Thursday, October 27, 2005

Mbak Ratna

Oleh : shantined

Dan masa lalu selalu menjadi bagian terpenting hidup ini. Yang ada dihadapan adalah hari ini, menyisakan harap pada esok hari. Demikianlah yang menjadikan mbak Ratna bersikukuh untuk tidak menikah di usianya yang ke 35. Meski banyak pria mau padanya. Meski banyak lelaki naksir mati matian padanya. Bahkan beberapa diantaranya telah memberanikan diri meminangnya.Bagaimana tidak? Wajah mbak Ratna ayu, tubuhnya elok, kulitnya kuning kecinaan, mulus bersih, adabnya juga santun. Tata kramanya baik, tak sombong dan tak banyak bicara. Bekerja pada sebuah bank swasta yang terkenal banyak gajinya.

Entah apa saja yang dipikirkan gadis itu sehingga tak juga menerima pinangan pria yang mencintainya. Harta sudah cukup, usia sudah lebih dari cukup, seharusnya mentalnya juga cukup sudah untuk hidup berumah tangga, seperti tuntutan orangtuanya yang mulai sakit sakitan dan terus saja menanyakan kapan akan menimang cucu dari anak perempuan semata wayangnya itu.

Duh Gusti Pangeran….dengan modal yang besar seperti mbak Ratna , seharusnya ia mendapatkan seorang priyayi atau paling tidak orang kantoran yang sederajat dengannya. Sedangkan ini, sejak aku tinggal dipojokan rumahnya sebagai mahasiswa indekosan, tak pernah kulihat sekalipun mbak Ratna pergi bersama lelaki, atau paling tidak diapeli oleh seorang seseorang.

Entahlah kalau di kantornya, bisa saja ia punya pacar. Tapi tidak. Setahuku tidak. Ia berangkat pagi benar dari rumah, mengendarai sedan putihnya. Dan pulang setelah senja tiris di penghujung langit. Selalu begitu,ritme yang membosankan. Hari Sabtu ,Minggu, dan hari libur lainnya dilaluinya hanya dirumah. Bersama bapak – ibunya yang sudah sepuh, dan pembantu setianya yang juga sudah uzur. Hanya sesekali kulihat ia pergi berbelanja ke supermarket atau ke pasar tradisional , itupun membawa serta Yu Nah, pembantunya itu.

Jadi jangankan ke diskotik atau dugem di bar bar , karaoke pun cukup dirumah saja. Perangakat home theatrenya sangat lengkap dirumahnya yang cukup besar. Terkadang, kami para indekosan yang memang kurang hiburan ini nunut nonton film ,atau bila kebetulan mbak Ratna sedang nyanyi, kamipun di persilahkan untuk ikut bernyanyi bersamanya. Suaranya tak terlalu merdu, tapi cukup empuk untuk dinikmati. Tinggi melengking, meski kadang agak blero, atau fals di nada nada yang sulit. Tapi musik kegemarannya memang jazz. Penyanyi idolanya Januari Christy, Ermy Kulit, Iga Mawarni dan Duo Deddy Dukun – Dian Pramana Putra.

Kami para mahasiswa yang terdiri dari 7 orang ini pun terkadang mendapat berkah , makan malam gratis di rumah mbak Ratna pada acara acara tertentu yang di hadiri oleh kerabat dekatnya saja, yang terdiri dari keluarga besar Raden Wirokromo ,ayah mbak Ratna, serta teman teman wanita kantor mbak Ratna yang terlihat akrab dan dekat dengannya. Tak terlihat satupun tamu lelaki yang bisa diidentifikasikan atau dicurigai sebagai pacarnya.

Hanya kami bertujuh yang merasa beruntung bisa memandang lama lama kemolekan mbak Ratna, sekaligus terkadang diajak ngobrol tentang kampus, dosen dosen, mata kuliah dan ilmu ilmu yang canggih . Tentang komputer dia jago, tentang analisa keuangan dia pakar, tentang agama dia fasih, tentang Iptek dia doyan. Lalu apa yang menyebabkan kami para lelaki untuk tak menyukainya? Disamping pintar , dia sangat cantik, kaya pula.

Lalu apa yang menyebabkannya diusianya yang kepala tiga , belum juga singgah di hatinya seorang kekasih ? Tentu saja kami tak pernah menanyakan jawabannya. Hanya sering kami diskusi dikalangan para indekosan ini, tentang perkara apa yang menyebabkan mbak Ratna menjadi perawan tua.

“ Rud…..kapan kau pulang kampung ? “ tanya mbak Ratna suatu sore

“ belum tahu mbak…mungkin minggu depan” jawabku sekenanya. Jadwal pulangku biasanya memang awal bulan, tapi bulan ini benar benar kocekku sangat tipis, sehingga kepulanganku harus kutunda hingga honorarium puisiku di koran lokal cair.

“ Kalau begitu , bisa nanti mbak minta tolong ya, untuk mbantuin edit tulisan mbak untuk majalah psikologi ya?”

“ wah…mulai kapan mbak suka nulis? Di majalah psikologi pula. Tapi bolehlah mbak, kapan bisa dimulai” cecarku sambil merasa bangga.

“ Nanti mbak kasih honor dehhh….jangan kuatir!”

“walah Mbak….ngggak usah dipikirkan masalah honor, bisa membantu Mbak pun, saya sudah senang ” dengan jujur kukatakan

“ Oke deh, nanti malam bisa khan? Aku tunggu ya di ruang kerja saya…?!”

“ Iya Mbak” sahutku cepat, sebelum dia berubah pikiran

Siapa yang tak bangga, bisa menolong mbak Ratna. Apalagi tadi katanya dia minta di editkan tulisannya untuk majalah psikologi. Ahh…kecil itu! Aku sudah biasa menullis tentang perihal yang sama , untuk thesis dan kadangkala kukirimkan juga untuk majalah dan koran koran daerah. Kuliahku di jurusan Bahasa dan Sastra telah mengajarkan untuk menulis tentang apa saja, termasuk juga puisi dan cerpen yang kini hampir tiap minggu di muat di koran terkemuka kotaku.

