Friday, March 24, 2006

MBAKYU

Entah apa yang ada dibenakku saat ini. Aku masih merangkai rangkai kejadian demi kejadian yang yang telah lalu menimpaku. Sekejab bayangan seseorang muncul dan digantikan dengan bayangan yang lainya.
Sesaat alur dan setting peristiwa hidupku seperti slide film yang terus berputar di mataku. Tak sempat aku berhenti untuk menelaahnya. Atau sekedar jeda untuk kemudian menghentikannya. Terus saja berkejaran dengan waktu yang memburuku. Selintas tapi jelas, bayangan lelaki yang selama ini kupanggil dengan kakang berpadu dengan sosok hijau menakutkan yang sering mendatangiku di malam hari.
Biasanya aku tak tahan sampai disini. Begitu menakutkan . Seperti monster bayangan kakang hendak menelanku hidup hidup. Mengejarku dari sudut ke sudut tanpa memberi celah untukku ,meloloskan diri. Ruangan terasa sangat kotak. Pengab berdebu. Dan aku kepayahan berlari . Kakang semakin senang dengan permainan ini. Mendapatkanku sambil tertawa cekakakan. Tak menghiraukan aku yang histeris berteriak teriak kesetanan. Takutku menjadi jadi. Kukerahkan segala kekuatanku melawan kakang yang terus dengan berahi menggulati tubuhku. Sekuat tenaga aku melawan arus lelaki . Hingga aku tak berdaya lagi. Lemas dengan tubuh terkulai. Dan kakang semakin beringas menikmati tubuhku yang ambruk dilantai. Nafasku sesak. Dadaku berdegub dengan keras. Peluhku bercucuran.
“ mbakyu, mbakyu….bangun mbakyu…ayo bangun…..” suster Asih menggoyang goyang tubuhku yang seperti kejang dengan mulut menceracau.
Aku tak merasa tidur padahal. Aku hanya separuh sadar. Menekuri peristiwa demi peristiwa yang beruntun menimpaku.
Baiklah, akan kuceritakan mengapa aku berada di Rumah Sakit Jiwa ini. Setelah kematian ibuku , aku menemukan kakang yang semula kukenal baik dan taat beribadah . Ternyata ia sejenis monster pemakan bangkai yang mengenyangkan diri dengan mayat siapa saja. Cuh ! Aku jijik mengingatnya sebenarnya. Bahkan menyebut namanya pun aku tak sudi. Seakan empeduku pecah dan menyebar disegala penjuru aliran darah.
Bahkan dagingku rasa tersayat sayat bila mengenang segala peristiwa itu. Mual dan perih lambungku. Gelap mataku dan berputar putar dunia ini. Aduh, maafkan aku. Aku tak bisa menceritakannya sekarang. Aku tak sanggup.
“ Suster…suster….dimana kau? “
“ Ya mbak …..saya disini….”
“ aku pusing lagi Sih….mau muntah”
“ sebentar saya ambilkan obatnya , Mbak”
“ cepatttttt sus…..aku pusing….kedinginan. Ohh…nafasku sesak sus. Panggilkan dokter. Cepaaaat. Aku butuh oksigen. Cepaaattt susss”
“ Iya Mbakyu….”
Dan hari hari terus berlalu dengan peristiwa yang hampir sama. Aku selalu butuh perawat. Butuh obat. Butuh suntikan.
Aku anti lelaki. Tak kuijinkan lelaki manapun mendekatiku. Akan kusir dengan ganasnya. Pernah pak Ali, tukang sapu rumah sakit kuserang dengan kursi dan apa saja, ketika ia masuk kamarku hendak menyapu. Aku begitu ketakutan dan menganggap semua lelaki adalah sejenis kakang.
Tak ada lelaki yang benar benar baik dimataku. Semua bajingan tengik yang tak lebih baik derajatnya daripada anjing kudisan yang selalu mengendus endus sampah dan tai.
Selalu ingin mencari dan mendapatkan kemudian membuangnya disembarang tempat saat puas. Yang menghisap madu sehabis habisnya lalu berlalu tanpa merasa bersalah. Seakan perempuan adalah konsumsi renyah yang jika habis gurihnya , boleh dilempar kemana saja. Tak mengertikah bahwa perempuan, sejelek apapun juga ingin merasa dihargai. Di eman. Bahkan kalau bisa dicintai.
Berbicara mengenai cinta, nafasku jadi sesak kembali. Adrenalinku terasa naik.
Cinta. Ya, cinta. Seperti kakang yang dulu selalu mengurungku di petak sempit dengan dalih cinta. Ia mencintaiku, katanya. Dengan segenap hatinya. Hahh!! Taik kucing!! Ia hanya butuh tubuhku sebenarnya. Apa arti cinta bagi dia? Hanya seonggok daging yang selalu mengeluarkan cairan kental berwarna putih . Lalu semuanya buyar. Ia kembali mengurungku selama berhari hari tanpa udara bebas. Ia menjadikanku ikan dalam akuriumnya. Dilarang keluar rumah, dilarang menerima tamu, dilarang berbicara dengan siapa saja,dilarang menulis, dilarang memasak, dilarang punya anak. Aku tak lebih dari kucing angora yang dikandang dalam jeruji besi. Ketika ia datang, entah dari mana, ia akan bercinta sepuas puasnya denganku. Berkali kali dalam satu malam hingga aku kelelahan. Hingga bertahun tahun ini terjadi.Dan ia mengatas namakan cinta? Huhhh!!
Herannya, kenapa dulu aku tak menolaknya. Mengapa diam saja ketika ia datang dan pergi sekehendak hati.
Rumah kontrakanku yang kecil dan sempit seolah telah cukup bagiku melindungiku dari hujan dan panas. Dan roti atau makanan instant yang selalu dia bawakan seakan mengenyangkanku. Tak ada perlawanan. Aku terbius oleh kata kata manisnya. Ia katakan akulah wanita tercantik di dunia. Akulah ratu yang dipungut dari tempat sampah, katanya. Dan seperti tersihir, aku tak marah ketika ia menyumpah nyumpahiku dengan kata kata kotor setelah aku berbuat satu kesalahan. Aku cukup tahu diri. Aku memang perempuan lemah tak berdaya. Sejak kematian ibuku, aku memang terdampar di Panti Asuhan. Aku tak punya saudara kandung dan tak pernah mengenal ayahku. Lima belas tahun , sejak usia delapan tahun aku berkutat di panti asuhan kampung pinggiran kotaku yang kecil.Jadi aku sudah terbiasa dengan penderitaan.Sudah resap dengan segala kesusahan.
Kukira datangnya kakang, akan membawa kebahagiaan dalam hidupku. Ternyata hanya sesaat. Waktu itu aku sangat menikmati hubungan kami. Tapi lama kelamaan aku jenuh dengan pola kurung mengurung itu. Aku ingin bebas. Merdeka dialam luar. Tapi kakang bertambah marah dan ganas menyiksaku. Setiap ia datang di malam hari, aku hanya melihatnya sebagai monster pemangsa kelamin yang menakutkan.Seperti bayangan besar yang mengganyang tubuhku dengan rakusnya lalu pergi setelah puas melihatku bersimbah air mata dan kepayahan meladeninya.
Ia tak pernah lagi bertanya tentang apa yang kuinginkan dan kupikirkan.
Tidak. Ia hanya datang untuk melihatku tersiksa. Dan tubuhnya yang kian tambun berlalu dengan derai tawa meninggalkanku di jeruju besi. Menguncinya dari luar dan datang lagi sewaktu waktu. Aku menganggap seekor kucing budukpun lebih beruntung dari nasibku. Karena ia masih bisa berjalan kesana kemari , mencari makanan dan teman.

