Tuesday, August 23, 2005

MATA

MATA
: oleh Shantined



Raut wajah perempuan itu sungguh aneh. Bukan kecantikannya yang telah pudar oleh waktu. Bukan pula oleh model rambutnya yang chick, masakini. Tapi oleh wajahnya yang memandang kosong setiap sudut ruang ini. Matanya terlihat suwung , mencerminkan beban yang tak tertanggungkan lagi olehnya. Aku bersumpah demi sinar bulan yang jatuh tepat di keningnya, bahwa perempuan itu sedang bersedih luar biasa , menderita oleh hal yang tak kuketahui.
Dia duduk menghadap kursi kursi kosong dihadapanku. Dan dari jarak dua meter aku melihat dengan jelas gerak geriknya sedari tadi. Tampak gelisah dan bersedih. Sebentar dia melipat lipat tangannya, sebentar dia duduk bertopang dagu . Wajahnya lumayan cantik sebenarnya, diusianya yang sekitar tiga puluhan. Kulitnya putih bersih. Dengan blues merah muda lengan panjang dipadu dengan celana jeans ketat , kurasa memang cukup menarik perhatian. Hanya saja mata perempuan itu…duh, siapapun takkan tahan melihatnya.
Aku masih terus mencuri curi pandang perempuan itu, karena sekilas mirip dengan pacar lamaku yang telah lama kutinggalkan.
Mata perempuan itu sebenarnya tak jelek. Bundar dan berkelopak mata agak lebar,dengan bulu mata yang lentik. Tapi pandangan kosongnya membuat siapapun yang melihatnya bergidik.Antara mengerikan dan memelas. Sepintas pupil matanya menguncup, dan aku membayangkan dia sebagai makhluk asing yang sedang akan berubah wujud menjadi wewe gombel ataupun kuntil anak . Tapi di detik lainnya tiba tiba pupil matanya membesar , membeliak beliak menatap garang setiap kami yang berada disini. Lalu di detik berikutnya kembali kosong, suwung dan tak ada ekspresi apapun. Sungguh aneh perempuan itu.
Kupikir dia agak setengah gila, atau mungkin juga gila . Tapi pakaian dan aksesori yang dikenakannya tak mengatakan begitu. Kalau begitu dia sedang dalam depresi , pikirku.
Sedang terganggu jiwanya, sedang dalam masa kedukaan oleh rasa kehilangan ataupun kekecewaan yang sangat dalam, tebakku. Ya , benar. Dia sedang dalam tekanan yang sungguh tak tertahankan beratnya sepertinya. Kini dihisapnya beberapa batang rokok secara cepat sekaligus, menandakan jiwanya yang gelisah. Juga dipesannya sesloki tequila sunrise yang dengan cepat juga diteguknya. Kulihat tangannya yang mulus itu bergetar memegangi sloki di meja, seakan takut ada yang akan merampas sloki itu dari hadapannya. Sebatang rokok masih terselip di bibirnya yang meski tanpa lipstik, tampak sensual dan menarik. Nafasnya tampak datar , seperti juga tatapan matanya yang masih juga kosong, seperti berusaha mengubur berjuta kenangan .
“dik dik…jam berapa kafe ini tutup?’ ia mengagetkanku
dan aku maju beberapa langkah untuk menjawab pertanyaanya, meskipun dari jarak semulapun jawabanku tentu dapat ia dengar.
“kafe ini tutup sekitar jam sepuluh mbak” aku tersenyum manis menjawabnya.
Bahkan aku berani menyeret kursi dan duduk dimeja berjarak semeter dari perempuan itu.
Aku berharap dia akan mengajakku bicara , mengenai apa saja. Tetapi tidak, perempuan itu kembali membisu dan menatap kosong kearah laut, hanya sekilas matanya menatap arloji di pergelangan tangannya. Akupun tak punya keberanian untuk mengajaknya bicara , meski berbagai pertanyaan menyumpal dikepalaku.
Entah kenapa aku jadi penasaran dengan keanehan perempuan itu.
Malam bertambah kelam meski bulan sabit bersinar remang. Kilauan laut yang memantulkan sedikit cahaya mengirim ombak ombak kecil yang terus beriringan menuju tepi. Lampion lampion kecil berayun ayun diterjang angin menguntaikan sepi yang tiba tiba menyergapku dalam keramaian ini.
Di kafe kafe mungil ini aku memang sering nongkrong denagn beberapa temanku ataupun sendiri dengan membawa buku. Kafe kafe imut dipinggir laut yang terkenal dengan kafe Bandar, di sepanjang pinggir ruko tengah kota Balikpapan. Berbagai komunitas telah memilih tempat ini menjadi tempat atau basis bertukar pikiran sambil menyeruput kopi pelan pelan, diiringi debur ombak .
Dan dari sekian kali aku nongkrong di kafe ini, baru sekali aku menemukan sosok ganjil seperti perempuan yang sekarang ada dihadapanku ini.
