Sunday, April 10, 2005

PETIR
Oleh : Shanti syarif


Seingatku tak pernah sedahsyat ini petir menggelegar di kotaku. Sungguh keras bunyinya, disertai cahaya putih yang amat menyilaukan.” Duarrrrr…..” demkian membahana membuat takut seluruh makhluk yang mendengarnya.
Padahal hujaan tak turun dengan deras, hanya mendung gelap memang menggantung di langit sejak siang tadi.
Buru buru Elies menutup jendela kamarnya. Takut seandainya petir datang lagi dan menerobos masuk kerumahnya lewat jendela.
Betapa ketakutan itu juga dirasakannya, ngeri membayangkaan jika saja ia tersambar petir seperti pohon kelapa di halamannya tempo hari. Gosong menghitam dan mati.
Dering telponku ke ponsel Elies lama tak terjawab.
“Hallo….”demikian suaranya di dering yang kesekian kali
“ Elies kau baik baik saja? “ tanya ku
“ ya, hanya ketakutan saja. Sebaiknya taak usah menelepon saat banyak petir seperti ini, bahaya!” kudengar suaranya mengandung kecemasan.
“ oke, oke…jangan lupa matikan televisi dan cabut steker listrik yang tak diperlukan”
“nanti malam bermalam di rumahku ya Nan…aku takut. Suamiku dua hari lagi baru datang”
“tentu sayang , mau dibawakan terang bulan atau coto makasar lagi?”
“terserah kau saja, yang penting datang, aku takut hanya berdua dengan si kecil”
“iya, iya…setelah selesai aku mengetik berita untuk besok ya…kau tahu berita besarku hari ini?”
“ aduh Nan..jangan ngobrol sekaarang , nanti tersambar petir lho…gelombang telepon kita bisa mengundang petir “
“ iya deh….sampai jumpa nanti malam…daaaghhh”
Bersamaan dengan ditutupnya pembicaraan, kembali sebuah petir di sertai guntur menggelegar. Untung saja tak sempat menyambar sambungan telepon kami tadi.
Tapi kurasakan ada sambaran lain setiap berbicara dengan perempuan beranak satu tersebut.
Gelombang aneh yang dahsyatnya melebihi gelegar petir manapun. Benar benar maha dahsyat. Hingga sanggup membuat degup jantungku sepuluh kali berdetak lebih kencang. Padahal aku kenal perempuan bermata danau itu sudah bertahun tahun, sejak dia tinggal di depan rumahku.
Tak ada yang luar biasa saat itu. Sebagai tetangga, hubungan kami semula biasa saja. Memang ia beberapa kali mengunjungiku , mengantarkan kue bikinannya, meminjam cangkul, atau menawariku anak kucing . dan itu kuanggap hal yang biasa, hanya sekedar perhatian kepada tetangga. Kebetulan pula di kampungku kalau pagi suasana agak sepi. Rata rata para suami pergi bekerja.Anak anak sekolah. Hanya beberapa ibu rumah tangga yang suka keluyuran ke rumah tetangga atau ngrumpi di bibi sayur. Tapi tidak dengan Elise . Perempuan itu kulihat sering duduk membaca buku atau majalah di beranda rumahnya. Suaminya lebih sering dinas ke luar kota , dibandingkan berada di rumahnya yang mungill namun tertata indah itu.
“ maaf…bisakah aku meminjam cangkulmu ? tanyannya suatu hari
Lalu keesokan harinya ia membawakan sepiring kue buatannya sambil mengembalikan cangkulku.
Beberapa hari kemudian dia menawariku untuk mengadopsi beberapa anak kucingnya yang baru lahir. Tentu saja aku menolaknya. Aku tidak suka anak kucing . Juga aku tidak punya waktu untuk mengurusnya. Pekerjaanku sebagai reporter salah satu harian terkemuka di kotaku tak bakal menjanjikan aku bisa mengatur waktu untuk memelihara beberapa ekor anak kucing.
“aduh, anak kucingmu memang lucu lucu, tapi siapa yang akan merawatnya? Aku terlalu sibuk bekerja, dan kau tahu sendiri khan, aku tinggal sendirian di rumah ini…takut malah nanti kucingnya mati kelaparan ”
Tapi setelah itu , Elise selalu datang di pagi hari, disaat aku baru bangun tidur , setelah begadang mengejar deadline.
Ada saja yang disampaikannya padaku. Ceritanya selalu menarik.
Humor humor segarnya mampu membuat kantukku hilang.
Pembawaanya selalu ceria , seolah manusia yang tak pernah mempunyai beban, meski aku tahu bahwa ia menyembunyikan sesuatu. Suatu beban yang teramat sarat. Entah apa itu.


