Friday, March 24, 2006

SEPANJANG PERJALANAN PULANG

SELALU. Hanya tersisa waktu buat sekadar bertanya “apa kabarmu ?” atau “lagi di mana?” pada saat melakukan perjalanan pulang. Menuju rumah. Menuju anak istrinya.
Itu pun terkadang lupa. Atau terkesan dipaksakan. Sekadar menjalin komunikasi yang semakin jarang dilakukan. Padahal dulu, keadaan sangat berbeda. Segala sesuatu menjadi berubah drastis, tiba tiba saja sekarang.
Aku menghela napas panjang. Kuluruskan kaki, menjulur hingga menyentuh kaki Frans yang duduk di depanku. Tanganku masih memencet-mencet hand phone. Ingin hati mengirim sms atau bahkan menelepon lelaki itu. Tapi ragu ragu. Bukan hanya takut tak ada balasan atau justru teleponnya akan dimatikan. Tapi demi tatapan mata Frans yang sedari tadi memandangku mesra. Dia juga lelaki, batinku. Sudah sebulan ini Frans mendekatiku. Sangat intensif. Meski dia tahu aku sedang berpacaran dengan lelaki yang sejak tadi menari di benakku. Tapi mengapa aku masih saja tak bisa menerima cinta bujang mapan ini. Dan justru aku semakin tergila gila dengan pria beranak dua itu. Sialan!
Biasanya agak sore, dia menyapaku. Tapi sudah satu jam aku menunggu, tak ada juga sms atau teleponnya. Kini matahari hampir terbenam. Kecil kemungkinan ia menghubungiku. Kesal!
Kuambil jaket dan berganti celana panjang. Dengan sepeda motor aku akan mengitari rumah lelaki itu. Akan kutampakkan bahwa aku masih hidup dan bisa melakukan hal-hal nekad untuk melampiaskan sakit hatiku. Sebenarnya bukan sakit hati sih. Tapi aku merasa diremehkan dengan sikapnya akhir akhir ini.
Di kantin kantornya, aku pernah diajak bicara baik-baik. Bahwa hubungan kami tak bisa seperti dulu lagi. Maksudnya intensitas dan kuantitas gaya pacaran kami. Kalau dulu model jaran kepang, sekarang harus berganti srimpi. Aku manggut-manggut saja waktu itu. Berusaha mengerti keadaaanya. Aku harus menjaga kerahasiaan hubungan kami serapat-rapatnya. Kemarin, smsku terbaca oleh anak sulungnya. Dan itu membuatnya tertekan. Ia baru merasa bersalah pada keluarganya. Bayangkan, setelah berbulan-bulan, baru ini ia merasa sangat takut ketahuan. Baginya keluarganya tetap nomer satu, terutama anak-anaknya. Ya, aku bisa mengerti alasan itu. Tapi mengapa aku sangat kehilangan ketika tiba-tiba ia seperti lenyap ditelan bumi. Berhari-hari tanpa pertemuan. Bahkan menyapaku pun hanya di sisa waktu kerjanya saja. Aku toh tetap menuruti permintaannya untuk tidak kirim sms terlebih dulu, apalagi menelepon. Tabu!.
Jarak usia kami lumayan jauh. Dia 15 tahun di atasku. Sebenarnya biasa saja bagiku, tak ada yang luar biasa. Aku bahkan sangat nyaman berhubungan dengan dia. Bisa bersikap sangat dewasa dan kebapakan. Tidak seperti Frans yang usianya justru 5 tahun lebih muda dariku. Hari-hari kami sangat manis, meski selalu berliku.
Padahal aku tahu, istrinya masih cantik dan energik. Suka tampil di pertemuan ini itu. Termasuk orang penting di kota kami yang kecil ini. Sebaliknya dengan diriku yang biasa-biasa saja. Tak merasa punya kelebihan apa-apa. Barangkali hanya perhatianku yang dirasakannya hangat dan cintaku yang memanggang kelelakiannya.
Aku masih ingat, kami sering pergi ke ujung danau di sore hari. Melepas lelah sehari dengan bercerita-cerita ringan di mobilnya. Atau berperahu mengitari danau, hingga senja menenggelamkan matahari.
Pernah juga kami menginap sehari di apartemanku. Tentu saja ia bilang pada istrinya rapat di luar kota. Beres. Itu pertama kalinya aku bercinta dengannya. Sungguh indah malam itu. Gorden kubuka lebar, dan kuijinkan sinar rembulan menerobos, menyaksikan peraduan kami yang penuh wangi cinta. Setelah itu, kami bertambah mabuk kepayang.