Kukira dia akan duduk sambil membaca buku seperti yang dilakukan banyak perempuan penulis dan pecinta buku yang sering kutemui disini.
Ternyata yang dilakukannya hanyalah duduk , sesekali berdiri dan berjalan menatap laut dengan pandangan mata kosong , dingin seperti es.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Rembulan penuh diatas awan tipis. Sinarnya sayup menerangi kami yang masih saja asyik duduk menikmati pantai ini. Sayup sayup terdengar lagu lama , My Way nya Frank Sinatra. Suasana semakin melankolis. Beberapa pasangan muda mudi bercengkerama di kursi kursi kayu sambil menikmati makan malam. Ada juga beberapa bule , duduk menghadap pantai . Aku dan perempuan itu masih duduk diam diam, dan astaga….secara tak sengaja kami bersiborok pandang, dan kulihat air mata meleleh di pipinya yang putih bak pualam.
Dibiarkannya air mata itu meleleh , mengalir deras. Bibirnya tetap diam. Nafasnya masih saja tenang. Matanya masih saja kosong , lurus mengarah ke laut.Tak ada suara yang keluar dari mulut perempuan itu.
Rupanya tangisnyapun diam . Dalam dendam ataupun duka perih , tak disuarakannya teriakan batin yang menderita . Dari jarak semeter darinya aku mendengar sebuah luka sedang mengalir dalam air mata perempuan itu.Perempuan aneh yang tiba tiba saja mengusik keingin tahuanku untuk menyelidik tentang jati dirinya , sekaligus permasalahan apa yang telah membuatnya sedemikian larut dalam kesedihan.
“ maaf mbak….boleh saya ambilkan tissue? “ sapaku lembut dibelakang telinganya sambil mengulurkan selembar tissue makan yang kuambil dari mejaku.
“Terimakasih “ akhirnya perempuan itu kembali bicara padaku, meski tanpa memandangku, karena matanya masih saja kosong mengarah ke langit.
Di genggamnya tissue itu , diremasnya, dirobek robeknya, hingga menjadi serpihan serpihan kecil yang terbang satu demi satu . Dibiarkannya air matanya mengalir tambah deras membasahi hingga dagu dan terus membanjiri blues tipisnya.
Aku tak tahan dengan pemandangan miris seperti ini, Jadi kuputuskan untuk berbicara padanya, siapa tahu dia mau menghentikan tangisnya dan menceritakan apa yang dirasakannya.
“ Mbak, sudahlah , jangan bersedih” kata kataku tersendat . Aku bingung hendak mengatakan apa lagi demi melihat keacuhan perempuan itu. Dia seperti patung yang menangis. Ingin kupeluk bahunya dan kuusap airmatanya. Benar benar aku ingin memeluknya. Aku bertekad, jika dalam hitungan keseratus dia belum juga bereaksi , aku akan benar benar melakukannya.
Sambil mulai menghitung, aku jadi teringat akan kekasihku , yang telah beberapa tahun ini kutinggalkan begitu saja. Demi mengejar karierku di kota minyak ini, dia kutinggalkan . Pada awalnya, jarak kami yang membentang, aku di Kalimantan dan dia di Jawa justru membuat hubungan kami istimewa. Karena sebulan sekali aku pasti pulang ke Jawa, dan itu membuat rindu kami benar benar mencapai puncak pada saat kami bertemu. Tetapi di tahun kedua, aku tak bisa lagi menunda rindu yang menumpul numpuk. Aku kesepian . Disaat itulah aku tergoda oleh seorang istri temanku. Kami berpacaran dan mulai mengenal bentuk cinta yang lebih dahsyat , daripada pola pacaran dengan pacarku yang hanya sebatas pegangan tangan, cium pipi, kecup kening dan surat surat yang basa basi.
Hingga setahun lamanya aku berpacaran dengan istri temanku , sebelum semuanya buyar oleh keputusan kami sendiri untuk menghentikannya.
Ahh, akupun melamun sendiri kini. Aku berdiri hendak menghampiri perempuan itu. Tapi kakiku benar benar kaku untuk berjalan kearah kiri, kearah perempuan itu. Akhirnya aku justru berjalan lurus kearah pagar ditepi laut itu. Kurasakan debur laut memercik ditanganku. Suara laut dimalam hari ini terdengar seram dan menakutkanku tiba tiba. Seperti dentuman,ombak menepi dan menghajar siringan batu dibawahku berpijak. Tawa orang orang disepanjang kafe kafe ini kudengar sebagai tawa hantu hutan , bercekikik panjang , menakutkan.Camar laut yang berkaok kaok semakin mengendapkan kesedihan dan kekhawatiranku. Kusadari aku telah ikut menjadi gelisah oleh penderitaan seorang perempuan aneh yang tak kukenal, bahkan namanyapun tak kutahu.