***
Benar yang selama ini kusangka. Pagi itu gerimis membasahi kota kami. Suasana temaram dan dingin membuat kantukku semakin meraja lela setelah semalam begadang , aku pulang jam 2 subuh.
Ting tong bell rumahku berbunyi berkali kali, barulah aku terbangun, masih dengan mata yang setengah terpejam. Hanya dengan singlet dan celana kolor ,aku membukakan pintu .
Ternyata Elise. Masih dengan daster tidurnya. Terlihat matanya sembab , dan di sekitar kelopak mata kirinya lebam membiru. Segera ia menghambur ke pelukku, mendekapku sangat erat sambil meledakkan tangisnya ,hingga aku sempoyongan hampir terjatuh di terjang tubuhnya yang mungil. Ya mungkin karena aku masih sangat mengantuk , dan tubuhku khan juga mungil.
“ Nan….aku tak tahan lagi….” Isaknya kemudian.
“sabar,sabar…tenangkan dulu dirimu , baru kau ceritakan apa yang telah terjadi” sambil ku bimbing dia ke kamar tidurku yang masih acak acakan. Kuambilkan segelas air putih, lalu kuseka pula lebam biru bekas tinju suaminya.
Itulah mula mula .
Di kamarku yang pengab oleh asap rokok dan bau bir yang menyublim memenuhi udara , kisah demi kisah diceritakannya. Tentang suaminya yang punya istri simpanan, tentang mertua yang cerewet minta ampun, sampai pada hal hal yang paling pribadi.
Aku tak pernah menyalahkan Elise kenapa dia selalu bercerita dan mencurahkan kata hatinya kepadaku. Yang aku tak mengerti, mengapa perasaanku selalu tak menentu , saat setiap ia datang, menangis, dan kemudian lelap di pangkuanku setelah tertumpah semua unek uneknya. Padahal belaiku tulus, nasehatku tulus, dan juga semua yang dia butuhkan, kuberikan secara tulus. Dia pun tak pernah menyangka aku menyimpan rasa rahasia yang akhir akhir ini telah memabukkanku, menyiksaku.
Pernah suatu malam, dia nekad ingin bermalam di rumahku.
“ waduh….nanti kau di cari suamimu , Lies” dalihku
“ sudahlah, tidak mungkin dia mencariku, dia datang dengan isttri mudanya” sambil terisak ia memintaku membukakan pintu.
Dan sepanjang malam ia terus bercerita tentang kebejatan suaminya, tentang kebenciannya kepada lelaki. Dan aku semalaman itu juga tak bisa tertidur, sibuk mengatur perasaanku sendiri yang semakin aneh menjeratku.
Berbatang batang rokok telah ku hisap, bahkan setengah botol Balley telah ku teguk. Masih saja tak membuatku tenang. Bahkan membuat khayalanku melambung tinggi. Apalagi saat Elise merebahkan badannya di saampingku. Rupanya ia kelelahan. Tangis dan ceritanya tak selesai ,ia terhanyut oleh mimpi .
Kupandangi raut wajahnya yang sayu. Hidungnya mancung,, bibirnya merah mungil, bulu matanya lebat dan alisnya bak semut beriringan membuat wajah ayu itu nyaris sempurna. Bak bidadari , batinku.
Dan aku masih saja terjaga hingga ayam berkokok. Kenanganku terbang ke tujuh belas tahun silam. Ketika aku mengenal cinta pertama, menikmati indahnya berbagi cinta, dan terhempas sesudah kekasihku berkhianat. Bertahun tahun kemudian aku patah hati. Bertekad tak akan jatuh cinta pada siapapun juga. Di tahun yang sama , bapakku kawin lagi. Dengan demikian ibuku yang memilih diceraikan , mengandalkan aku sebagai tulang punggung keluarga. Tak sempat kuliah ,aku hanya kursus ini itu, sampai akhirnya di terima bekerja sebagai reporter berita hingga saat ini. Dan memang aku tak pernah jatuh cinta lagi , baru kali ini lagi.
“ Nan….kau belum tidur juga? “ tiba tiba Elies terjaga dan melihatku masih melamun di sudut kamar
“ tidurlah lagi Lies…aku belum ngantuk “ sahutku
Tapi Elies justru menarik tubuhku, dan memelukku. Matanya masih terpejam, dan dengkur halusnya terdengar menandakan lelap tidurnya dibelai oleh damai elusku di pipinya yang ranum.
Tak terasakah olehnya bahwa jantungku berdegup tak karuan setiap menyentuhnya, menatap matanya, mendengar suaranya?
Memang aku pandai meredam semua galau ini. Tak mungkin aku bilang bahwa aku benar benar menyukainya,bahkan mencintainya.
Tapi mengapa dia juga selalu datang padaku, di saat suka dan dukanya? Mengapa dia seakan memancingku , dengan bermanja manja, dan minta perhatianku? Mengapa wajahnya juga bersemu merah ketika aku pandangi dia lama lama? Mengapa rindu ini menghentak hentak ketika dalam sehari aku tak menjumpainya?

***
“ Nan….aku memutuskan untuk bercerai saja dari suamiku” seperti petir menggelegar , berita itu kudapatkan dari bibir Elies hampir tanpa akspresi
“ Liess….” Tak kuteruskan kata kataku .
Hanya pelukan hangatku mengalirkan semacam kekuatan baginya.
Perasaanku bercampur aduk. Antara kasihan dan bahagia. Kasihan karena sebagai perempuan, dia akan menyandang status janda, belum lagi ia punya satu anak yang harus di besarkannya tanpa kasih bapaknya. Bahagia karena ia terlepas dari derita tekanan batin di dera fisik dan mental oleh suaminya yang berkhianat itu.
Bahagia karena mungkin ia akan lebih dekat denganku. Hah…denganku? Aku mengigit bibirku sendiri, memastikan bahwa ini bukan mimpi.
Demikianlah hari demi hari , Elies semakin sering besamaku. Jalan bersama, nonton bersama, makan bersama,, bahkan anak semata wayangnya pun telah akrab denganku.
Kami sering tukar pikiran, berdebat, dan tak jarang berakhir dengan pertengkaran kecil. Aku menyadari inilah cinta . Betapa aku tak bisa terpisah oleh bius perempuan lembut itu.
Aku sering cemburu jika mendengar ia bercakap dengan lelaki kenalannya di telepon. Atau saat dia berceloteh manja tentang pertemuannya dengan Anton, Arif , atau siapapun .
Aku semakin merasakan denyutan cinta , melebihi sayang yang seharusnya terjadi.
Tetapi apakah dia akan mengerti, menerimaku , ataukah justru kabur tak mau lagi menemuiku? Jika terus terang ku katakan bahwa aku begitu mencintainya?
Sementara kami semakin dekat kini. Malam malam selalu kami lewatkan berdua , atau bertiga dengan si kecil anaknya.