Aku segera mandi dan memakai baju andalanku. Kaos oblong warna biru dipadu dengan celana jeans butut yang sobek disekitar lutut.

Tak lupa parfum kesayanganku , kusemprot dibagian telinga dan dada, agar apabila nanti berdekatan dengan mbak Ratna, ada harum yang lain selain bau rokok.

Pukul 7 tepat, aku melangkah dengan tegap . Penuh keyakinan, dan percaya diri. Ini jelas beda dengan si Asep yang minggu lalu juga mengetok pintu ruang kerja mbak Ratna , untuk meminjam uang, karena ibunya sakit dan ia harus segera pulang kampung. Sementara ia bokek berat, sama halnya dengan kami kawan kostnya. Jadi dengan terpaksa, kami hanya menganjurkan untuk meminjam pada Mbak Ratna. Siapa yang akan meminjami uang pada malam malam begitu, selain mbak Ratna? Dan beruntung , mbak Ratna berkenan memberi pinjaman.

“ Tokeeekkk” suara tokek mengejutkanku yang berdiri tepat di pintu ruang kerja Mbak Ratna

“ Masuuukk, Rud……Nggak kukunci kok” aku tambah terkejut . Ternyata detak langkah kakiku yang tak bersepatupun terdengar olehnya.

“ ya Mbak……”

Kamar berukuran 4 x 4 itu menebarkan wangi. Mungkin telah di semprot pengharum sebelum aku masuk tadi. Tapi tidak, wangi itu berasal dari tubuh ramping mbak Ratna. Hhhmmm…parfum yang menggoda. Parfum mahalan, tak seperti punyaku yang beli di toko manapun ada.

“ Rud…udah makan?”tanyanya

Aku diam saja. Tak menjawab, pura pura sibuk memperhatikan kamar kerjanya yang penuh dengan buku itu. Baru sekali ini aku masuk di ruang pribadinya itu, semenjak 2 thn yang lalu kost di rumahnya.

“ ya sudah, nanti setelah selesai dengan pekerjaan, kita makan bersama ya”

Aku hanya mampu menganggukkan kepala. Tiba tiba saja jantungku berdegup sangat keras. Tanganku berkeringat dingin. Ada semacam aliran aneh yang kurasakan mengalir di nadiku , sesaat melihat kecantikan Mbak Ratna dari dekat.

Dan waktu berlalu sangat cepat malam itu. Tulisannya yang hendak ku edit agak mengejutkanku. Topiknya tentang perempuan yang memilih tak menikah, sangat bersinggungan dengan kehidupan pribadinya. Tapi jujur kuakui gaya bahasa dan penuturannya sangat bagus dan akurat. Luwes dan agak kenes. Menyebabkan tulisannya tak terlihat frontal, meski termasuk bahasan yang kontroversional.

Akupun tak banyak mengedit . Karena memang sudah tak banyak yang harus di edit.

Sejatinya aku merasa heran, untuk apa aku dipanggil dan dimintanya menolong mengedit tulisan yang sudah sedemikian rapi dan siap kirim ini. Tak perlu di edit oleh siapapapun sebenarnya. Kalaupun aku tadi mengotak atik tulisannya tersebut, tak lebih hanya membenarkan kosa kata dan membuang titik koma yang tak berarti. Toh dewan redaksi majalah akan melakukannya nanti.

Jadi untuk apa aku disini? Aku masih saja berpikir, ketika Mbak Ratna tiba tiba menyuruhku duduk di kursi, dan dia sendiri duduk di meja kerjanya, menghadapku.

Darahku terkesiap, benar benar jantungku hendak melompat keluar , ketika roknya tersingkap tepat di muka hidungku. Pahanya yang putih mulus terlihat dari sela rok yang terlipat . Entah sengaja atau tidak , Mbak Ratna sepertinya membiarkan hal ini terjadi.

Duh….aku jadi serba salah. Pandanganku kualihkan tepat ke manik matanya, meski tanpa komando, terkadang masih juga kulirik pemandangan indah di depan mataku.

“ Jadi begini Rud….”

“ ya Mbak..”

“ Kamu sudah baca dan mengerti tulisan Mbak yang tadi khan?

“ya Mbak”

“ Ya begitulah Rud….hidup Mbak memang tak seperti wanita sempurna. Punya suami, punya anak, punya keluarga”

“ya Mbak” aku masih tak mengerti maksud ucapannya, mungkin perhatianku terpecah pada paha putih dan mulus di hadapanku.

“ Aku lebih suka hidup sendiri , tenang dan menyepi , tak ingin terlibat pada persoalan rumah tangga yang pasti dialami oleh pasangan suami istri”

“ ya Mbak….” Aku masih saja ngungun. Konsentrasiku benar benar kacau. Lantas akupun membayangkan malam itu akulah kekasih Mbak Ratna. Pasti akan segera kupagut bibir merah mawarnya, kubelai rambut mayang hitamnya, akan kusingkap lebih tinggi lagi roknya, akan ku ……….

“ Tapi sebagai wanita , aku juga mendamba kasih sayang lho Rud….sama seperti semua makhluk di dunia ini”

Tak kuperhatikan lagi kata kata mbak Ratna. Anganku telah melambung tinggi. Diantara kawan kost , akulah yang tertampan. Setidaknya tubuhku paling berisi , tinggi badanku juga diatas rata rata temanku yang lain. Semoga saja Mbak Ratna memang benar sedang menaksirku , dan malam ini mungkin dia hendak mengajakku bercinta. Ohhh indahnya….. meski usianya telah 35 , tapi tubuhnya tak ubahnya remaja. Cara berpenampilanpun tak menampakkan usia sebenarnya.