Saling merasa tak terpisahkan lagi. Sunguh berat untuk tidak bertemu dengannya sehari saja. Biasanya ia yang mendatangiku di kantor. Atau aku yang sembunyi-sembunyi mendatangi ke kantornya. Mengobrol di kantin sambil menikmati sepiring kecil pisang goreng dan secangkir teh manis. Kami bukan golongan pasangan yang hanya menginginkan kepuasan lahir saja dengan berkencan lalu saling melupakan. Tidak. Di hati kami tumbuh cinta. Meski ini sangat menyiksa kami, Terutama aku untuk saat ini.
Bagaimana tidak. Ingin sekali aku mengulang semua kemesraan kami. Canda-canda kami, tawaria dan bahkan tangis bahagia kami. Oh ya tak kusangka, dia adalah lelaki yang perasaannya sangat halus. Pernah suatu ketika, selesai kami bercinta ia menangis di pelukanku. Menangis. Benar-benar menangis dan mengeluarkan airmata. Ia berkata bahwa baru kali ini ia menemukan perempuan sepertiku yang bisa sempurna mengerti dia. Aku jadi terharu dan ikut menangis di pelukannya. Tangis bahagia, tentunya.
Jadi, wajar saja bukan jika sekarang aku gundah-gulana, sekaligus kecewa dengan sikapnya yang berubah drastis. Ada terbit di hatiku rasa cemburu kepada keluarganya. Tapi segera kutepis. Aku tak layak mencemburui keluarganya. Hubungannya dengan istrinya telah lama rusak. Hanya demi anak-anaknya, ia mempertahankan “perkawinan batu”nya.
Sore sudah di ambang petang. Sisa hujan masih menebarkan dingin. Sedikit lagi aku akan sampai di komplek perumahannya. Aku perkirakan dia juga baru saja sampai di rumah. Ponselku berbunyi.
“Ya, hallo…”
“Hai, yang…”
Ternyata dia.
“Lama sekali kutunggu kabarmu, Mas.”
“Ya, maaf yang, tadi rapat seharian. Ini sudah di perjalanan pulang. Kamu di mana?”
“Eghhhh… aku mau ke rumah teman, Mas.” Tiba-tiba aku malu mengatakan bahwa aku sedang menuju rumahnya.
“Okey, yang… aku sudah dekat rumah ini. Besok kuhubungi lagi ya.”
“Ya , ya Mas… hati-hati ya, sampai besok.“
Segera aku memutar haluan. Kupacu motorku. Jangan sampai nanti kami bertemu di komplek ini. Meski begitu, hatiku setengah bersungut-sungut. Lagi-lagi di perjalanan pulang. Rasanya sungguh tak adil, aku yang hanya menunggu beritanya seharian. Tapi kucerna kembali berbagai alasannya mengapa kami mesti menahan dan menangguhkan hubungan ini. Demi masa depan kami sendiri, katanya. Demi kelanjutan yang berskala panjang. Ia ingin meminangku suatu saat nanti. Terus terang aku tak berani mengharap itu benar benar terjadi. Barangkali lebih baik begini sajalah. Yang penting kami sama sama menikmati dan membutuhkan. Saling mencurahkan kasih sayang.
Ponselku berbunyi lagi. Kali ini sms dari Frans. Ia mengajakku makan malam. Ah, cowok satu itu memang aneh. Sudah berkali-kali kukatakan aku punya kekasih. Tetap saja nekad mendekatiku dengan berbagai cara. Aku minta kami berteman saja. Dia setuju. Tapi sikapnya tetap sama: selalu mengandaikan aku sebagai pacarnya. Jika aku mulai marah akan perhatiannya yang keterlaluan, ia segera meminta maaf dan memohon-mohon supaya aku mau menerimanya kembali sebagai teman. Lucu! Baru ini aku menemukan cowok model begini. Padahal tampangnya lumayan. Pekerjaannya juga bagus.Tapi entah kenapa aku tak bisa jatuh cinta padanya.
Aku setuju dengan ajakan makan malamnya. Toh apa salahnya. Hanya makan malam. Dia tak akan berani macam-macam padaku. Seminggu lalu ia “ketiban malu”, saat setangkai bunga mawar yang ia berikan padaku waktu makan malam, kutolak. Aku tak suka diperlakukan seperti itu, kataku. Bukannya marah atau tersinggung, ia malah minta maaf atas kelancangannya. Aku tertawa dalam hati. Sungguh aneh cowok satu ini!