***

Senja tampak layu. Percikan hujan masih membasahi rambutku.
Setelah selesi meliput nara sumber yang luar biasa bawelnya, akhirnya aku pulang ke rumah. Ya, semenjak bercerai, Elies telah tinggal bersamaku. Rumahnya yang dulu di kontrakannya.
Aku berharap Elies menyambutku di muka pintu seperti biasa, dengan senyum manisnya.
Tapi ku cari cari , tak kutemukan dirinya. Hanya wangi parfumnya menuntunku ke serambi samping rumah. Rupanya ia barusaja selesai menerima telepon, entah dari siapa.
“ Hai sayang…”ku kecup pipinya seperti biasanya
“ Nan……..aku ada kejutan !” dengan ceria ia merangkulku
“ sabar…aku mandi dulu ya….’sahutku sambil melepas sepatu dan jaket kulitku.
“ Nan…..dengar Nan, aku barusan di lamar sama Eric, pacar pertamaku. Ternyata dia belum kawin juga . Barusan orangtuanya dari Brunai meneloponku “ cerocos Elies tanpa ampun. Seakan petir di siang hari menyambarku.
“ Lalu kau mau? “ seperti api yang membakar ,tiba tiba kerongkongaku tercekat.
“ Ya entahlah…Nan, tapi kurasa aku bisa kembali mencintainya . Dulu memang akulah yang meninggalkannya, kawin dengan suamiku yang brengsek itu’
Dunia terasa gelap. Petir yang datang sahut menyahut seakan meluluhlantakkan hidupku untuk yang kedua kalinya. Aku benar benar limbung.
Tak kusentuh kopi hitam Arabica kesukaanku yang di suguhkan perempuan pujaan hatiku itu. Pikiranku menerawang. Tapi tetap kusembunyikan kekecewaan yang mendalam itu dari Elies. Aku tetap tak ingin tahu bahwa aku begitu mencintainya, tak ingin kehilangan dirinya.
Kalau sudah begitu aku hanya menyesal , mengapa di lahirkan sebagai perempuan, kalau kenyataannya aku juga mencintai seorang perempuan. Penampilanku yang maskulin tetap tak bisa menguibahku menjadi lelaki. Dan Elies juga tak kunjung mengerti bahwa cinta itu tersemat hanya untuk dirinya. Oleh karena itu, aku tetap bungkam. Tetap bersandiwara. Sampai pada saat Elies menikah lagi dengan Eric.
Dan seperti yang diharapkan, Elies masih saja dekat denganku hingga bertahun tahun kemudian. Tanpa curiga , tanpa tendensi apa apa.Dan aku, seorang perempuan ‘‘sakit’’ bernama Nania, terus mencintai Elies, meski tanpa kata kata. Lebih daripada seorang pria mencintai istrinya.





