Thursday, April 08, 2004

CINTA SURTI


Surti menelan ludah , tenggorokannya membasah. Matanya nanar menatap langit langit kamarnya yang terbuat dari anyaman bamboo. Kusam dan hampir koyak termakan waktu. Bahkan jika ada tikus berlarian di atasnya, turunlah serpihan serpihan kecilnya mengotori lantai atau bahkan membuat mata Surti kelilipan.
Tapi Surti sudah terbiasa , dan tak pernah mengeluh.
Sama seperti pagi ini , ketika gerimis menghadirkan segenap gigil yang nyaris meremukkan tulang, Surti juga tak mengeluh sedikitpun.
Tidurnya yang tak nyenyak semalam menyisakan kantuk yang menggayut di kedua pelupuk matanya yang sayu. Tubuh kurusnya kembali beringsut meringkuk di balik selimut tua yang kumal . Dilipatnya kedua tangannya meyilang di dadanya ,sambil menahan dingin, dia mendesis menyebut nama seseorang.
Ya, dengan lirih nama itu dia sebutkan dengan sepenuh perasaan, sepenuh hati, sepenuh cinta , sepenuh kerinduan. Nama yang telah bertahun tahun menyekapnya dalam penderitaan panjang , penantian yang sia sia .
Bulir bulir airmata Surti mengalir tanpa terasa , seiring ingatannya pada lelaki yang pernah mencintainya sekaligus dicintainya . Cinta yang sesungguhnya . Cinta yang lebih murni dari cinta pertama , dan lebih suci dari cinta Rama dan Shinta. Cinta yang membuncah di usia kepala empat . Ya, cinta kedua bagi Surti dan Karno , nama lelaki itu.
Bibir Surti bergetar menahan isaknya yang semakin lama tak bisa disembunyikannya, dadanya berguncang hebat, dan akhirnya tangisnya meledak di pagi senyap itu. Padahal Surti sebenarnya hanya ingin menangis perlahan lahan saja ,sambil memejamkan mata, tak perlu bersedu sedan seperti ini . Maka diambilnya bantal dan ditutupkannya ke wajah ayunya . Dipuaskannya tangisnya meledak ledak , seperti air bah yang meluap dari sebuah tanggul yang jebol . Kerinduan yang sekian lama mendera setiap mimpinya seakan pecah seketika , dan mulai menggenangi khayalannya tentang kenangan manis bersama Karno , setahun yang lalu. Kisah percintaan yang aneh dan hampir tak masuk akal . benar benar Surti tak habis berpikir , mengapa harus dia yang terpilih untuk menjalani kenyataan itu.
Perjumpaanya yang pertama dengan Karno terjadi di suatu senja yang muram di balik bukit Sempu , di ladang milik juragan Trisno. Tak ada yang istimewa dari perjumpaan itu, hanya senyuman manis Surti terus menari di benak Kano yang beranak tiga. Begitu juga lengan kekar Karno yang memapah Surti ketika terpeleset di pematang sawah , masih terasa hingga keesokan harinya oleh Surti yang beranak dua.
Hanya mereka berdua saat itu , diantara pegunungan yang dingin dan harum tanah sehabis hujan .
Diam diam keduanya memendam rasa , saling memandang dalam setiap kesempatan bertemu . Entah angin apa juga yang membuat mereka berangan angan untuk selalu bertemu , meski telah sama sama berkeluarga . Gila !!!
Lalu Karno mulai memberanikan medekati Surti perlahan ketika Toro ,suami Surti pergi kekota . Seperti gayung yang bersambut, Surtipun seperti tersihir oleh pesona bapak beranak tiga itu.
Dan kisah percintaan mereka yang teramat rahasia itu terus terbina selama beberapa waktu, tanpa ada yang mengetahuinya. Karno tetap hidup rukun dengan istrinya , demikian pula Surti tetap “mengabdi dan setia “ kepada Torro .
Dalam beberapa hari sekali mereka bertemu dibalik bukit untuk bersawah . dan bila ada kesempatan beduaan, mereka akan berdua duduk dibawah rindang pohon waru sambil melepas penat , mereka bercengkerama , merajut benang benang asmara .