“ Rudd…kau masih mendengarku ? Kok tegang seperti itu sih Rud? Aku khan mengundangmu kesini selain minta kau mengedit tulisanku , juga ingin mendengar pendapat pribadimu, tentang aku, juga tentang tulisanku tadi…”

“ Ya Mbak…” aku masih tak kuasa berkata kata

“ Begini saja Rud…, kita makan dulu ya….biar Yu Nah antarkan makanan kesini, baru kita diskusi …”

“ Ya Mbak”

Lalu sajian makan malam berupa nasi , rawon, telur asin dan kerupuk udang menjadi semacam pelumer keadaan. Meski tenggorokanku masih saja seperti tercekat.

“ Mbak sudah anggap kamu ini seperti keluarga sendiri, adik sendiri, apalagi Mbak sering memperhatikan kamu. Kamu orangnya baik, pintar dan dewasa. Tak suka bikin ribut seperti teman temanmu.”

Aku jadi tambah gede kepala, tapi kok dianggap adik ya? Kenapa tak dianggap teman dekat atau bahkan teman suka duka? Bukankah kami sudah sering berdebat dan bertukar pikiran, meski itu sambil guyonan di halaman rumah, diparkiran mobil ataupun di dapur.

“ ada apa to Mbak…..kok saya jadi salah tingkah begini?” ucapku jujur

Tawa Mbak Ratna renyah memecah malam, bahunya terguncang guncang. Aku bertambah salah tingkah. Malam telah larut, rembulan setengah , mengintip di balik jendela yang sengaja di biarkan terbuka mengirim angin sepoi. Gerimis di luar sana telah mengharumkan tanah basah.

*****************

Dan begitulah, Mbak Ratna menceritakan dengan sangat lengkap mengenai masa lalunya. Yang kelam selegam langit malam ini. Kepadaku ia bercerita mengenai kegadisannya yang telah lenyap di renggut oleh pamanya, sewaktu usianya belum 7 tahun.

Lalu ketika berusia 12 tahun, pamannya yang lain sering memaksanya melayani nafsu bejatnya.Hingga bertahun tahun itu terjadi, hingga membenihkan seorang bayi di rahim suci Mbak Ratna. Dan kini bayi itu masih hidup dan dirawat oleh bibinya, istri dari pamannya yang kurang ajar tersebut. Sedang berita pamannya, terkabar sudah tewas di ujung tombak ayahanda Mbak Ratna yang sangat marah dengan tindak tanduk adiknya tersebut.

Lalu paman yang pertama kali menodainya itu selamat, karena ketakutan Mbak Ratna hingga tak tega mengadukannya pada Romo Wirokromo. Takut tombak yang sama akan menuntaskan hidup seorang paman yang kini sudah cukup renta itu. Paman Haryo memang tak berkeluarga. Padahal hidupnya berkelimpahan , hasil dari berdagang dan bertani di dusunnya. Tapi tak seorangpun gadis mau berdekatan dengan pamannya tersebut . Sifatnya sangat kasar dan galak. Maklumlah jikalau Ratna kecil saat itu terbungkam mulutnya hingga bertahun tahun, hingga kini ia menceritakan padaku. Dan kini paman Haryo laknat tersebut tinggal di rumah besar milik kelg Raden Wirokromo ini, seperti tanpa rasa bersalah. Ya, sudah sekitar sebulan ini paman renta itu tinggal di kamar besar paling depan, setelah menjalani operasi katarak di kota ini.

Pantas saja Mbak Ratna seperti gelisah sejak kedatangan orang tua itu. Luka lama yang telah dikuburnya , tiba tiba saja tercungkil cungkil tanpa disadari. Perih yang mendera lebih dari separuh hidupnya seakan kembali nganga terbuka. Ah aku tahu, inilah rupanya yang menyebabkan Mbak Ratna enggan berhubungan dengan pria . Mungkin rasa minder, atau mungkin dendam yang selalu menyala telah membawanya pergi ke kehidupan yang hanya dia nikmati sendiri. Entahlah aku tak mengerti

Yang kutahu, air matanya menetes , suaranya parau menahan duka, dan wajahnya sangat sayu seolah mengisyaratkan aku untuk segera menenangkannya, dengan pelukku misalnya.

Dan benar , dia diam saja ketika kuulurkan sebuah tissue ,dan aku menyeka air matanya. Lalu ku bimbing dia menuju kursi, sambil kurengkuh mungil pundaknya. Sesenggukannya yang terdalam masih kurasakan , ketika diakhir kalimat dia menyebutkan bahwa tak akan pernah menikah. Karena cintanya pada lelaki tak pernah tumbuh. Karena lukanya kepada lelaki tak pernah paadam. Karena kekasihnya adalah Mbak Eka , yang photonya memang berserakan di kamar kerjanya, ruang tamunya, ruang hatinya, ruang hidupnya.

Ya, mbak Eka adalah teman sejatinya, yang selalu datang menemani sepinya, getirnya, sukanya, dukanya. Tubuh Mbak eka atletis dan tomboy, meski tutur katanya juga halus seperti Mbak Ratna.

Aku jadi teringat, mengapa lebih sering mbak Eka menemani Mbak Ratna pergi kondangan, acara ulangtahun dan acara kantor lainnya.

Duh Gusti Pangeran……nafasku seakan benar benar habis tersedot oleh akhir drama yang disuguhkan oleh Mbak Ratna. Ketika sebuah cundrik berbisa telah disiapkannya dari laci meja, untuk menghabisi paman Haryo malam ini juga.

“ tolong aku Rud….sekali ini saja….dendamku masih kesumat. …benciku masih membara……”

Aku diam beku tak beranjak dari dudukku.