Balikpapan 25 Maret 2005

Lengking Tangis Lelaki
Oleh :Shanti syarif


Hutan yang kulewati ini seperti labirin panjang, menghubungkan kepompong satu dengan kepompong yang lainnya. Sambung menyambung. Seperti rangkaian kelebat hijau pegunungan , namun terletak di dataran sedang.
Tetap saja bernama hutan, meski telah banyak berubah dari hutan yang sebenarnya. Seperti kepala seseorang , hutan ini tampak botak di sana sini. Atau nampak lempak , karena ketingggian yang tak rata, bila di lihat dari atas.
Hutan kecil yang bernama Bukit Suharto ini selalu kulewati dalam perjalananku ke Samarinda, bertolak dari Balikpapan.
Nama yang cukup aneh menurutku. Bagi masyarakat awam sepertiku , rasanya aku tak perlu menanyakan kenapa harus dinamakan bukit Suharto.
Yang ada di pikiranku ya tentu karena ia pernah menjadi orang nomer satu sekaligus penguasa negeri ini. Mungkin suatu saat ada juga hutan bernama bukit Megawati atau Bukit SBY. Hanya hati kecilku menanyakan kenapa bukan dinamai saja dengan bukit Tjuk Nyak Dien ? Entahlah. Mungkin nama nama pahlawan kita yang telah gugur lebih pantas diteguhkan sebagai nama nama jalan raya atau nama gedung gedung. Tak tahulah. Yang jelas saat ini aku sedang terangguk angguk di dalam bis yang akan mengantarkanku ke kota Samarinda.
Ya, Samarinda, tempat aku bermula mula mengenal cinta.
Sepanjang jalan dari Balikpapan tadi aku memang sudah terasa tak sehat.
Ulu hatiku agak terasa sakit. Mungkin angin yang menohok sejak kemarin belum juga sempat keluar , ditambah lagi aku tadi terlambat makan.Mual aku jadinya.
Dan saat ini aku agak pusing dan hampir mabuk darat oleh kelak kelok jalanan , terutama di sepanjang Bukit Suharto ini.
Untung saja jalanan telah diaspal bagus dan mulus. Jadi tak perlu lagi kendaraan berjalan pelan terangguk angguk seperti beberapa tahun yang lalu. Kalaupun aku kini terangguk angguk di dalam bis yang melaju kencang, itu sebab sopir bis in yang agak kurang ajar mengendarai . Kadang terlalu menikung curam, dengan laju yang tak dikurangi. Atau kadang memainkan rem seperti anak yang sedang belajar menyetir kendaraan. Huh….tambah di buat pusing aku karenanya. Sehaarusnya dia tahu bahwa di jalan yang penuh dengan kelokan dan belokan tajam ini, bis tak usah saling balap dengan perusahaan bis lainnya. Toh jarang ada penumpang yang menyetop naik di tengah jalan dan bukankah bis telah hampir penuh?
“ mau kemana Mbak?” sapa lelaki yang sedari tadi duduk di sampingku
“ Samarinda” sahutku pendek
“dari Balikpapan juga?” tambahnya
“iya” sambil kulirik aku menjawab seadanya. Tampaknya orang ini karyawan pelabuhan, terlihat sekilas dari seragamnya.
“ nampaknya hari akan hujan ya , padahal dari Balikpapan tadi terang benderang?“ lanjutnya
“ mungkin, tapi bukankah memang tipe cuaca di sini sering berubah ubah”
Aku jadi teringat saat pertama kali aku datang menginjakkan kakiku ke Bumi etam ini , tiba tiba hujan deras menyambutku di Bandara Sepinggan , Balikpapan. Padahal di tanah kelahiranku , Yogyakarta , telah berbulan bulan kemarau mendera. Saat itu kukira hujan salah mangsa atau hujan buatan yang sengaja di tujukan untuk para petani , seperti di Jawa sana. Tetapi ternyata bukan . Ini hujan asli karena untuk apa di buat hujan buatan jika disini tak banyak sawah dan petani?. Ya , begitulah keadaan cuaca disini , kadang terang benderang , lalu sekejab muncul awan gelap yang membawa hujan deras , kadang pula disertai petir yang menggelegar , dan di menit berikutnya tiba tiba kembali terang dan cerah berawan.
Tapi pernah juga ketika kemarau panjang datang, benar benar hujan tak pernah turun selama berbulan bulan. Tapi setahuku , di sini musim penghujan tak seperti di Jawa , yang selama berhari hari hujan terus menerus. Melainkan selang seling dengan matahari yang bersinar , meski malu malu.
“ Saya juga mau ke Samarinda , Mbak” suara lelaki di sampingku membuyarkan lamunanku.
“ Oh “ aku mengangguk. Sebenarnya aku tak ingin banyak berbicara didalam perjalanan ini. Kepalaku yang berdenyut dan perutku yang agak mual membuatku malas mengobrol . Tetapi lelaki yang kemudian mengaku bernama Hasyim ini sepertinya sedang menggebu ingin bercerita padaku. Lelaki yang kira kira berumur 30 tahun , bersuku Bugis , kentara dari logat bicaranya. Sepertinya juga dia sedang menyimpan kesal entah pada siapa, terlihat dari sikap duduknya yang agak gelisah sedari tadi.Kadang dia tampak bergumam sendiri, kadang sibuk memencet mencet tombol handphone , meski aku tahu di daerah sini tak ada sinyal dari provider manapun.
“ mbak orang asli mana?” tanyanya lagi.
“ jawa” jawabku singkat
“ sudah bersuami?”
Ah, mengapa pula dia bertanya tentang statusku. Aku mulai jengah . Pertanyaannya sungguh tak membuatku nyaman. Aku memang pernah bersuami, tapi itu hanya bertahan tiga tahun. Membuahkan satu orang anak . Mantan suamiku kini telah kawin lagi dengan perempuan satu sukunya, Mandar .Suku yang cukup terkenal di Sulawesi Selatan.