Walau hanya bisa saling bertemu, mereka sudah merasa lega . Karena cinta mereka terlarang , tak ada kesepakatan untuk melangkah lebih jauh , ataupun berbuat hal hal yang dilarang agama.
Hanya cinta…..suci dan tak ternoda,meski pada kenyataanya sendiri cinta itu telah menodai pernikahannya ,kesetiannya pada masing masing pasangannya.
Tapi mereka seolah telah buta dan lupa bahwa mereka tak mungkin bersatu. Hari hari yang ada selalu biru dan mewangi , penuh bunga berwarna warni . Mereka dimabuk asmara . Tanpa seorang yang lain mengetahuinya . Begitu pandai mereka menyembunyikannya dari dunia sekeliling . Sehari saja Surti tak betemu Karno, seakan langit tak berwarna.
Hujan gerimis masih merinai di pegunungan biru yang jauh dari hingar bingar kota itu. Rumah mungil surti semakin dingin dan sepi , semenjak anak anak surti beranjak dewasa dan merantau ke kota. Tinggallah Surti bersama Toro berdua menghabiskan sisa hidupnya di rumah tua itu. Apalagi semenjak Surti sakit kangker paru paru enam bulan yang lalu , rumah itu semakin terlihat gersang dan hampa. Sesekali Surti bangkit dari tidurnya untuk memasak ala kadarnya atau membuatkan kopi bagi suaminya .
Tapi lebih banyak hari hari Surti dihabiskannya di pembaringannya . Sendiri . Tanpa suami yang menunggui dan merawatnya . Toro lebih asyik dan betah nongkrong meramal nomor buntut diwarung kopi pojok desa. Terkadang dari pagi hingga malam Toro lupa pulang ,tak diingatnya istrinya yang mengerang sakit di rumah. Dan surti tak pernah mengeluh .
Surti bahkan kadang lebih suka jika suaminya tak berada di rumah , daripada di rumah hanya untuk marah dan berkata kata kasar pada dirinya yang tak berdaya.
Terkadang jika sakit yang teramat sangat menderanya , selain berdzikir, selalu disebutnya nama Karno , lirih lirih . dan secara ajaib, nama itu memberikan tenaga bagi Surti untuk mengatasi sakitnya . Ya, nama Karno sudah menjadi semacam mantera .
Dan Surti tak bosan bosan menyebut nama itu , dengan sepenuh jiwa , sepenuh cinta.
Sayup terdengar adzan magrib berkumandang di surau desa, menyerukan ajakan untuk sejenak menghadap yang Kuasa. Petang yang perlahan menyelimuti paparan pegunungan menghadirkan rasa sedih yang tak terkira di hati Karno yang senja itu masih menyelesaikan pekerjaannya diladang. Bergegas dia kemasi peralatannya dan setengah berlari dia beranjak pulang.
Sehari ini pikirannya hanya tertuju pada Surti, kekasih nya tercinta . Berbagai kenangan bersama , romansa yang teramat indah melintas di angannya. Tempat tempat yang biasa disinggahi , atau tempat pertemuan rahasia . Tiba tiba dia ingin kesana dan mengulang kembali semua perjalanan bersama Surti . Duduk berdua bercanda gembira , melepas rindu yang terpenjara . Duh…Karno sungguh tak bisa menahan keinginannya untuk bertemu wanita pujaannya itu. Sebenarnya dua minggu yang lalu, dia bersama istrinya telah menengok Surti , sebagai tetangga yang baik .
Sejak Surti terkena penyakitnya itu , otomatis mereka hampir tak pernah bertemu .
Jelas takmungkin Surti untuk keluar rumah mengerjakan ladangnya yang juga bersebelahan dengan ladang Karno. Demikian juga sama mustahilnya karno untuk menyambangi rumah Surti , meski hanya untuk sesaat menengok,melepas kangen.
Namun hebatnya, cinta antara keduanya semakin berkobar , menyala ,membara seperti api yang dihembus angin sepoi . Benar benar Karno tulus menyayangi Surti apa adanya , tak memandang penyakit yang dideritanya. Apalagi Surti, ditengah sakitnya , selalu beharap Karno ada disisinya , menemani dan menghibur . Hal yang rasanya mustahil .