“ Ayolah Rud, bantu aku…….apapun akan kau dapatkan tanpa kecuali. Ayo kita bercinta, jika itu yang kau mau. Asal kau mau membantuku. Aku yang akan bertanggung jawab kepada polisi nanti, kau tak akan kulibatkan. Ayolah Rud…..aku perlu tenaga lelaki untuk menghabisi lelaki tertengik itu…..ayolah Rud…..ayolah Rud……” Dan kata kata Mbak Ratna terus menggema di gendang telingaku. Terus membiusku , membuatku sungguh bingung, ini mimpi atau nyata.Hingga aku menyadari ini bukanlah mimpi, oleh desahan manja dan tubuh yang telah tanpa busana tergolek dipangkuanku yang membatu.

Ya, membatu.

*************************

Balikpapan, 3 Mei 2005

PENGUNGSI

Lima episode dalam hidupku mengajarku menatap rembulan lebih lama dari menatap matahari. Kegelapan adalah abadi, dan terang adalah kesementaraan. Tak ada pijar melebihi sinar mataku , dan tak ada gelap melebihi buramnya sukmaku. Kuakui aku telah terluka oleh bermacam macam bencana. Untuk itu aku aku mengungsi di seladang hatimu. Bukan menjadi tawanan , tetapi pengungsi yang tinggal menetap. Tak tahu hingga kapan, aku tak sudi memikirkannya.

Bila hari gerimis dan langit mendung, aku selalu keluar sebentar. Untuk menghirup aroma hujan. Berputar putar , menikmati kembang dan pepohonan yang kuyub oleh air dari langit. Berkeliling kebun, memungut dedaunan yang luruh dan buah buahan yang busuk terjatuh di tanah.

Dan kembali pulang jika matahari telah terik bersinar, mengeringkan segala basah.

Huma telah menjelma dari hutan perawan, Telah tertanam ratusan nama di setiap jengkal hatimu, kutahu. Tapi entah mengapa kau menawariku lembah untuk sekedar ku bernaung. Dan gilanya, aku mau saja .

Jadi sejak itu , sejak malam jahanam itu, akulah pengungsi yang mendiami ladangmu, lembahmu, cerukmu, humamu, guamu. Aku bebas saja berlari lari , katamu. Bebas berkejaran dengan monyet monyet yang bergelantungan di pepohonan, Bebas bercengkerama dengan harimau , bahkan bebas berenang telanjang di danaumu. Bila pelangi turun di sore hari, aku memuja ungunya. Kubuat menjadi siluet diselendang yang selalu tergerai di bahuku. Tak ada yang melarangku menari disini. Juga bernyanyi. Tapi aku selalu bersenadung lirih . Tak pernah melebihi dari gemerisik dedaunan yang diterpa sepoi bayu. Dengan gemericik sungai aku menimpali suara suara hati yang terbit setiap kali kesedihan menderaku. Ya, aku masih saja teringat setiap episode kemalanganku. Lima episode. Simaklah itu.

Episode pertama.

Dimulai dari popokku yang pesing suatu pagi. Bukan ibuku yang menggantikan popok itu. Tapi pembantu. Lalu ketika haus , aku mendamba sepasang payudara montok yang mengalirkan air susu untukku. Mendekapku dengan segala kemesraan, dan mulai menjejalkan putingya yang hitam kemulutku yang megap megap. Atau paling tidak, dengan berbaring malas, mata setengah ngantuk, menyusuiku. Tapi tidak. Aku selalu menyusu pada pentil karet yang mengalirkan susu sapi. Huh !! Aku adalah bayi termalang yang lahir dari rahim bumi, bukan ibuku. Bukan juga pembantu. Tak tahukah kau betapa irinya aku ketika melihat bayi bayi sebayaku di posyandu asyik bercanda di pangkuan ibu mereka, sambil menghirup sari makanan ibunya. Aku selalu ingin menetek. Tapi pembantu menentramkanku dengan botol botol terkutuk itu. Ibuku entah kemana, selalu berpakaian rapi dan menyapaku “ hallo manis, jangan nakal di rumah ya” dipagi hari sebelum menghilang seharian.

Karena aku selalu mengutuk botol botol susu itu. Badanku kurus, giziku kurang. Tubuhku lemah, sakit sakitan. Aku terlambat berjalan . Selalu dalam gendongan pembantu. Sambil menyapu , memasak, mengepel, mencuci, ia menggendongku. Aku rewel dan manja, katanya. Pembantu tak tega membiarkanku bermain sendirian. Jadi kemanapun gerak langkahnya, aku selalu dalam dekapannya. Semula ia kukira ibuku. Tapi lambat laun aku mengerti bahwa ibu adalah orang yang setiap hari memberiku uang jajan dan aneka mainan. Aku kecewa. Aku lebih sayang pada pembantu itu, kurasa diapun lebih menyayangiku daripada ibuku. Mengapa aku bukan lahir dari tubuhnya saja. Aku marah ketika itu. Aku merasa anak termalang yang pernah lahir diperut bumi ini.

Episode kedua

Masa remaja. Yang kurasakan adalah masa keterbelengguan. Tak ada pesta ceria, tak ada teman atau sahabat. Tak ada hura hura. Tak ada juga sakralisasi terhadap tuhan. Aku hampir tak kenal siapa itu tuhan, selain dengar dari pelajajaran di sekolah. Aku sangat beku dalam suasana kanak kanak yang terlambat bergeser , sekaligus masa dewasa yang datang dini bagiku. Mbok Sum masih saja setia mengikutiku pergi dari ruang dari ruang , takut aku jatuh sakit sewaktu waktu, sedang aku sudah merasa sangat dewasa waktu itu. Aku sudah mulai mengenal cinta pertama , dengan guru olah ragaku. Dunia terasa berwarna dalam sekejab, sebelum kembali suram saat sahabatku merebut pacarku itu. Aku ambigu. Tak ada tangis berkepanjangan. Hanya sekali aku menangis dipojok sekolahan , ketika aku menyadari aku tak lagi perawan. Bukan oleh kemaluan kekasihku, tapi oleh rogohan jemarinya sore itu yang sangat sangat kunikmati. Aku masih merasa beruntung, tak was was takut hamil . Dan tak menyesali pacarku yang berpaling. Kelakuannya luar biasa, binal dan bermata liar. Aku bahkan tak ingin menikah kelak. Dengan siapapun. Satu lelaki telah menyakiti hatiku, dan itu lebih dari cukup untuk memberi jera dan luka yang menjorok tajam di palung hatiku.

