalimat yang diulang ulangnya meski agak kurang jelas kudengar , terkubur oleh dentum ombak.
Datuk mengajak aku dan Eddy yang masih terbengong bengong untuk menghibur Supri yang belum berhenti mengerang sambil berguling guling di lantai.
“ Ia lah pemerkosa dan pembunuh perempuan yang ada di Koran itu” landai Datuk berbicara pada kami berdua.
Serentak aku dan Eddy saling berpandangan. Jadi Suprilah pelakunya?. Sunguh aku tak menyangka. Tapi darimana Datuk tahu? Apakah beliau mempunyai ilmu tertentu atau firasat tingkat tinggi, hingga bisa mendeteksi perilaku Supri yang kuanggap sebagai pelaku kriminal professional .
Seperti mengerti, Datuk hanya mengangguk angguk.
Dan semburat jingga tak terasa telah datang menandakan hadirnya ufuk diujung sana.
Seperti sepasang patung , kini aku dan Eddy menatap bingung pada beberapa polisi yang tiba tiba saja berdatangan , entah dari arah mana, memborgol tangan Supri.


Balikpapan, always my illusion on Café Bandar
9 Pebr 06, 03.10 wita