Tapi pagi ini disaat hujan deras mengguyur kota, dari balik jeruji lainnya, yaitu RS Jiwa ini , aku melihatmu datang . Sudah tiga kali aku melihatmu menghampiriku. Menanyakan ini dan itu, atau sekedar bercanda denganku.
Aku suka gayamu tertawa sambil menyilangkan kakimu yang jenjang itu. Aku juga suka suaramu yang berat dan dalam, seperti juga tatapan matamu. Aku tahu bahwa kau adalah keluarga dari teman sekamarku, si Minah . Tapi sejak pertemuan kedua, ternyata kita sama sama menunjukkan ketertarikan. Benarkah itu?
Andaikan saja aku bisa berkata jujur , ada sesuatu yang ganjil dari tatap matamu setiap kali kau memandangku. Entah apa itu. Mungkin saja itu binar bintang atau pijar rembulan yang merasuk dalam kilat matamu.
Ku menikmati setiap kilatannya yang menyambar sedikit demi sedikit hatiku yang sedang membatu. Dan dari lubuk tersuci, kudengarkan ada yang meleleh dari gumpalan batu itu. Semoga saja benar bahwa kaupun sedang merasakan hal yang sama.
“ Mbakyu sudah makan?” begitu selalu kau membuka percakapan denganku
Tentu saja aku menggeleng, meski perutku sudah kenyang. Kau lalu mengajakku makan ke kantin rumah sakit ini. Atau jika kau sedang kebetulan membawakan makanan buat si Minah, kau akan membagi makanan itu denganku.
Aku suka tersipu sipu, pura pura malu. Sungguh ini mengasyikkan. Dibanding kakang, engkau memang beda. Sama sekali berbeda. Tapi aku suka. Sangat suka. Mungkin aku benar benar sudah gila.Tapi aku tak perduli lagi dengan status gila atau tidak. Toh aku sudah berada di RS Jiwa, tempat orang orang gila berkumpul, meski taraf kegilaan kami berbeda beda.
Diantara penghuni RS Jiwa ini, akulah yang paling cantik dan muda. Umurku saat ini 25 tahun. Kalau aku berdandan dan berpakaian baik, kata orang aku masih nampak seperti gadis berumur 17 tahun.
Tentu saja. Di tempat ini aku tak memikirkan apa apa. Tak perlu ketakutan seperti sebelum aku tinggal disini. Hanya kadang ada saat saat ingatanku tak bisa berkompromi dengan segala sesuatu. Tiba tiba saja aku seperti kesetanan atau kesurupan ketika bayangan kakang muncul mengejarku. Aku terkepung oleh ketakutan luar biasa . Menjeratku. Menghimpitku hingga nadiku serasa beku dan nafasku terengah engah tanpa sebab. Seperti berlari aku mencari perlindungan entah pada siapa. Teriakanku pilu, kata Asih, suster disini yang terakrab denganku. Melengking lengking . Meledakkan apa saja yang ada dalam otakku yang telah terkotorkan oleh kejadian kejadian masa lalu.
Biasanya sebilah jarum berisi cairan penenang yang bisa meredakan amukku. Itupun tidak dalam hitungan detik,melainkan hingga beberapa menit, barulah aku bisa diam dan tenang.
Keadaan ini akan bertambah parah jika kakang tiba tiba muncul atau menghubungiku lewat telpon. Setahuku ia sudah dilarang oleh dokter dan paramedis disini untuk menemuiku atau menghubungiku. Tapi dasar kakang!. Ia sangat suka melihatku tersiksa dan sakau karena dia. Aku tahu ia akan tertawa senang dalam hatinya yang busuk itu melihatku menggelinjang gelinjang dalam pelukan suster yang meredam amukku padanya.
Aneh. Baru disinilah aku berani melawan lelaki biadab itu. Berani menatap tajam pada matanya.Berani memakinya. Berani menendangnya. Berani meludahinya. Berani mencakarinya. Bahkan terakhir kali kunjungannya kesini, aku berniat membunuhnya. Secara spontan aku melemparnya dengan kursi kayu kearah kepalanya yang botak itu. Sayangnya ia bisa mengelak. Padahal aku sudah membayangkan betapa nikmatnya melihat ia sempoyongan berdarah darah atau ambruk tersungkur dan mati . Ketika aku membabi buta mengejarnya, dan beberapa perawat laki laki menahan laju emosiku , kulihat dia diam diam tersenyum puas. Ah, dasar lelaki tengik. Lelaki tak tahu adat !. Buaya darat !. Bangsat busuk!. Bajingan keparat! Kurang ajar sekali dia mempermainkan hidupku ini. Aduh , nafasku terasa sesak lagi. Kepalaku pusing berdenyut . Mataku berkunang kunang. Mual. Sangat mual. Tanganku mulai bergerak tak beraturan. Ingin meninju siapa saja yang didekatku. Tapi lemas. Ahhh badanku tiba tiba lemah tak berdaya. Nafasku seakan mau berhenti. Aku terkulai layu kini dipelukmu.
Ya, dipelukmu!
Entah bagaimana asalnya aku bisa berada dipelukanmu saat ini. Oh ya, aku ingat . Aku barusaja bercerita banyak tentang kakang kepadamu. Dan seperti biasa, aku lalu “ kambuh” saat ingatanku melambung lambung tentang dia.
Ajaib. Kali ini aku tak memerlukan zat penenang itu . Tak sempat suster menyuntikkan cairan penghanyut emosi itu seperti biasanya, aku sudah terkendali olehmu. Hanya kebetulan kau ada disisiku dan memelukku , mengelus kepalaku seperti ibu yang mengelus kepala anaknya. Lalu aku pasrah dan luluh , bagaikan tunduk pada nasehatmu yang menyuruhku bersabar dan bertawakal. Sama sekali aku tak memberontak dan mengamuk seperti biasa. Aneh. Sungguh ini tak biasanya. Kemajuan yang luar biasa,kata suster Asih.