Yang utama adalah menyelidiki dimana ayahku berada. Karena ibu selalu mengatakan ayah meninggal saat aku masih dalam kandungan. Tapi aku tak percaya begitu saja. Selama ini aku tak pernah melihat bukti bahwa aku berayah. Tapi kadang aku juga sangat tak peduli dengan siapa ayahku. Yang penting aku sekarang bisa sekolah, bisa makan. Oleh jerih ibuku tentu saja. Oh ya , aku mulai belajar mengenal siapa ibuku. Bahkan aku menganggapnya sebagai sahabat. Sering malam malam kami bercerita tentang apa saja. Tentang bunga yang mekar dihalaman tetangga, tentang temanku yang menyebalkan, tentang pekerjaaan ibuku yang bertugas sebagai guide bule bule, tentang negara negara yang telah dikunjungi ibuku, tentang banyak hal lagi, asal bukan tentang ayahku. Kami asyik bercengkerama sampai pagi, terkadang. Tapi juga sering terjadi, beberapa hari tak bertemu. Ibuku sering bertugas ke berbagai kota dan bahkan luar negeri. Aku tak pernah mengeluh selama ini. Ada mbok Sum yang cekatan menyiapkan segala keperluanku dan ATM ku selalu penuh terisi untuk berbagai kebutuhanku.

Aku kadang merindukan laki laki, untuk sekedar kupameri kecantikan dan kemolekan tubuhku. Aku tumbuh menjadi gadis 15 tahun yang cantik, kata ibuku. Mataku cemerlang, pipiku merah dan senyumku menawan. Tapi aku jarang tersenyum. Aku lebih suka diam menyendiri di rumah, bermain dengan bayangan tokoh yang kusukai. Aku bercinta dengan Tom Cruise, diiringi lagu kesukaan kami, Crazy. Bahkan Julio Iglesias juga pernah nimbrung setelah bernyanyi untuk kami, dalam percintaan sepanjang malam. Setelah lelah, kami berbaring dihalaman rumah yang berumput tebal, menatap bulan, memandang cakrawala malam yang pekat tertutup awan. Kalau sudah begitu, mbok Sum suka menyuruhku kembali kekamar , memakaikan selimut dan mematikan lampu kamarku. Mbok Sum tak pernah mengerti bahwa dengan menatap rembulan dimalam hari, hatiku serasa terbang bersama bintang bintang. Berputar putar mengelilingi bumi. Bersatu dengan kegelapan malam, adalah kebahagiaan tersendiri. Karenanya aku sangat tidak suka suasana diskotik atau bar bar malam. Aku lebih suka duduk di batu besar muka rumahku sambil memikirkan sesuatu. Atau membaca buku buku puisi atau novel novel cinta. Terbenam dalam kisah dan alur yang menggairahkan, semauku, tanpa ikut campur pengarang atau mbok Sum sekalian.

Episode ketiga.

Usiaku semakin dewasa. Kuliahku akan selesai tiga semester lagi. Aku masih saja terdiam diantara bara bara yang menyala tapi tak membakarku. Aku batu. Mungkin gundukan es. Tak leleh oleh panas yang terbuat dari apapun. Aku adalah aku. Yang punya halaman hati sendiri, yang menyangkuli halaman itu dan menaburkan benih benih kesendirianku. Ibu dan mbok Sum, barangkali boleh sesekali berkunjung ke halamanku, tak tak boleh lama. Aku telah riang gembira dengan diriku sendiri, jadi tak pernah aku memikirkan teman. Apalagi lelaki, sebagai kekasih. Cuiiihhh! Aku telah cukup dengan diriku sendiri. Para kekasih adalah orang orang yang kukagumi lewat cerita di novel dan televisi. Mereka bergiliran datang menemani malam malamku, tanpa seorangpun tahu. Aku sangat puas dengan mereka. Orgasme berkali kali dalam semalam , sudah biasa bagiku. Kadang aku melukiskan diriku sebagai naga perempuan yang selalu kelaparan dan memangsa tokoh tokoh khayalanku, bukan untuk kumakan, tapi untuk melayani nafsu perempuanku. Pernah suatu kali, aku punya teman kuliah yang sangat memperhatikanku. Aku sama sekali tak tertarik padanya. Ia lelaki pujaan wanita di kampusku, padahal. Tapi ia kalah menarik dibandingkan Adjie Masaid, Nicholas Saputra, Ariel Peterpan, atau