Demikianlah percintaan mereka sampai detik itu ,tak seorang lainpun mengetahuinya .
Telalu dalam mereka menyembunyikan , bahkan oleh orang terdekat mereka sekalipun.
Rahasia dan mendalam , sedalam cinta keduanya.
Surti menatap langit dari balik jendelanya . Mendung dan gelap rupanya akan segera menurunkan hujan seperti biasanya. Sore itu dia telah puas menumpahkan segenap rindunya pada kekasih pujaan hatinya , meski hanya dalam angan dan tangisan yang rahasia.
Tiba tiba saja dirasakannya sakit luar biasa seperti mencekik lehernya. Dadanya serasa ditikam oleh seribu sembilu . Panas dan sesak, menghimpit ruang napasnya yang tinggal satu satu. Benar benar kesakitan yang maha dahsyat telah menderanya untuk kesekian kalinya. Dicobanya unuk bertahan sambil bedzikir , memohon ampun pada Allah.
Surti merasa waktunya telah hampir sampai . Dia telah ikhlas jika memang Sang Khalik memanggilnya sebentar lagi. Dia juga telah ikhlas jika pada saat ajal menjempunya, tak seorangpun menemaninya. Suami yang telah duapuluh tahun lebih mendampinginya tentu saja lebih suka berada di warung , meramal buntut sambil menggoda perempuan perempuan murahan disana ketimbang dirumah melihat istrinya yang tak menarik lagi.
Surti pasrah apapun yang akan terjadi . Tak juga dia mengeluh atau mendendam pada suaminya. Demikian juga pada saat kemarin pagi dia minta kepada suaminya untuk memanggil pulang anak anaknya , justru dampratan yang diterima Surti.
Dan disaat seperti ini dia lebih memilih mengenang saat saat indah bersama Karno. Terasa sejuk nian menyebut mantera itu ia ucapkan perlahan begantian dengan kalimat thoyibbah . Seperti ada tenaga yang mengaliri tubuhnya . Begitu nikmat nama itu ia kumandangkan dalam sisa sisa nafasnya.
Dan laksana magma yang mendesak dari dalam gunung berapi, Surti tiba tiba memuntahkan darah bergumpal gumpal dari mulutnya, dari hidungnya……….membasahi seprei dan lantai rumahnya . Begitu banyak darah yang keluar , membuat Surti lemah tak berdaya . Kepalanya lunglai tergolek di tepi pembaringan . matanya sayu menatap gunung yang tertutup awan kelabu di balik jendelanya. Disebutnya lirih nama Karno , lalu asma Allah untuk yang terakhir kalinya. Tanpa siapa siapa , tanpa orang yang dikasihinya. Surti telah berpulang dalam damai yang luar biasa, menggenggam sejumput kerinduan yang membara kepada Karno, dan bukan buat Toro, suaminya.
Kentong desa bertalu talu memanggil warga desa untuk mendengarkan pengumuman berita duka cita. Karno terduduk lemas dipematang sawah ketika ramai orang membicarakan kematian Surti . Hatinya tercabik cabik . Kesedihannya tak dapat dilukiskan dengan apapun juga. Perassan bersalah , mengapa tak menuruti firasatnya tadi siang , untuk menjenguk Surti , meski harus bersama istrinya kesana.
Kerinduan yang menyusup segenap kalbu karno semakin menjadi . Tulangnya seakan tak kuasa menyangga tubuhnya untuk beranjak pergi dari situ. Airmatanya meleleh dikedua pipinya. Semenjak dewasa ,sepanjang hidupnya , baru ini dia menangis .
Dia ingin menangis keras keras sambil menyebut nama Surti lantang lantang ,memuntahkan semua kesedihannya , tapi diurungkannya niatnya itu .Jadi sambil berjalan pulang , dilorong lorong yang sepi , digumamkannya lirih lirih nama Surti , sambil dibiarkannya airmatanya terus meleleh membasahi pipi, jatuh ketanah.