“ Iya, sudah . Anak saya satu “ akhirnya aku menjawab juga, demi melihat lelaki itu menunggu jawabanku.
“ wah, enak suami Mbak , kawin dengan orang Jawa”
Aku kaget . Apa enaknya kawin dengan orang Jawa? Buktinya suamiku meninggalkanku dan kawin dengan orang satu sukunya. Cinta tak kenal suku, menurutku. Atau jangan jangan Hasyim ini sekedar ingin menggodaku, melontarkan awal rayuan gombalnya ? Meskipun aku tahu dari sekilas kata kata dan attitude yang kutangkap sedari tadi, dia bukanlah tipe lelaki buaya murahan yang suka menggoda wanita , iseng iseng mengharapkan teman kencan setiba di tempat tujuan,seperti para pekerja kasar di pelabuhan yang terkenal playboy. Tidak, dia tak tampak seperti itu. Dia kelihatan sopan . Dari caranya berbicara juga menampakkan dia orang berpendidikan, setidaknya lulusan SLTA, terkaku. Lalu mengapa dia menanyakan statusku segala? Untuk keperluan apa? Dan setelah kujawab bahwa aku adalah orang Jawa, dia “menuduh” suamiku enak kawin denganku. Tapi lagi lagi aku menampik pertanyaanku sendiri. Bukankah disini wajar saja orang menanyakan status keluarga , suku apa ,dan bahkan menyimpulkan pendapatnya sebelum memperoleh cerita yang sebenarnya. Mungkin setelah ini dia akan menanyakan pekerjaanku, berapa gajiku dan harta benda apa saja yang ku punya. Lalu ia akan kembali merayuku supaya mau menjadi istrinya, andaikata ia telah pula tahu statusku yang sebenarnya. Aku jadi tertawa geli dalam hati.
“ tidak perlu pakai jujuran” terusnya tiba tiba
“ oh ….iya “ gugup aku mengiyakan sekenanya.
Astaga, ternyata itu yang di pikirkannya. Jujuran. Jadi sedari tadi ia memikirkan betapa enaknya menikah dengan orang Jawa, yang tak mengenal tradisi jujuran. Bagi suku Bugis , Mandar, Bone , Makassar, dan Banjar yang banyak terdapat di Kalimantan Timur ini, rata rata masih menerapkan tradisi jujuran, yakni penyerahan uang sejumlah tertentu yang diminta oleh pihak keluarga calon pengantin perempuan kepada calon pengantin laki laki, sebagai simbol bahwa si perempuan telah di “beli”. Versi yang lain mengatakan bahwa itu adalah gambaran bahwa pihak lelaki benar benar berniat mengawini si gadis. Tapi yang terjadi adalah, semakin besar jujuran yang di berikan , menunjukkan status kekayaan dan gengsi si pengantin perempuan.
Aku jadi malu dengan praduga pradugaku sedari tadi. Rupanya Hasyim ini sedang galau memikirkan jujuran buat kekasih yang akan dikawininya dalam waktu dekat ini.
Dengan panjang lebar dia bercerita tentang pacarnya itu, bernama Masnia . Perempuan yang juga satu suku dengannya. Telah menjalin kasih selama lebih dua tahun. Dan saat ini tengah hamil dua bulan, tentu saja Hasyim mengakui bahwa itu adalah anaknya.
Keinginannya menikah sudah diutarakan kepada orang tuanya. Hanya saat orangtuanya pergi melamar “si gadis”, keluarga perempuan memasang tarip jujuran yang teramat tinggi buat Hasyim yang hanya karyawan kecil.
“ Uang sebanyak dua puluh juta bagi saya itu sangat banyak Mbak, perlu dua atau tiga tahun untuk mengumpulkannya. Gaji saya paling tinggi sejuta sebulan , itupun kalau banyak lemburnya”
Aku terhenyak. Malu rasanya , meskipun dalam hati aku tadi mengira dia akan menanyakan dimana aku bekerja, berapa gajiku, ternyata justru dia yang tanpa kutanya telah menerangkan berapa jumlah gajinya. Sebenarnya bagiku membicarakan jumlah gaji adalah merupakan hal yang masih setengah tabu.Sama halnya mengutarakan bahwa aku kini janda.
“ Dua puluh juta ? Hanya untuk jujuran saja?”
“ya, hanya untuk jujuran saja. Itu untuk biaya pesta, biaya makan keluarga besarnya yang akan didatangkan dari kampung halaman kami, Sulawesi Selatan. Belum termasuk biaya akad nikah dan catatan sipil” matanya menerawang. Aku merasakan kegundahannya.
Hujan benar benar datang. Tiba tiba saja menderas, mengembunkan kaca kaca bis kami. Pak sopir menurunkan kecepatan , karena terlalu berbahaya kalau tetap berjalan ngebut dikala hujan deras begini .Jalanan licin dan kelokan kelokan masih banyak di depan. Perjalanan masih sekitar satu jam lagi. Bisa lebih jika hari hujan begini.
Hijau pepohonan tampak basah. Langit memang gelap. Rupanya hujan akan turun agak lama. Sayup sayup lagu lama milik Nia Daniati masih sendu mengalun di bis non AC ini. Bercampur dengan asap rokok dan bau masam keringat para penumpang yang beraneka rupa. Kepalaku makin berdenyut , perutku mual. Kuambil permen di tasku. Kutawarkan juga ke Hasyim yang asyik melamun.
“ apakah tak ada jalan keluar yang lain? “ tanyaku kemudian
“ maksudnya?” sambil memandangku tajam ,Hasyim seolah menemukan teman berpikir mencari jalan keluar.