Temanku itu masih saja mengejarku. Penasaran barangkali. Tapi dia adalah tamu di halaman hatiku. Bolehlah sesekali bertandang . Jadi sekali waktu, kubukakan baginya pintu. Kuberikah hidangan selayaknya tamu. Tapi dia terlalu rakus. Setelah memakan habis semua hidangan yang kusuguhkan, ia mulai mencari cari sesuatu yang lain di dapur, bahkan berani membuka buka kulkasku. Aku kuwalahan. Kemarahanku tak membuatnya pergi menjauh. Justru ia semakin rakus dan menguasai rumahku, hingga halamannya. Aku tak berdaya. Sesungguhnya aku tak mencintainya. Sudah kukatakan tadi, bahwa ia hanyalah seorang tamu yang kubukakan pintu. Tapi kini ia telah menumbuhkan anak di rahimku. Bukan saja itu. Ia telah memasang patok patok di hatiku. Mungkin karena anak. Atau mungkin karena setiap saat kami bersama. Upacara pernikahan kami di hotel berbintang lima kurasakan sebagai upacara penggiringan ke dalam penjara, sebenarnya. Tapi kunikmati saja , paseban paseban itu . Terali terali besi. Pasungan kaki. Aku masih saja bisa berimajinasi . Terus membayangkan seseorang , tokoh tokoh terkenal , kekasih kekasihku yang mengertiku. Yang datang hanya saat aku membutuhkan. Yang tak menjejali mulutku dengan kelaminnya ditengah mimpi indahku. Yang tak menghempaskan tubuhnya ke dalam tubuhku saat aku ingin tenang menatap rembulan. Ya, begitulah lelaki itu memanifestasikan kekuasaannya sebagai suami kepadaku. Dan aku telah terbiasa bersetubuh denganya beralaskan air mataku yang menggenang. Ia sangat suka itu.

Ah, lelaki !

Episode keempat.

Lelah aku jadinya. Aku ingin pulang. Atau pergi entah kemana. Tak ada rumah yang kedua sebenarnya. Aku mengembara saja. Melanglang dunia, mengukur jarak antara benua yang satu denga benua yang lainnya. Ini lebih melelahkan ternyata, tapi asyik kurasa. Dengan sekumpulan puisi, atau sebundel cerita, aku berkelana dari hati ke hati. Dari rumah ke rumah. Tak mengapa. Aku selalu menjadi tamu semalam, dan pergi keesokan harinya. Matahari selalu menyambutku dengan senyum riangnya , rembulan selalu menyapaku ceria. Tak ada kesedihan sepertinya. Semua tuan rumah mengenyangkan perutku dan memberiku tempat tidur terindah dari yang mereka punya. Aku bahagia dengan basa basi mereka, dan kehangatan tubuh mereka.

Aku bukanlah kupu kupu malam yang menjebak para penikmatnya. Dan aku bukanlah serigala berbulu domba yang menjilat habis darah mangsanya. Aku hanyalah seorang narapidana yang terlepas dari penjara. Yang berusaha mengetuk pintu rumah dan bertamu ala kadarnya. Andaipun pintu tak di bukakan, aku tak pernah mengeluh. Aku masih bisa berimajinasi, denga liar……

Episode kelima

Matahari tak terbit benar, pagi itu. Shufflendro masih meliuk liuk dengan panasnya di genderang telingaku. Alunan melodi dan petikan bas milik Karimata itu sekaligus meliukkan kemampuanku menemukan arti halaman bagi hidupku. Aku membaca aneka mantra. Aku merajah aneka lambang. Aku bertapa dari gunung ke gunung. Aku berendam di ratusan sungai. Berguru pada banyak ilmu. Semakin banyak pusaran yang berpusat di tubuhku sekarang. Mungkin aku sakau. Tapi nyatalah bahwa aku memerlukan semburat jingga matahari di saat subuh menjelang. Terlalu banyak kata kata yang mengombang ambingkanku. Sayatan demi sayatan telah menelanjangi daging dan tulangku. Luruh pula tulang tulang itu dari persendian, jatuh berkelontang di lantai. Begitu juga dengan daging. Terserabut oleh desingan angin segala penjuru. Terbang entah kemana. Sebagian berserakan di jalan jalan, ada pula yang terselip di sepatu sepatu pejalan kaki. Oh, aku tak bertubuh kini. Yang ada hanya jiwa. Itupun hampir mati. Ya, aku memutuskan melempar jiwaku sendiri ke dalam salah satu tempat untuk meleburkan diri dengan bayang matahari dan rembulan.

Di gerakan yang kesepersekian detik, sebuah tangan perkasa telah menangkapku dan membawaku menjauh dari jurang penuh kawah beracun yang siap kuterjuni. Entah darimana datangnya tangan itu. Ia telah membebatku dengan tulang dan dagingnya sendiri. Meniupkan kehangatan dan mengalirkan cinta bagiku. Aku tak perlu melihat siapa dia, karena ia juga tak ingin terlihat olehku. Yang ada , aku telah merasa aman dalam hijau sinar yang terbit dari matanya. Yang aku tahu, ia adalah dirimu kini, yang menawarkan sepetak lahanmu, ladangmu untuk kuhuni. Itulah mengapa aku memilih menjadi pengungsi di halamanmu, sang penyelamatku. Mengapa bukan tamu atau tawanan. Aku adalah pengungsi. Yang sewaktu waktu bisa pergi jika rumahmu terlalu banyak menerima tamu atau pengungsi lainnya. Yang bisa pulang sewaktu waktu rumah memanggilku . Yang bisa tinggal lebih lama lagi jika kebun ladangmu menghasilkan. Yang bisa tinggal dan menetap selamanya jika rumahmu telah kosong dan kau mengijinkanku menjadi penghuninya.

Sebelum semua terlewati, aku masih saja akan bebas berayun ayun dengan aneka binatang di halamanmu. Bebas memunguti ranting ranting patah , bunga bunga layu, yang sekedar mengingatkanku bahwa aku adalah pengungsi. Menari nari, mengitari altar demi altar yang mengingatkanku bahwa akulah penari. Dengan kecapi dan seruling aku mengumandangkan alunan takdir yang mengingatkanku akan jalan setapak menuju rumahmu, halamanmu.

PERAHU

PERAHU


Menatap perahu yang terombang ambing di laut , hatiku ikut gundah. Sore yang cerah sebenarnya . Matahari masih bersinar . Hangat biasnya menyentuh kulit lenganku. Lanskap laut sempurna indahnya. Pasir putih yang menghampar, pohon kelapa yang melambai tertiup angin, dan ombak yang damai menyapa pantai. Bebatuan karang yang menjorok ke lautpun tampak kuat dan perkasa menantang alam. Beberapa camar laut terbang rendah , terkadang menjuntai sayapnya menyentuh beningnya air .