Malam ini kami duduk berhadapan di kafé termegah di kota kami. Piring-piring telah kosong. Hanya tersisa beberapa teguk Tequila di depanku. Ini gelas ketiga setelah sebelumnya juga kupesan Margarita dan Borneo sunset. Anganku masih melayang ke lelaki pujaanku. Rindu. Sangat rindu. Kuingat beberapa waktu lalu aku dan dia juga duduk di sini, menikmati senja yang indah. Ah, aku begitu terbuai dengan kenangan itu. Udara begitu pengap kurasakan, penuh dengan bayangannya.
“Jam berapa kita pulang, Nan? “ hati-hati Frans bertanya.
“Sejam lagi, ya. Aku masih ingin menikmati life musik ini,” jawabku sekenanya. Dan memang lagu-lagu berirama Latin begitu rancaknya dibawakan oleh grup band lokal. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tak terasa empat jam kami duduk di sini. Menghadap pantai yang tenang. Frans sudah kelihatan gusar. Sedari tadi aku memang malas bicara dengannya. Pikiranku justru terpusat kepada lelaki yang lain itu. Diantar oleh tetesan-tetesan minuman yang agak memabukkan. Aku tak menyalahkan Frans jika ia kesal karena sejak tadi tak kuhiraukan.
Tiba-tiba pandanganku tertumbuk pada bayangan tamu kafé yang baru saja datang. Sepasang lelaki dan perempuan. Tak salah lagi lelaki itu kekasihku. Ia datang berpelukan dengan seorang perempuan muda berbaju merah menyala. Aku yakin itu bukan istrinya. Dengan tertawa-tawa ia menyeret kursi tepat di sampingku. Rupanya ia tak melihatku. Remang lampu tentu merabunkan pandangannya. Jantungku terasa mau copot, berdetak tak beraturan. Gugup bercampur pilu. Marah dan kecewa. Semua bercampur-aduk.
Ternyata inilah alasan yang sebenarnya kenapa tiba-tiba ia menghilang dari peredaran. Mengapa harus keluarganya yang dijadikan alasan untuk menjauh dariku. Ingin aku melabraknya sekarang juga. Ingin kudamprat sepuas puasku. Mumpung aku sedikit mabuk.Tapi untung saja aku masih bisa bersabar dan putar akal. Frans rupanya memperhatikan perubahan wajah dan gelagat anehku.
“Kenapa Nan?” tanya Frans.
“Nggak papa kok, ayo kita pulang sekarang,” kataku sambil berdiri.
Kuseret kursi agak keras untuk menarik perhatian lelaki di sampingku itu. Aku bersandar di bahu Frans dengan mesra sambil kulingkarkan tanganku di pinggangnya. Jelas Frans kaget. Tapi bertambah kuat aku menggelayut manja di badannya yang tinggi besar itu.
Batinku berkata, “Rasakan! Rasakan ! Aku pun bisa berbuat sepertimu!”
Sayup seperti ada yang memanggilku dari arah belakangku. Suara lelaki itu. Aku bertambah angkuh berjalan, masih tetap menggandeng Frans.
Ponselku berbunyi, ketika aku sudah hampir sampai apartemenku. Rupanya telepon dari bekas kekasihku. Mulai detik tadi aku sudah menganggapnya bukan lagi kekasihku. Jadi kusebut saja bekas kekasih. Tak kuhiraukan dering telepon darinya. Barangkali sampai lebih sepuluh kali, ia mendengar lagu “Crazy” dari nada tungguku.Sengaja tak kuangkat dan tak kumatikan. Biar saja. Aku masih ngungun dengan peristiwa tadi. Tetapi kupikir-pikir, daripada bersakit-akit hati dengannya lebih baik kulupakan saja kisah cinta kami. Paling tidak, masih ada Frans yang dengan setia menungguku. Jadi, kenapa tidak?
Aku menawarkan Frans untuk menginap di apartemenku malam ini. Dengan keheranan dan kegirangan sekaligus ia mengiyakan. Setelah sebelumnya kukirim sms buat bekas kekasihku itu. Bunyinya begini, “aku sudah di perjalanan pulang. Hati-hati ya, sayang”. Sama seperti sms yang biasanya ia kirimkan padaku.
Sinar rembulan, lagi-lagi kuijinkan menerobos masuk kamarku malam ini. Aku dan Frans benar-benar menikmatinya. Ponselku terus bergetar di meja rias. Aku sudah menerangkan pada Frans tentang lelaki buaya itu. Dan aku memilih menjadi buaya betina juga malam ini. Dengan Frans, tentu saja.
Balikpapan, Desember 051