Aku gugup tak menemukan jawaban. Kuakui aku baru saja melontarkan pertanyaan bodoh, hanya basa basi. Karena sebenarnya aku juga tak menemukan adanya pilihan lain. Aku sedikit banyak telah mengerti tentang adat perkawinan suku Bugis. Tentang rangkaian upacara yang panjang dan cukup rumit. Tentang biaya yang tak sedikit. Tentang jujuran yang telah di tetapkan. Ya ini karena aku telah mengalaminya sendiri. Aku pernah menikah dengan lelaki Mandar, yang notabene berdekatan atau bisa dikatakan hampir sama dengan suku Bugis. Aku dulu menikah dengan adat Mandar, pakaian Mandar. Biaya besar .Hanya ada bedanya. Kebetulan keluarga besarnya sudah menetap di Pulau Kalimantan ini, di kota Balikpapan dan sekitarnya. Jadi tak terlalu banyak biaya dikeluarkan untuk mengundangnya dari Sulawesi. Satu lagi kebetulan yang mestinya disyukuri oleh suamiku, adalah karena aku orang Jawa yang tak menuntut berapa jumlah jujuran. Saat itu keluargaku tak memasang tarip buat suamiku. Terserah berapa jumlah uang yang bisa diserahkan untuk menambah biaya pesta. Meski sebagai orang Jawa ada juga tradisi peningset, tapi kebetulan keluargaku tak menerapkannya secara saklek. Cukup dengan jumlah tabungan yang kami kumpulkan berdua, kami dulu menikah secara sederhana .
Tapi itu bukanlah jaminan bagi kelanggengan suatu rumah tangga. Buktinya suamiku sekarang lebih memilih kawin lagi dengan perempuan sesuku, yang kudengar juga menuntut jujuran dari suamiku di acara perkawinannya.
Entahlah….napasku terasa sesak saat ini. Teringat kenangan buruk pertengkaran demi pertengkaran yang telah mengantarkan kami ke perceraian. Barangkali memang sudah tak jodoh, yahh..mau diapakan lagi.
“ Mbak…saya jadi bingung sekali. Inginnya lari dari kenyataan. Sebab bilapun seluruh harta benda saya dijual, tak akan cukup untuk memenuhi tuntutan orangtua Masnia. Keluarga saya juga miskin, hidup pas pasan . Saya hanya mengingat perut pacar saya yang pasti bertambah besar sejalan hari hari yang saya tunda untuk menikahinya” keluh Hasyim berikutnya.
“ orang tua pacarmu sudah tahu tentang kehamilan anak gadisnya?”
“ sepertinya sudah, meski kami tak memberitahukannya secara langsung”
“dan orang tuanya tetap memasang tarip begitu besar?”
“ya, sebenarnya dua puluh juta itu sudah saya tawar. Sebelumnya mereka meminta tiga puluh lima juta”
“ bagaimana jika kalian nekad menikah diam diam saja, tak usah mengadakan pesta yang megah?
“Itu tak mungkin Mbak. Keluarga pacarku orang terpandang. Keturunan raja raja. Tak mungkin menyelenggarakan perkawinan tanpa pesta besar”
Percakapan kami terhenti oleh bis yang berhenti mendadak di daerah Loa Janan , sekitar setengah jam menuju ke Samarinda.
Ada kecelakaan rupanya.
Sebuah sepeda motor bebek bertabrakan dengan sebuah mobil truk bermuatan pasir.
Deretan kendaraan seperti semut merayap di jalanan yang becek oleh hujan . Bis kami juga berjalan sangat pelan ,semakin mendekati lokasi kecelakaan. Penumpang bertambah gerah. Banyak yang bergumam tak jelas. Tapi samar samar dari orang yang berdiri diluar kendaraan, aku mendengar berita tentang para korban kecelakaan itu . Khabarnya penumpang sepeda motor yang terdiri dari perempuan dan lelaki muda tewas seketika , terseret dan tergencet roda truk. Kepala perempuan itu bahkan remuk terhantam aspal jalanan. Aih…aku bergidik dibuatnya. Hasyim tampak sangat gelisah. Mungkin dia masih memikirkan jujuran yang harus di penuhinya.
Bis berjalan melewati lokasi tabrakan. Terlihat ceceran darah tertumpah di aspal yang basah. Polisi sibuk mengatur jalanan yang macet. Kerumunan orang masih merubungi korban yang tergeletak di tengah jalan. Aku tak tega melihatnya. Kulihat juga motor yang ringsek berat hacur tak beraturan terserak di pinggir jalan. Hasyim tiba tiba berdiri dan berteriak histeris.
“Masnia…Masnia….itu Masnia !! “ beringas dia turun dari Bis yang masih berjalan pelan.
“ Itu Masnia..baju Masnia, motor Masnia “
Tak sadar aku mengikuti lelaki itu turun dari bis.
Di sibaknya kerumunan penonton di sekitar mayat korban. Dan benar , Hasyim memeluk mayat wanita yang kepalanya remuk berdarah itu. Tangisnya pecah ,mengoyakkan langit yang tampak ungu menurunkan hujan yang bertambah deras.
Rupanya dari baju dan motornya , dia yakin bahwa korban kecelakaan itu adalah kekasihnya, calon pengantinnya. Dimana telah tumbuh di rahim perempuan itu sebakal bocah penerus keturunannya.
Hasyim masih meraung raung sambil mendekap mayat yang berlumuran darah itu. Bajunya ikut merah oleh darah .Wajahnya merah oleh darah . Terus diciuminya calon pengantinnya . Sambil meninju ninju dadanya sendiri.
Aku tak tega memandangnya. Hanya berdiri tertegun dengan jarak semeter dari mereka Seperti mimpi ini terjadi. Dan kudengar Hasyim menyebut nyebut sejumlah angka rupiah. “ Dua puluh juta…aku akan mendapatkan dua puluh juta untuk menikahimu, Masnia …tapi kenapa engkau tak sabar Masnia?” Lelaki itu masih berteriak histeris kala sejumlah orang merangkul dan menenangkannya. Jenazah Masnia, dan satu lagi yang ternyata kakak lelakinya segera diangkat kedalam mobil ambulan yang melengking.
Melengkingkan tangis lelaki yang merasa terlambat mencari uang dua puluh juta.
Melengkingkan nasib perempuan yang di jemput ajal dengan cara yang tak disangka sangka.