“ ibu, kapan bapak pulang?” terperangah aku oleh pertanyaan bocah kecil yang duduk dipangkuanku sejak tadi.

“ setelah mendapat ikan” sahutku sambil lalu

Ku kecup rambutnya yang memerah . Aroma matahari. Kurapikan pakaiannya yang tak harum. Dia bersandar manja kini di dadaku yang kurus.

Kudendangkan lagu sekenanya , sekedar pengusir resah. Kakiku berayun ayun menyentuh pasir. Lama kelamaan ayunan kakiku menyebabkan dua gundukan pasir dan sebuah ceruk di tengahnya. Ada seekor kepiting laut kecil muncul dari dalamnya. Bergegas anakku merosot dari pangkuanku dan mengejar kepiting kecil tadi sambil tertawa tawa. Ya , dia anakku. Satu satunya. Usianya sekarang 4 tahun.

“Ibu, aku dapatkan kepitingnya…horeee…” gelaknya membahana memenuhi angkasa sore itu. Aku mengangguk angguk saja. Ada senyum di bibirku, tapi aku tak yakin itu adalah senyuman. Kupikir itu adalah seringai. Sudah seminggu ini aku tak punya hasrat untuk tersenyum. Apalagi tertawa. Tapi demi gelak anakku , dan pancaran matanya yang penuh harap, kupaksakan juga kedua pipiku terangkat keatas dan bibirku mengembang.

Kedatanganku lima tahun yang lalu ke kota kecil pinggir laut ini begitu membawa banyak masalah dalam hidupku. Tanah kelahiran laki laki yang lalu kusebut suami setelah membuahi rahimku secara setengah paksa di balik rerimbunan pandan dan semak belukar di tepi danau. Laki laki yang lalu mengunci hidupku dari dunia luar. Memenjarakanku dalam kurun waktu yang terbilang oleh terbitnya matahari dan rembulan.

“ kaulah mawar terwangi dan termerah yang kupetik dari lembah tak bertuan” katanya suatu pagi. Angin laut meleraikan anak rambutku dan tangannya yang kekar membopongku ke salah satu batang kelapa yang tumbang di halaman rumah kami.

Aku diam saja saat itu. Menikmati belaiannya. Menikmati kata katanya yang setinggi langit. Sambil berusaha menumbuhkan cinta baginya. Tentu saja. Karena dia lelaki dan aku perempuan . Karena dia suami dan aku istri.

Ah, lelaki yang kemudian dipanggil oleh anakku sebagai “bapak”. Ternyata dia lelaki yang gagah perkasa. Paling tidak soal libidonya. Tidak hanya kepadaku dia bercinta. Mula mula aku gusar dan menolak tatkala dia membawa seorang perempuan lain ke tempat tidur kami yang sederhana . Tapi dia begitu gagah perkasa. Tak mampu aku melawan kemauannya yang luar biasa. Hingga akhirnya aku harus berterimakasih kepada perempuan perempuan yang silih berganti di bawanya ke gubuk kami ini. Dia sungguh gagah perkasa. Tidak hanya pada dadanya dia mengukir tattoo. Tapi keseluruh tubuh . Dia katakana padaku, bahwa cintanya sangat besar padaku. Untuk itu setiap kali selesai ia bercinta dengan satu perempuan lain, dia mengukir tattoo lagi di tubuhnya, untuk melukiskan rasa bersalahnya padaku, menyakiti hatiku. Aku katakana padanya bahwa itu tindakan bodoh yang tidak perlu. Karena diam diam aku tak lagi mencintainya. Tapi dia selalu melakukanya, hingga hampir penuh kulit badannya oleh tattoo huruf huruf namakau, ataupun gambar gambar indah yang dibayangkan adalah diriku. Sementara aku sering terduduk di ujung halaman rumah, sama seperti saat ini. Mengingat ingat bagaimana pertama kali aku jatuh hati pada lelaki tampan ini. Lalu mengingat ingat mengapa aku merasa mual melihat wajahnya.

Aku membayangkan sebuah perahu yang oleng di tengah laut . Tidak , aku tengah melihatnya. Aku melihatnya, ya , melihatnya. Aku tidak sedang melamun.

Ku perhatikan buih yang mengombak dari kejauhan. Ada dingin yang menyergap hatiku tiba tiba. Dingin yang amat sangat. Menusuk. Ak merasa sepi dan sindiri di haalman rumahku ini. Angin yang bertiup begitu kurasa kencang dan membekukan darahku. Hampir aku menangis menahan rasa asing yang begitu menderaku.

“ Ibu…..kakiku berdarah, di capit induk kepiting…..ibuuuuu…huuuuuuu” anakku meringis kesakitan . Terpincang pincang ia berjalan mendatangiku.

Darah yang mengalir dari kakinya lumayan banyak. Kugendong ia kebilik sumur disamping rumah.Kubersihkan lukanya dan kuberi obat merah. Darahnya masih mengalir, merah . Aku merasa dejafu. Hatiku sakit. Pikiranku mengembara entah kemana. Luka anakku masih menaglirkan darah, ketika aku justru masuk kedalam rumah dan bercermin. Memandang mataku sendiri. Masih mataku yang dulu, yang kata suamiku seperti danau tujuh warna yang memancarkan pelangi dari langit yang basah.

“ ibuuu……” rengek anankku dari serambi depan rumah.