“Sin, sejak saat itu. Aku merasa kau adalah bagian dari hidupku. Tak ada harapan yang melebihi untuk bisa hidup bersamamu. Tapi ini mustahil. Kau perempuan, sepertiku. Parahnya lagi, kau punya suami. Punya anak. Punya masa depan yang baik. Sedang aku, si ‘gila”yang menderita sepanjang hidup. Karena itu , untuk menghindari penderitaan yang lebih dalam lagi, aku memutuskan untuk mengakhiri penderitaan ini. Maafkanlah aku jika telah mengganggumu selama ini. Hingga kau menjadi ketakutan bertemu denganku. Tapi ketidak datanganmu selama sebulan ini sungguh menyiksaku. Aku rindu pelukanmu yang menentramkanku itu. Aku ingin kau peluk, seperti pertama kali kau memelukku.
Sin, selamat tinggal. Kau tetap abadi di hatiku, meski kau tak tahu apa yang telah berkecamuk di hatiku, mulai saat itu. Aku begitu malu mengakuinya.Karena aku sendiri masih terlalu asing dengan perasaan aneh yang menyergapku , bersamamu. Aku seperti mimpi. Sama seperti aku memutuskan untuk pergi dengan cara ini”

Surat mbakyu ditemukan diatas meja.Berceceran darah. Seperti jasadnya yang membeku dengan senyum. Pergelangan tangannya menganga. Sebilah silet telah menyelesaikan penderitaannya , diperkirakan menjelang subuh. Setelah cintanya yang ganjil dengan sesama perempuan yang kerap mengunjunginya tak tersampaikan.


Pebruari 2006