Balikpapan, Maret 2005

JENIS KELAMIN
oleh : Shanti syarif


Sekotak permen telah tertumpah di lantai. Warna warni pembungkusnya memancarkan kilat lampu . Wangi parfum perempuan itu juga memancar ke segala penjuru ruang.
Keharuman bvulgari ,asli dari Prancis menari nari di setiap puck hidung yang menghirupnya. Ruang dansa telah ramai. Beberapa pasangan tampak asyik melantai. Beberapa diantaranya sangat tampak mesra berpelukan, berciuman, dan bahkan meraba raba bagian tubuh pasanganya. Mungkin mereka mabuk, terlalu banyak minum bir atau sebangsanya.
“Boleh kutemani duduk, nona?”sapa seorang lelaki berpakaian perlente.
Dan perempuan itu mengangguk,sambil terus mengaduk aduk segelas gin tonic di hadapannya.
“wah…anda harum sekali, parfum anda apa?”goda lelaki itu
Hanya dengan senyuman, perempuan itu menjawab, lalu sebatang rokok dinyalakannya.
Pikirannya melayang. Tidak mabuk, hanya agak melayang. Menggapai gapai sesuatu. Mungkin itu adalah keinginan yang tersembunyi. Atau sekedar metafora dari bayangan bayangan semu yang selama ini menggodanya.
“tambah lagi minumnya? “tawar lelaki itu menyadarkan lamunan Sisi.
“terimakasih, tidak usah, ini sudah gelas ke tiga”jawab Sisi seadanya
Laki laki itu kembali memandangi Sisi, dari ujung kepala hingga kaki.
Mungkin dia heran dengan penampilan Sisi . Tidak selayaknya penyanyi bar yang mengenakan pakaian seksi dan penuh gemerlap payet payet. Perempuan itu selalu berpakaian biasa , hem lengan pendek dipadu dengan rok mini atau celana jeans ketat. Tidak memakai kalung dan gelang bergemerincingan ,tidak memakai stocking dan sepatu jeangle berhak 12 cm.Dan tidak memakai make up tebal seperti dempul berwarna warni.
Sisi seperti bidadari yang terlempar dari surga ke tempat kumuh itu. Tampak manis dan sedap di pandang mata, meski dandanannya biasa saja. Suaranya merdu halus mendayu. Setiap dia mulai menyanyi menghibur para pengunjung, selalu mengundang decak kagum dan keheningan di tengah hiruk pikuk bar. Semacam mantera yang dilantunkan, lagu lagu Sisi menghipnotis seluruh pendengarnya untuk mendengarkan secara seksama.
Tidak sama seperti penyanyi penyanyi lain teman Sisi, yang hanya pandai menjual goyangan dan mendatangkan suitan panjang penonton , tanda birahi bangkit, mengharap si penyanyi segera turun dan mengadakan transaksi.
Meski begitu tak jarang Sisi juga didekati beberapa lelaki yang mengajaknya berkencan.
Tentu saja permintaan itu tak pernah di ladeninya. Bukan karena takut citra nya tercoreng , karena di jaman sekarang ini, siapa yang butuh citra? Bukan juga karena ia tak butuh uang tambahan . Sebagai janda beranak satu yang masih harus mengurus ibunya yang sakit sakitan tentu membutuhkan banyak biaya.
Sisi tak bisa meladeni permintaan para lelaki itu , ya karena memang hati nuraninya tak pernah mengijinkanya.Meski nafsu birahi selalu datang seiring dengan aliran darahnya yang terisi luapan alkohol dan rabaan lelaki hidung belang. Sisi selalu menepisnya dengan benteng yang sangat kuat. Bukan karena iman atau keyakinannya . Tetapi karena sebuah trauma yang pernah menghentak hidupya, 8 tahun yang lalu.

“Sis….sudah waktunya menyanyi tuh…dari tadi ngelamun aja sih….”sikut Lala sambil duduk di kursi tinggi sebelah Sisi.
Sisi lalu melangkah , menuju panggung . Diambilnya mike dan segeralah alunan merdu sayu dari hatinya mengalir memenuhi altar bar, merembes ke lantai pengunjung, ke lantai ruang duduk, ke sudut sudut ruangan yang pengap itu, ke segala penjuru gedung di lantai enam itu,dan akhirnya memenuhi seluruh bangunan berlantai tiga puluh itu.
Kesedihan yang di lantunkannya lewat tembang tembang lama meruntuhkan perasaaan berbagai macam manusia. Mendayu, sayu dan nyaris tanpa pengharapan.
Cermin dari hidup Sisi yang bertahun tahun terbengkelai di sudut kota ini.
“ Pram, semoga hidupmu bahagia entah di ujung dunia sebelah mana….setelah kau terlantarkan aku waktu itu……”begitu selalu bisik Sisi sebelum dan sesudah ia menyanyi.
Seluruh lagunya di tujukan bagi lelaki bernama Pramudya itu. Yang telah memberinya teman hidup , seorang bocah mungil yang kini berumur 7,5 tahun.
Cintanya tetap hidup bagi Pram, meski cinta tersebut tumbuh bersama sebongkah dendam dan bebatuan sesal yang mengganjal .
Cintanya tetap suci dan putih , meski terkadang hitam berkerak.
Tapi sekalipun Sisi tak pernah berpaling. Demi Pram dan Bintang, anak semata wayangnya.
“Nduk…cobalah pikirkan lagi lamaran si Burhan itu. Dia lelaki yang baik dan hidupnya mapan meski usianya sudah kepala empat’bujuk ibu Sisi suatu kali
atau ‘ Sisi……malam ini pak Warsito, boss pabrik kayu itu mau menemuimu di room 734. Dandan yang rapi ya, dia khan banyak duit . Ayolah jangan bodoh seperti kemarin itu, menyia nyiakan kesempatan “ rayu Lala
atau “Non…..parfum anda sama seperti mendiang istri saya, wajah dan suara anda juga mirip . Bagaimana kalau malam ini ijinkan saya menikmati suara anda hanya khusus buat saya, di rumah saya ? siapa tahu kita cocok dan berjodoh” gombal pria tambun yang mengaku duda .
atau “ Mbak , malam ini cantik banget deh….bisa jalan sama aku nggak malam ini? Hanya ke Mall atau ulang tahun teman . Setelah itu kita bikin party sendiri deh….” bisik seorang anak muda tampan di telinga Sisi.
Atau “ Neng….berapa taripmu buat long time? Kayaknya kamu asyik juga , klasik begitu biasanya justru mengundang nafsu….” Dengus seorang lelaki berbau alkohol .
Beragam godaan telah tumpul di otak Sisi. Dari rayuan maut duda dan bujang tua untuk mengawininya, hingga pria hidung belang yang mengajaknya bercinta semalam, juga pemuda bau kencur yang terpana dengan kecantikannya .
Semua sia sia di hadapan Sisi. Semua luruh tanpa guna. Tempatnya bekerja sekarang inilah yang mengkondisikan ia di tempa dengan banyak godaan. Bukan keinginan Sisi untuk bekerja sebagai penyanyi Bar .Tapi tak ada pilihan lain waktu itu . Kemampuannya hanya menyanyi, selain mencintai. Ijazah ia tak punya.