Bergegas aku menghampirinya dan kembali menghiburnya . kini ia tenang dan hampir terlelap dalam pelukanku. Kubaringkan ia ke dalam kamar. Diatas dipan sederhana satu satunya milik kami. Dipan berbusa tipis yang telah menjadi sumber dari semua kekalutan pikiranku. Di dipan ini aku dan suamiku bercinta. Di dipan ini aku hampir meregang nyawa melahirkan anakku. Di dipan ini suamiku bercinta dengan perempuan perempuan lain didepan mataku. Di dipan ini ia kugorok lehernya hingga tergolek mati bersibah darah, seminggu yang lalu.

Aku hampir terlelap memeluk anakku. Mataku setengah terpejam. Aku sudah setengah tertidur ketika anakku tiba tiba menangis meraung raung memanggil bapaknya. Kutenangkan dengan elusan dan bujukan, tapi tangisannya bertambah nyaring. Sekarang tubuhnya memberontak dari pelukanku. Aku bingung. Kugendong ia keluar rumah. Kami lalu duduk di batang kelapa dimuka rumah. Matanya yang mengantuk tampak sembab. Tapi tangisnya telah mereda. Hanya isaknya yang tertahan membuat dadanya naik turun. Aku kehilangan kata kata. Mungkin anakku rindu dengan bapaknya. Sudah seminggu ini dia kehilangan belai dan canda riang bapaknya. Aku merasa bersalah telah ‘menyimpan “ bapaknya di perahu yang terus bergelombang ditengah laut. Perahu satu satunya milik kami, yang kami beri nama “biduk cinta”, bercat biru muda , yang sehari hari dipakainya mencari ikan dilaut.

“ sayang, diamlah, bapak ada ditengah laut” bujukku sambil kupeluk erat anakku.

Air mataku jatuh perlahan , seperti gerimis sore ini merintik membasahi pasir halaman rumah kami.

Air mata pertama setelah seminggu yang lalu. Sebelumnya , air mata yang berbeda selalu turun mengalir deras, setiap kali kulihat suamiku bercinta dengan perempuan muda lainnya. Aku membayangkan darah yang menyembur dari lehernya, Ah betapa indah pemandangan itu. Sungguh indah dan lama kuidam idamkan. Melebihi indah bermacam macam tattoo di tubuhnya. Kupotong kelaminnya setelah kuperhatikan dia tak lagi bernyawa. Lalu tangannya. Tangan kekar yang selalu membopongku ketempat tidur sambil bersyair indah tentang kecantikanku. Tangan yang juga meremukkan cintaku dengan tamparan tamparannya dipipiku saat aku tak setuju ia membawa perempuan lain kerumah. Aku tak bisa memotong semua tubuhnya. Terlalu liat dan tenagaku juga berkurang. Lagipula aku takut anakku yang tidur di kamar sebelah akan terbangun dan melihat semau kejadian ini.Padahal aku ingin mencincangnya hingga lumat seperti bubur. Seperti angan dan citaku yang telah diadauk aduknya dalam kuali besar bernama biduk rumah tangga. Akhirnya kusudahi mutilasi itu. Dengan memasukkannya kedalam karung besar. Kuseret malam itu juga, kedalam perahu kami. Ku dorong hinggga bibir pantai. Kudayung hingga mulut laut. Kuucapkan selamat jalan , lalu aku berenang pulang kerumah. Tak ada yang tahu. Aku tak punya tetangga ataupun sanak kerabat sejak lima tahun yang lalu.

Aku dan anakku memandangi laut, seperti biasa. Sambil duduk kini anakku lebih tenang. Tangisnya telah diam. Luka bekas capitan kepiting tak lagi membuatnya menangis. Juga rindu kepada bapaknya. Entahlah, mungkin esok hari ia akan kembali rindu dan mencari bapaknya. Akan kukatakan bahwa bapaknya akan kembali suatu waktu , sambil mengajaknya memandang lautan. Bagaimanapun ia butuh belai dan canda lelaki yang selalu memanggulnya diatas bahu , berputar putar halaman sambil tertawa cekikikan. Aku takkan mampu melakukan itu . Karena perutku semakin besar. Mungkin empat bulan lagi akan lahir adik bagi anakku.

Tapi paling tidak kecipak ombak dan sekaligus bara didadaku kini telah padam. Ada kelegaan yang luar biasa ketika melihat pantai yang senyap tak melabuhkan sebongkah kayu bernama perahu yang membawa jasad mimpi dan cintaku.

Langit tampak kuning. Senja memburat dilangit. Gerimis telah usai merinai. Aroma basah masih tercium . Wangi. Aku duduk diluar rumah , memangku anakku sambil bersenandung. Ku ayun ayunkan kedua kakiku kepasir basah.Tak ada kepiting muncul dari dalam pasir. Karena malam telah merambat datang . Malam malam yang selalu kunanti. Karena terbebas dari jeruji, terbebas dari belitan duri, terbebas dari dera dan siksa batin. Kunikmati sepenuhnya rembulan sayu yang muncul dari balik awan . Aku menari bersama dengan anakku dikeremangan malam, beriramakan deru gelombang berpadu dengan nyanyian burung hutan yang bertengger dipucuk pohon pohon kelapa. Berbumbu kristal ingatan ingatan malam itu. Darah yang menyembur, kemaluan lelaki yang lembik menggelambir. Tangan dan jari jari yang kaku berwarna pucat tergenang darah. Ah, aku tertawa perlahan . Ku coba melakukan apa yang biasa dilakukan suamiku kepada anakku. Memanggulnya di bahuku, sambil berputar putar, menari dan tertawa cekikikan. Ternyata aku bisa. Aku lebih perkasa dari suamiku yang sekarang telah berubah menjadi bangkai ditengah laut sana. Kami terus menari dan menari. Hingga tak ingat lagi kapan harus berhenti.

Tarian kesunyian yang amat panjang dan melelahkan. Dengan sedikit senandung dan ritme ritme aneh yang hanya kami berdua bisa melakukannya.

Shantined,Balikpapan, Oct 17, 2005

my wild illusion on Sabakatang village.