Sekonyong konyong terdengar deburan keras disertai suara debum panjang tepat dari sebelah aku berdiri. Secara refleks aku melihat kebawah, kelaut yang berjarak sekitar lima meter dibawahku. Samar kulihat sesosok manusia telah tercebur, atau menceburkan diri dibawah sana. Spontan aku teringat perempuan aneh tadi, dan kutengok mejanya telah kosong, hanya tertinggal tas nya bercokol diatas meja. Ya Tuhan…..perempuan itulah yang telah menceburkan diri ke laut. Tak sempat menanggalkan sepatu dan baju, aku terjun untuk menyelamatkannya. Tapi kucari cari didinginnya air laut ini , perempuan itu hilang , raib entah kemana. Dengan seribu keheranan , aku tetap mencari kesana sini, dan tetap tak kutemukan, meski hanya bayangannya. Mustahil dalam beberapa detik saja dia telah tenggelam, walaupun dia tak bisa berenang sekalipun.
Aneh,benar benar aneh. Tak kusadari telah banyak manusia berkumpul diatas , melongok kearahku sambil bergumam satu dengan yang lainnya. Sebagian telah datang dengan membawa senter besar, mengarahkannya menelusuri air laut yang kian dingin. Aku basah menggigil sendirian dibawah. Tiba tiba saja perhatianku tertumpu pada sebuah bayangan hitam dibawah air . Aku menyelam , menggapai gapainya, berharap itu adalah perempuan yang tadi menjatuhkan dirinya ke laut , tak kuat menahan derita dan ingin menamatkan riwayatnya. Tapi bukan, itu bukan dia. Hanya seonggok sampah yang melayang di laut.Aku berenang hingga jauh ke laut luas, didorong oleh rasa penasaran dan rasa bersalah . mengapa tak segera memeluk dan menenangkan tangisnya tadi.
Mungkin kejadiannya tak akan menjadi begini, bila tadi aku punya nyali besar.
Dingin, yang kurasakan hanya dingin kini. Aku terus mengayuh tangan dan kakiku, mencari kesana sini, tak perduli dengan teriakan orang orang disepanjang pinggir pagar menyeruku untuk kembali. Sinar rembulan membantuku menerangi laut yang maha luas ini. Seperti ada panggilan dari perempuan itu dari ujung sana memanggilku. Ya, sebuah keluhan dan erangan berasal dari arah lebih jauh lagi, membuatku semakin menjauhi pinggir pantai. Aku berenang sekuat tenagaku, hingga aku kepayahan dan…ahhh tak kuingat apa apa lagi, selain gelap dan dengung mesin memekakkan telingaku.

Langit begitu putih, tak ada awan , tak ada bintang. Ini siang? Mataku silau melihat apa yang ada disekelilingku.Ternyata aku telah berada di sebuah ruang ICCU rumah sakit Badanku sakit semua. Selang selang bergantungan dibadanku. Sebotol infus masih menetes perlahan ketangan kiriku. Kulihat bahkan kakiku telah tergantung memakai gips . Perlahan lahan aku ingat kejadian yang menimpaku. Dan kulihat seorang perempuan menjamah lembut lenganku. Kutengok dia, dan jantungku seakan hendak terloncat dari dadaku. Perempuan itu adalah perempuan aneh yang tenggelam di tepi kafe Bandar, malam itu. Senyumnya manis, mengingatkanku akan senyum pacarku dulu. Tapi astaga…matanya tetap saja kosong, tak ada cahaya, suwung , menatap kearahku. Bibirnya pucat berwarna biru. Masih mengenakan baju yang sama sewaktu kutemui di Café Ruko Bandar kemarin. Kemarin? Benarkah kemarin ? Mungkin juga kemarin lusa . Aku tak tahu berapa lama aku tak sadarkan diri disini.
Dan barulah kusadari tangannya yang lembut menjamahku tadi,ternyata telah dingin, sedingin es batu.


Bpp, Agustus 2005


Note

Suwung : kosong ( bahasa Jawa )