********
“ Malem Sisi…..duh cantik bener hari ini…dan parfummu…wuihhhh bikin aku deg deg an deh” goda Pak Manager Bar tempat Sisi bekerja
Dan seperti biasa , Sisi hanya mengangguk sambil menebarkan anggun lewat senyum monalisanya.
“Oh ya Sis….tadi siang aku telah bertemu dengan seorang produser Studio rekaman yang telah lama mengincar suaramu untuk direkam.” ujar pak Manager bersemangat
“ Dan atasannya akan langsung datang dari Jakarta hendak menemuimu malam ini . Nyanyilah sebagus mungkin malam ini. Supaya Boss Studio Rekaman itu benar benar tertarik dengan suaramu dan merekamnya. Siapa tahu kau jadi artis tenar nanti ….he he he….” lanjut pak Manager.
Sisi tak langsung menanggapi . Pikirannya masih nglambrang, terbius 4 sloki Tequila , traktiran teman Lala yang juga kecewa tak berhasil menyeretnya ke kamar .
Rekaman? Ah andaikata itu benar benar terjadi , ia akan mempersembahkannya untuk Pram dan Bintang, juga ibunya. Sebagai penyanyi yang telah malang melintang di sejumlah bar dan klub malam, tentu tawaran rekaman adalah sesuatu yang di rindukan.
Sisi terdiam seperti biasa. Hanya bibirnya mengumam”….Pram, semoga hidupmu bahagia entah di ujung dunia sebelah mana….setelah kau terlantarkan aku waktu itu……”cintanya bergaung di tengah kebisingan .
Malam bertambah tua . Lagu demi lagu mengalun , mengalirkan lagi kesedihan demi kesedihan . Luka demi luka . Bagai pintu yang berderit derit , seonggok kenangan lama yang teramat pahit itu tiba tiba terbuka. Mengalirkan darah segar yang memancar….menggenangi seluruh lantai tempat orang orang berdiri.
Ketika itu Sisi hampir saja pingsan , begitu tatapan matanya bertumbukan dengan sepasang mata elang milik Pram . Dan jabat tangan Pram dibelakang panggung bar benar benar membuat Sisi limbung. Ternyata Boss Produser Rekaman itu adalah Pramudya , lelaki yang telah meninggalkannya bertahun tahun lalu, saat di perutnya tumbuh janin berusia 3 bulan.
“Apa khabar Sisi ….aku benar benar tak menyangka bahwa kau lah penyanyi yang di incar talent hunter ku’ gemetaran Pram membuka percakapan.
Sisi tak kuasa untuk menjawab, pikirannya sungguh kacau. Antara percaya dan tidak bahwa ini adalah kenyataan.
Pram menarik tangan Sisi, menjauhi pak Manager Bar dan Tallent Hunter yang sepertinya mengerti keadaaan itu.
“Sisi…maafkan aku, sungguh aku tak bermaksud menelantarkanmu saat itu. Aku hanya menuruti orang tuaku untuk menjauhimu, karena perbedaan agama kita” bisik Pram sambil menggenggam tangan Sisi yang seketika dingin berkeringat.
‘Sisi….katakan padaku, apakah jenis kelamin bayi yang kau kandung waktu itu? Siapakah namanya? Apakah mirip denganku?” cecar Pram sambil mendengus dengus, nafasnya berbau bir.
Sisi benar benar linglung, tak kuasa dia menjawab.
Batinnya berkecamuk “Enak saja kau berdalih demi anjuran orang tua untuk menjauhiku , sementara aku hampir gila menanggung malu. Hampir mati ketika melahirkan bayimu, dan hingga kini menghidupinya seorang diri”
Malam berubah menjadi hening dan sepi. Debar jantung Sisi berpadu dengan debar jantung Pram di pelukan mereka yang bisu.
“ Jawablah Sisi….anak kita lelaki atau perempuan?”
“Kenapa?” tanya Sisi hampir tak kedengaran
“ Ya, sebelumnya aku minta maaf, tapi terus terang aku kini telah menikah dan punya 4 orang anak , dua kali istriku melahirkan bayi kembar, dan mereka perempuan semua” aku Pram.
Sisi tertawa kecil, menertawakan cintanya. Sia sia saja selama ini ia masih memelihara cinta yang tulus bagi seorang Pram. Sia sia saja dia bercerita kepada Bintang tentang ayahnya yang hebat dan sedang pergi berkeliling dunia dengan kapal pesiar. Sia sia saja ia menyebut nama Pram setiap ia hendak bernyanyi atau beraktivitas lainnya. Sia sia saja ia menolak dan menampik lamaran ataupun tawaran iseng para lelaki untuk bercinta.
Air matanya meleleh. Dengan sigap Pram menyapunya sambil kembali bertanya, apa jenis kelamin anak mereka.
“ Maaf Pram , aku mengugurkan anak kita . Aku tak pernah melahirkan anakmu”
Dengan kelegaan yang luar biasa Sisi melihat mata lelaki di hadapannya itu kecewa.
Malam semakin pekat, langkah Sisi menuju pulang begitu tergesa. Ingin segera di sampaikannya berita pada Bintang, anak lelaki yang segala sesuatunya sangat mirip dengan ayahnya. Bahwa baru saja ia menerima berita, ayahnya meninggal dunia di perjalanan kapal.


Balikpapan 10 Maret 2005